"Ren, Ren, elu liat kagak itu cewek bohai? Duh, lirikannya aja tajem bener. Gue jadi klepek-klepek, lope seember," pungkas Saka pada Rendi.
"Matanya aja tajem, dompetnya apalagi! Tajir melintir, oi! Gue juga mau kali ngegebet dia," timpal Dimas.
"Kalian yang ngebet ama dia, dianya yang kagak sudi ama kelean bedua!" seru Rendi. Ia menatap pada Diana yang mengisyaratkan untuk mengikuti sang empunya mobil.
Rendi menggeleng sebentar sebelum akhirnya mengangguk mantap. Lantas ia masuk ke dalam, meninggalkan duo kwek-kwek yang masih dimabuk asmara.
Tiba-tiba saja, Bella, datang menghalangi langkah Rendi yang tampak tergesa. "Mau ke mana?"
"Elu ngapain di sini? Kenapa kagak ikut pembekalan di aula?" berondong Rendi.
"Siapa tadi?" tanyanya lagi, antusias.
"Lara."
"Anak siapa? Gue yang keponakan rektor aja masih harus dihukum."
"Investor besar UKLAKA."
Bella mencebik, lantas menggumam sendiri saat Rendi terburu-buru masuk mengikuti arahan sang ketua BEM tadi. "Paling dia nginvest pake duit bokapnya! Eh, kenapa gue nggak kek gitu aja, ya?"
Rendi berhenti tepat di samping mobil yang kacanya diketuk tadi. Ia menunggu sang empunya, tapi yang ditunggu tak kunjung ke luar.
Penasaran, Rendi mencoba mengintip ke dalam. Terlihat jelas, Lara tengah memegangi kepalanya sembari memutar jempol tepat pada area terluar mata yang terpejam.
Sigap, Rendi membuka pintu mobil dan menyejajarkan diri dengan Lara.
"Elu kenapa? Mau gue bantu?"
Mendengar suara laki-laki yang teramat dekat, Lara langsung membuka mata. Keduanya sempat beradu pandang, saling mengunci tatapan dalam diam.
Tiba-tiba saja, semilir angin seolah-olah menjadi lebih dingin dari biasanya. Ada yang berdesir dalam lubuk hati Rendi, sedangkan Lara masih bergeming.
"Elu mau apa?"
Tentu saja pertanyaan Lara membuat Rendi gelagapan. Ia mengerjap-ngerjapkan kedua matanya, lalu kembali berdiri dengan tegak.
"Kalo sakit ke UKS, aja. Ayo, gue anter."
"Nggak perlu." Lara meraih sesuatu dari kulkas mini pada ruang di antara jok mobil. "Gue bawa obat sendiri."
Lantas, Lara langsung menenggak infuse water dari berbagai buah-buahan tropikal. Setelah itu, ia melenggang pergi tanpa memedulikan Rendi yang masih menatapnya penuh emosi.
Sadar bahwa ada yang salah dengan laju jantung yang berdegup tak karuan, Rendi memukul dadanya pelan. "Elu kenapa, Ren?" gumamnya sendiri.
Ia masih menatap punggung Lara yang terbalut kemeja two-tone dengan rok mini berserabut, saat duo kwek-kwek datang dengan berbagai pujian klise.
"Keknya, pake apa pun dia tetep cantik, ya, Ren?"
Tanpa sadar Rendi mengangguk, menyetujui pernyataan Dimas.
"Bahkan wanginya tetep di mari meski orangnya dah jauh pergi. Gue cinta mati padanya wahai Ibu Pertiwi!"
Mendengar celetukan Saka, Rendi dan Dimas langsung melenggang pergi. Keduanya sempat mencebik pada laki-laki dengan postur tubuh kurus nan tinggi itu akibat ucapannya yang dinilai berlebihan.
"Kalian nggak akan tau rasanya, Brai! Oh, Lara, gue bakal dapetin elu nanti! Nggak mau tau gimana caranya, elu bakalan ngejar-ngejar gue sampek ke ujung bumi!"
Dimas dan Rendi yang menoleh pada Saka pun tampak menegang seketika, saat mendapati Lara berada di balik punggung sang kawan. Meski tanpa ekspresi, tapi sikapnya arogan dan tak banyak bicara malah membuat wajahnya, tatapan matanya sering disalahartikan.
Seketika, Lara berdeham dan menatap tajam pada Saka yang sontak terdiam. Ia melewati Saka sembari merogoh sesuatu dari dalam tas jinjing berwarna senada dengan kemeja.
Diletakkannya sebuah cermin kecil tepat di depan wajah Saka. "Ngaca dulu."
Saka yang melihat kesempatan emas, lantas hendak meraih cermin sembari memegang lengan Lara. Sayangnya, cermin dijatuhkan tepat sebelum Saka melancarkan aksinya.
Prang!
Saka lantas berjongkok sembari memunguti pecahan kaca.
"Elu di bawah, gue di atas. Jan kelamaan ngimpi!"
Trio kwek-kwek itu tertegun sejenak. Bahkan, hingga mobil dengan interior dewa itu hilang dari pandangan semua orang, Saka masih dalam posisi jongkok di tempat yang sama.
Rendi dan Dimas yang sadar akan ucapan Lara yang menyakitkan, lantas mendekati Saka perlahan.
"Jan dimasukin hati, Gaes," hibur Dimas yang menepuk bahu Saka.
"Sak, lain kali kalo ngimpi jan di siang bolong!"
"Biru muda, Bro!" seru Saka girang.
"Apaan?" tanya Dimas dan Rendi bersamaan.
"Nggak apa lah, gue dihina. Yang penting gue punya bahan buat nganu ntar malem!"
Tawa Saka pun menggema, memecah konsentrasi Dimas dan Rendi yang masih tak kunjung paham. Namun, sedetik kemudian Dimas menepuk dahinya pelan.
"Harusnya gue juga tau tadi kalo tetep Deket elu!"
Rendi yang masih diperam bingung pun mengangkat dagu pada Dimas, menuntut penjelasan.
"Sempak dia, Ren!"
"G-string, Bro!" pekik Saka penuh kemenangan.
Hayooo, siapa yang pernah diginiin? Aku tuh dulu pas SMA sering liatin kakak kelas yang cantik diginiin. Mayan drama gratisan. Wkwkwk
Di bengkel mobil Fiterus Asikin, terlihat banyak montir tengah bersiap menyambut pagi. Demikian pula dengan Ari yang telah duduk pada alas tidur montir. Sesekali, ia tersenyum sendiri. Kemudian mengibas udara kosong bak tengah menghalau serangga yang datang mendekat. Supri yang baru saja tiba, merasa ada yang aneh pada diri kawannya itu. Terlebih ia ingat betul, bagaimana kemarin emosi pemuda berambut cepak meninggi gara-gara ulahnya sendiri. "Cengar-cengir ae, Su! Nggak inget kemaren? Apa udah geger otak?" "Info geger geden, Pri! Tak tebasse kabeh! (Info pertengkaran besar, Pri! Tak habisi semua!" jawab Ari peringisan. Supri yang telah mendekat pun meletakkan telapak tangannya pada dahi Ari, menduga-duga suhu tubuh. Lantas, kembali meletakkan tangannya ke arah bokongnya sendiri. Sesaat ia menggeleng smabil berkata, "Gendeng bocah Iki."
"Cengar-cengir! Diapain sama Lara?" Lalita, gadis berambut pendek sebahu itu langsung mendekati Ari saat tahu pria itu menuruni anak tangga. "Liat, aja, sendiri," usul Ari sembari mengedikkan bahu. Ia kembali ke stationnya, lalu mulai mengambil mobil sesuai nomor antrean. "Kenapa dipanggil secara pribadi, Su?" tanya Supri yang mencuri waktu untuk sekadar melepas rasa ingin tahu. "Uwis tak bilangi kemaren, 'kan Pri? Cewek itu bakalan jatuh cinta. Bukan lagi jatuh ketimpa tangga, tapi jatuh kepalang basah." Ari mencoba menahan tawa saat bayangan Lara yang tengah mendelik, menahan amarah melintas begitu saja. "Gendeng, Su. Yang bener?" Tanpa menjawab tanya Supri, Ari meneruskan pemeriksaan sesuai keluhan. Bersamaan dengan itu, terdengar suara ribut dari lantai dua. Beberapa tamu und
"Elu diapain, Ra?" tanya Lalita antusias. Kini, mereka berdua telah berada di sebuah butik baju wanita ternama, tak jauh dari lokasi gedung bengkel yang baru diresmikan. Sembari mematut diri di cermin, kedua mata Lara memicing, menatap tajam pada bayangnya sendiri. "Montir itu keterlaluan. Kita pecat dia!" "Itu bukan jawaban atas pertanyaan gae,Ra." "Elu liat sendiri, 'kan? Gue basah kuyup dan elu masih nanya gue diapain? Pertanyaan bullshit!" Lalita terdiam, lantas menopang dagunya setelah menumpukan siku pada meja. "Jan kelewat kesel, Ra, takutnya elu malah dapet karma." "Gue yang disiram, gue juga yang dikarmain?" "Gue tahu betul siapa elu, Ra, nggak mungkin rasanya seorang Lara diem aja pas dipermaluin. Atau jangan-jangan, elu duluan yang bikin itu montir emosi?" Lara tertawa
"Nungguin apa, Su?" tanya Supri. Kedua alisnya menukik tajam lantaran merasa dibohongi. "Sst! Aku pingin ero, mereka mau makan-makan di mana, Pri. Mau tak tunjukin, kalo kita juga bisa makan enak di tempat yang sama." Mendengar jawaban Ari, Supri pun menghela napas panjang. "Oh, jadi kita nguping ini ceritanya? Niat amat, Su!" "Ojok rame ae, Pri! Arep ora?" Supri menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia mengangguk lemah. Demi apa pun atas nama keuntungan dan kesetiakawanan, ia rela berlama-lama. Sementara itu, selain menguping Ari sibuk mengutak-atik ponselnya. Sesekali ia tersenyum, sedetik kemudian menggeleng sembari menepuk jidat pelan. "La--" "Sstt!!" Ari memonyongkan bibir dan memposisikan telunjuk tegak sejajar mulut, saat mulai terdengar suara dari dalam bengkel. Lincak yang berada di balik penyek
Beberapa kali, Ari merasa ada sepasang mata yang memperhatikan mereka. Sayangnya, meski ia mengedar pandang ke segala penjuru arah, tetap saja tak ditemukan apa yang salah. Selain tak adanya Lara di bangkunya. Ari mencoba terus menelisik. Bagaimanapun juga, ia tak akan tega membuat perempuan menangis. "Apa aku keterlaluan, ya?" Hampir saja ia beranjak, saat dilihatnya Lara masuk dengan seringai. Kedua ttaapant matanya tampak tajam nan lekat. Terlebih saat jarak mereka kian dekat. Tanpa sadar, ponsel spesifikasi tinggi milik Lara mengarah padanya. Hingga beberapa kali gambarnya diambil tanpa sepengetahuan. "Mau ke mana, Su?" Sadar ia dalam posisi setengah berdiri, Ari kembali mengenyakkan bokongnya ke kursi. "Nggak jadi, Pri." Hidangan Supri telah tandas. Hanya bersisa saus keju yang belepotan di jemarinya. Dengan telaten pria paruh baya itu menjilati satu per satu jarin
Dua pria berbeda usia itu melenggang pergi dari sebuah toko perbelanjaan. Wajah mereka kuyu, terlebih makin terlihat lunglai saat keduanya menarik napas panjang. "Gini banget, yo, Su, jadi orang kaya! Bingung apa yang mau dibeli. Eman-eman!" "Iyo, Pri, kukira punya kuasa dan harta itu bisa enak. Ternyata cuma fatamorgana." "Andai aku punya nurani orang baik kek gitu, duitmu nggak mungkin habis buat belanja sempak seharga setengah jutaan!" Setelah Supri menyelesaikan kalimatnya, lantas mereka terbahak bersama. Tak lupa pula mereka saling beradu tinju di dada. Banyaknya tas kertas dalam genggaman tak membuat mereka menyudahi acara belanja. Beberapa potong pakaian mahal, serta sepatu dan juga sandal telah di tangan. Namun, rasanya masih belum cukup untuk sekadar menjadi obat penasaran. "Bau barang mahal emang bedo, yo, Pri?" Su
"Argh!!" Seorang pria yang tengah menuruni eskalator tampak kehilangan kontrol diri. Tangannya menutup mulut dengan cepat saat ada zat asing yang membuatnya mual hingga hampir muntah. Tak ada pilihan lain, seturunnya dari eskalator ia langsung memuntahkan isi perutnya ke arah luar pagar pembatas. Tanpa sadar, saat usahanya hendak mengeluarkan isi perut, tubuhnya menegang seketika. Napasnya berhenti hendak muntah. Dalam posisi demikian, tak banyak yang tahu bahwa ia telah berpulang. Hingga seorang petugas keamanan mencoba menegur, riuhlah plaza lima lantai. "Su!" panggil Supri mengejutkan, sesaat setelah teriakan para pengunjung mal menggema. "Opo seh, Pri? Mbengak-mbengok ae!" "Ada orang meninggal pas muntah. Kamu jangan muntah dulu." Supri berbisik pada Ari, saat keduanya melewati kejadian tempat perkara. Menyeruak beberapa kerumunan. "Ediaan! Di
Ari terpekur menatap cuplikan video yang ada. Gadis dengan kemeja oversize dan celana jin panjang itu benar-benar tak asing di matanya. "Tolong berhenti di sana, Pak," pintanya pada sang kepala toko. Lantas, ia memicing. Sedetik kemudian rahangnya mengeras. "Lara?" "Anda mengenal pelakunya?" Bersamaan dengan itu, ia juga baru sadar bahwa pria berhoodie tadi sedikit menabrak kursinya dari sisi lain. Ari kembali memicing tatkala melihat sebuah benda yang tampak berkilau dalam genggaman si pria asing. "Minta tolong kirimkan videonya ke email ini, Pak," pintanya. Segera ia menuliskan alamat kotak surat elektroniknya pada selembar kertas yang diberi sang kepala toko. Setelah memastikan cuplikan video itu dikirim, Ari segera beranjak ke lantai teratas. Tenang penjual pelbagai macam barang elektronik menjadi tujuan keduanya. Tanpa memilah, ia segera menu