Share

Bab 6 - Kekeraskepalaan Reagan

Mansion Keluarga Raharja,

Jakarta, Indonesia

Hari ini mansion keluarga Raharja terasa sangat sepi, Tuan dan Nyonya Besar Raharja—Sophie dan Hardian—tengah pergi ke luar negeri untuk melakukan perjalanan bisnis. Sedangkan Armand dan Nindi sendiri harus pergi ke luar kota untuk menghadiri sebuah pesta ulang tahun perusahaan milik keluarga konglomerat lainnya.

Beruntung bagi Olivia karena hari ini dia seakan terbebas dari tekanan berat yang diberikan oleh anggota keluarga Raharja.

Saat ini Olivia tengah berada di dapur, berkutat dengan berbagai macam bahan makanan yang akan menjadi menu makan malam hari ini bersama Bi Ira yang juga terlihat sibuk di sampingnya.

Menghabiskan beberapa waktu bersama sang kepala pelayan membuat Olivia mengerti bahwa sebenarnya Bi Ira tidak benar-benar membencinya.

Hanya saja wanita paruh baya itu memang memiliki karakter yang pendiam dan selalu serius di setiap waktu membuat Bi Ira terlihat sedikit mengintimidasi.

Olivia tersenyum, cukup bersyukur karena ada satu orang yang setidaknya masih mau berinteraksi dengannya. Para pelayan yang lain terlihat sangat tidak menyukainya, mereka bahkan tidak segan mengejek dan mengucilkan Olivia.

Pandangan Olivia teralih pada sepiring makanan beserta segelas air putih dan beberapa butir obat yang telah ditempatkan di sebuah nampan berwarna cokelat.

"Makanan ini untuk siapa, bi?" tanya Olivia sembari mengerutkan alisnya.

"Ini untuk Tuan Muda Reagan." jawab Bi Ira dengan raut datarnya.

Olivia mengalihkan pandangannya sejenak sebelum kembali menatap Bi Ira dengan wajah ceria. "Untuk Reagan? Boleh aku yang mengantarkannya?"

"Anda yakin, Nona? Saat ini Tuan Muda dalam keadaan yang cukup sensitif, semua orang bahkan tidak berani mengganggunya." ucap Bi Ira ragu-ragu, wajahnya yang sebelumnya datar kini terlihat sedikit cemas.

Olivia mengangguk cepat, "Jangan khawatir bi, aku hanya akan mengantar makanan ini pada Reagan dan keluar dari kamarnya setelah itu."

"Kalau begitu..." sahut Bi Ira tidak yakin, wanita paruh baya itu menghela napas sebelum menyerahkan nampan itu pada Olivia. "Silahkan, Nona."

Olivia menerima nampan berisi makanan tersebut sembari tersenyum lebar. Dengan hati-hati ia berjalan menuju kamar Reagan, sebenarnya jauh di dalam lubuk hatinya, Olivia berharap dapat memperbaiki hubungannya dengan Reagan secara perlahan.

Olivia sampai di depan kamar Reagan, dipandangnya pintu kamar yang masih tertutup rapat itu. Olivia mengetuk pintu tersebut dengan perlahan hingga terdengar suara Reagan yang menyuruhnya masuk membuat senyum kembali terbit di wajah Olivia.

Gadis berkulit putih itu masuk ke dalam kamar Reagan, terlihat suasana kamar yang masih sama, sunyi dan sepi. Dapat Olivia lihat dari jauh Reagan yang berada di balkon tengah duduk di kursi rodanya dengan posisi menghadap ke luar.

"Reagan?" panggil Olivia pelan, ditaruhnya nampan yang sejak tadi ia bawa ke atas nakas di samping tempat tidur. "Aku membawa makan malam untukmu, aku letakkan di nakas bersama dengan obatnya juga."

Melihat Reagan yang tidak merespon sama sekali, Olivia mengerutkan alisnya. Karena takut sesuatu terjadi pada pria itu, Olivia berjalan menuju Reagan, berniat memeriksa kondisinya secara langsung.

"Reagan?" panggil Olivia untuk yang kedua kalinya, kini posisinya sudah berada di belakang Reagan.

"Pergilah." jawab Reagan dingin, pandangannya kosong, lurus ke depan dengan wajah tanpa ekspresi.

Olivia mengulum bibirnya ragu, namun ia masih merasa tidak tega untuk meninggalkan pria itu sendirian. "Apa kau baik-baik saja?"

"Bukankah aku sudah bilang untuk pergi?! Apa kau tuli?!"

"Tapi, Reagan—"

"Dengar Olivia! Jika aku bilang pergi maka pergilah dari sini!" teriak Reagan memutus ucapan Olivia.

Olivia terperangah, bukan! Itu bukan karena Reagan yang terus menerus berteriak mengusirnya, tapi karena Reagan yang untuk pertama kalinya memanggil nama Olivia dengan benar!

"Reagan, aku tahu bahwa sejak awal hubungan ini dilandasi keterpaksaan. Sama seperti kau yang tidak menginginkan pernikahan ini, aku pun juga merasakan hal yang sama. Tapi, apa salahnya jika kita mencoba menerima kenyataan ini?"

Reagan tertawa sinis, ditolehkannya wajahnya ke arah Olivia, mata kosongnya terlihat lebih gelap dari sebelumnya. "Kita? Sepertinya kau berangan terlalu jauh! Aku tidak akan pernah menerima pernikahan sialan ini!"

Sejenak sorot mata Olivia berpendar kecewa sebelum digantikan dengan seulas senyum lembut di wajahnya.

"Aku tahu bahwa kau tidak akan menerimanya! Tapi, bagaimana jika kita memulainya dengan hubungan pertemanan? Mari berteman denganku, Reagan! Kita bisa memulainya perlahan! Dengan begitu hubungan ini tidak akan seburuk yang kau bayangkan."

"Aku tidak tertarik untuk berteman denganmu! Aku juga sudah bilang padamu bahwa aku tidak membutuhkanmu, jadi lebih baik baik urus saja dirimu sendiri! Kau tidak perlu memperhatikan atau mengurusku!" seru Reagan keras kepala.

Mendengar jawaban Reagan, Olivia hanya bisa menghela napas. Dengan sifat keras kepala yang Reagan miliki, sepertinya akan sangat sulit membangun hubungan baik dengan pria itu.

Yang Olivia inginkan sebenarnya adalah kehidupan yang damai, bahkan meskipun ia san Reagan tidak saling mencintai, setidaknya hubungan mereka tidak saling mendorong satu sama lain seperti ini.

"Baiklah, aku mengerti. Tapi, aku tidak akan menyerah Reagan! Aku akan terus mendekatimu sampai kau mau berteman denganku! Kau mengerti? Tidak masalah jika kita bukanlah pasangan seperti seharusnya, aku pun juga tidak menginginkan itu." jelas Olivia dengan sungguh-sungguh sebelum berjalan menjauh, meninggalkan Reagan di balkon sendirian dan keluar dari kamar pria itu.

Reagan mendengus kasar, tidak menyangka bahwa ada gadis yang begitu gigih seperti Olivia. Reagan pikir dengan memperlakukan gadis itu dengan dingin dan selalu bersikap tajam padanya, Olivia akan menyerah begitu saja untuk mendekatinya.

Namun, ternyata pemikiran Reagan salah. Olivia justru dengan sungguh-sungguh menyatakan akan terus mendekatinya sampai Reagan menerima gadis itu sebagai temannya.

Apa gadis itu gila? Reagan benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikirannya! Kenapa dia begitu ingin berinteraksi dengannya? Apa karena Olivia kasihan pada kondisi Reagan yang cacat?

Reagan terkekeh sinis, dalam hidupnya tidak pernah sekalipun ada seseorang yang mengasihani dirinya. Dia sejak kecil dibesarkan dengan sendok emas di mulutnya dan memiliki kehidupan yang sempurna.

Hanya karena kecelakaan dan menjadi cacat, bukan berarti orang lain bisa memperlakukannya seperti orang lemah yang tidak bisa melakukan apa pun. Harga diri Reagan menolak untuk menerima hal itu!

Mata hitam Reagan menatap lurus ke arah halaman luar mansion yang luas, "Dalam permainan ini, kita lihat saja siapa yang akan menang, Olivia Hermawan! Kau atau aku!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status