"Hari ini lo gak berangkat kerja?" Mila bertanya sebab Diaz keluar kamar mandi sudah pakai baju batik coklat lengan pendek dan jeans putih.
Diaz berdeham pelan sebagai jawaban sambil menyisir rambutnya ke belakang menggunakan jari-jari tangan. Diaz biasa mandi duluan sebelum Mila, dia masih merapikan tempat tidur sebagai konsekuensi bangun siang.
"Nanti siang ke Paviliun, latihan taekwondo." Diaz duduk di kursinya untuk melanjutkan pekerjaan yang semalam belum tuntas. Sepertinya ini akan selesai dengan cepat karena sisanya tidak sampai setengah arsip. Kalau dia fokus, bisa cuma 2 jam.
Mila menaruh bantal, unek-uneknya mulai keluar. "Tangan gue baru sembuh, lo udah ngajak latihan lagi?"
Maksud Diaz ya begini. Sebaliknya jika banyak iklan lewat, prediksi 2 jam menjadi 4 jam. "Apa maksud kamu, lagi? Latihan satu pekan 3 kali, pekan ini baru sekali dan durasi waktunya gak pantas disebut latihan. Itu namanya pemanasan," jawab Diaz dengan tekanan di setia
Cuaca Kota Jakarta kalau sedang musim panas, sangat panas. Kalau musim dingin, tetap panas. Mila tidak heran karena kota tempatnya lahir dan dibesarkan terlalu padat bangunan. Ada taman, tapi di beberapa tempat yang masih asri."Pasang AC dong! Gerah banget sumpah!" Mila sudah mengambil buku tulis tipis untuk kipasan tetapi tetap gerah.Apa kabar Diaz yang memakai dobok? Dia berkeringat namun tidak terlihat lelah. Ia memperhatikan Diaz yang mencontoh beberapa gerakan lanjutan yang harus dipelajari pekan depan. Mila bahkan bingung dengan pukulan Diaz yang tak kunjung berhenti. Katanya, untuk latihan memperkuat otot tangan. Kalau Mila yang melakukan pukulan selama 5 menit nonstop pasti akan kebas. Kesal karena tidak selesai-selesai sesi melihat tanpa meniru gerakan, Mila melempar buku tulisnya ke kaki Diaz.Diaz berhenti memukul lalu balik badan. "Kenapa?""Capek!""Kamu gak contohin gerakan apa-apa.""Capek liat lo mukul ang
Mila berjalan sesuai keinginan hatinya. Ia tidak tahu bisa menahan penjelasan Diaz. Semestinya ia tidak perlu bertanya sebab sudah tahu Irene sulit Diaz lupakan. Walau begitu ia bersyukur keinginan untuk membuang foto benalu itu tercapai tanpa menggunakan tangannya. Untungnya sisa satu foto, kalau masih banyak yang berterbaran pasti akan Mila geledah kamar Diaz.Toko-toko dan pedagang asongan sangat memanjakan perutnya. Mila pergi tanpa membawa uang karena tanpa direncana. Perutnya sudah lapar sekali, hanya satu orang yang bisa membantu Mila saat ini.***Mila memandang sahabatnya yang kali ini sangat baik mau membantu. Sedari tadi Stephen melihatnya seperti iba."Gak usah liatin gue begitu, lo kemarin udah ditraktir Diaz, sekarang traktir gue. Anggap lo gak punya utang."Stephen tidak masalah kalau Mila makan banyak di pinggir jalan. Tetapi dia penasaran mengapa tiba-tiba Mila memintanya datang dan bawa uang untuk beli batagor dan es teh manis.
"Mila ... Mama ada kondangan di Tangerang."Meida berpamitan padanya beberapa jam lalu saat ia sarapan seorang diri di bawah. Ini sangat tidak menguntungkan Mila karena Diaz masih demam terbaring di atas kasur tidak berbuat apa-apa.Kesal karena terus mendengar rintihan Diaz, Mila tidak bisa lagi melanjutkan tulisannya."Berhenti panggil nama gue. Kalau lo mau sembuh ayo kita periksa ke puskesmas, klinik, atau rumah sakit."Mila sudah buatkan Diaz bubur, membawakan minum beserta obat yang semalam dia minum, namun ketiganya tidak disentuh sama sekali. Tetapi Diaz tidak menjawab, hanya menghela napas dengan mata tetap terpejam.Tunggu, jangan bilang Mila harus menyuapi Diaz. "Hah, emang gue yang selalu dihukum sama alam." Ia menarik untuk duduk lalu meraih mangkuk. Diaz tidak perlu dibantu duduk karena tidur dengan posisi hampir duduk. "bangun. Gue suapin makanannya."Mila hari ini menahan makian untuk suaminya sendiri karena sedan
Mila dalam posisi duduk di kursi dengan dua kaki terangkat dan menyesap susu kotak yang diberi sedotan kecil. Ia berputar pelan di atas kursi eksekutifnya seraya mencari ide untuk bab selanjutnya. Kemarin rencana menulis gagal total karena mengurus Diaz makan dan minum."Eh, Diaz. Lo gak BAB?" Mila tidak lihat Diaz masuk kamar mandi kemarin, dia terus berbaring sepanjang hari."Udah, semalam."Mila mengangguk mengerti, mungkin ia sudah tidur lalu Diaz ke toilet. Baguslah, tidak ada yang membuat pikiran Mila terganggu lagi. Ia juga sudah menyuapi dan memberi Diaz obat seperti kemarin, demamnya sudah turun dan keringat cukup deras keluar dari tubuhnya. Beruntungnya lagi, keringat Diaz tidak beraroma yang aneh-aneh, justru harum seperti jeruk. Mungkin karena pengharum ruangan, wanginya memengaruhi."Kamu gak pusing berputar terus?"Mila berhenti tepat menghadap Diaz lalu menurunkan kakinya. Susu kotaknya sampai mengempis karena terisap pad
Mila masih bergidik apa yang terjadi beberapa saat lalu. Tangan kotor itu telah menyentuh tangan suci Mila. Sangat tidak tahu diri, batinnya. Saat petang, Diaz sudah lebih baik karena bisa berjalan ke kamar mandi tanpa terhuyung-huyung. Mila memperhatikan dia lebih lama agar bisa memastikan kondisinya telah pulih. Diaz bahkan bisa mandi sebab kemarin mengatakan tubuhnya merasa dingin hingga tidak ingin mandi. "Udah mendingan lo?" Mila melupakan sejenak apa yang dilakukan pria gila tadi di ruang tamu dan bertanya kondisi Diaz. Diaz tersenyum lebar, wajahnya bercahaya ditambah cahaya senja dari kaca jendela yang terbuka setengah. Mila geleng-geleng kepala melihat efek luar biasa cahaya matahari terbenam untuk mendukung rupa Diaz. "Kerja bagus, Mila." Ia memuji dirinya yang telah menjaga Diaz. "Saya bilang juga apa, kamu istri terbaik." Diaz menggosokkan minyak rambut di depan cermin, memberi senyuman lagi karena Mila menengok
Diaz memakirkan mobilnya di basement, tak disangka-sangka Sekretaris Bayu juga baru sampai.Diaz menunggu Bayu turun dari mobilnya. Setelah dihampiri, Diaz menyapanya. "Kamu kelihatan gak sehat. Pekerjaan kemarin banyak yang saya tinggal ya?"Sekretaris Bayu menggeleng tidak enak ditanya soal pekerjaan yang kemarin tertinggal oleh Bosnya. "Istri saya masih sakit, jadi sedikit kewalahan habis pulang dari kantor. Hari ini saya belum bisa lembur karena anak saya juga kram perut."Diaz prihatin dengan kondisi keluarga sekretarisnya. "Gak masalah, kamu jaga istri dan anak kamu. Saya juga jarang lembur karena urus istri di rumah. Saya paham perasaan kamu."Mereka pekerja keras yang tidak lupa kewajiban sebagai suami di rumah. Diaz meringankan karyawannya jika tidak bisa lembur diwajibkan izin agar ada rekan yang menggantikan. Tidak semua orang selalu lancar dalam rumah tangga, kondisi tubuh juga adakalanya sakit.Seingat Diaz, Bay
"Satu!"Mila menahan sikap kuda-kuda dan menggerakkan pukulan setiap hitungan yang Diaz intruksikan."Dua!"Mila melihat Diaz yang berdiri di depannya dengan melipat tangan di depan dada. Raut wajahnya persis pelatih taekwondo yang pernah ia lihat di lapangan belakang rumah bundanya."Tiga!"Mila mengikuti gerakan pukulan yang Diaz contohkan terakhir kali, penuh tenaga dan menganggap yang berdiri di hadapannya adalah musuh. Kenyataanya tidak salah juga."Empat!"Mila berdiri sempurna karena lelah menahan kaki lalu bertanya, "Lo gak nyuruh gue ngelakuin pukulan seribu bayangan kayak yang terakhir lo contohin, kan?"Diaz yang tersenyum penuh arti diamati oleh Mila. Selain niat mengusili Mila, Diaz membuatnya bergerak lebih aktif daripada rebahan mentang-mentang sedang datang bulan setelah dengar cerita dari sekretarisnya."Angkat tangan kamu ke depan," suruh Diaz.Mila mengangkat kedua tangannya ke
"Kamu habis dari mana?" Diaz lihat Mila datang dari sisi kanan, sedangkan kamar mereka di sisi kiri setelah tangga. "kamar Vio?" lanjutnya bertanya dengan kaki melangkah ke dapur untuk isi ulang botol.Mila tidak jadi menjawab karena Diaz jalan terus. Ia masuk kamar lalu mandi. Setelah itu Mila akan mencuci pakaian di bawah, kalau tidak, Diaz seperti ibu kos. Berisik.Usai isi ulang botol, Diaz menyegarkan tubuh dengan kopi hitam. Acara televisi mudah membosankan, Diaz lebih sering menonton film tipe horor atau misteri lewat situs.Mila meluruskan tangan kanannya, sesekali kebas kalau sering beraktivitas. Ia tidak mengeluh pada Diaz karena dia pasti menyarankan untuk periksa. Kalau disuruh pakai deker, Mila enggan.Mila mengangkat keranjang berisi pakaian kotornya dan Diaz. Awal-awal mencuci pakaian orang lain, Mila merasa asing atau lebih tepatnya geli. Jika bukan karena Diaz sibuk, Mila akan membeli satu keranjang lagi agar pakaian kotor mereka di