“Apa yang hendak kau lakukan?”Eleanor berdiri dengan mata melotot, menyaksikan suaminya menatapnya kesal. Dia pasti terlihat sangat menjengkelkan dengan pose hendak menimpuk maling di depan suaminya sendiri. Gadis itu menurunkan kemoceng di tangannya dengan cepat. Wajahnya perlahan berubah lebih lunak. Dia bahkan mencoba tersenyum. “Aku kira tadi...”“Maling? Tenang, hanya aku yang memegang akses masuk kalau kau itu yang kau cemaskan.” Ujar Effendy setengah menggerutu. Dia mengenakan pakaian tebal dan syal yang melilit leher, membuat Ele bisa membayangkan betapa dinginnya udara di luar. Mendadak, perutnya terasa perih kembali. Rasa lapar rupanya belum hengkang dari lambungnya. Saat dia melirik, Effendy tidak membawa apapun. Laki-laki itu terlihat begitu santai, melepas pakaian tebalnya dan kemudian melangkah masuk ke dalam kamar. Ele, hanya bisa menelan ludahnya sendiri. Effendy mungkin lupa pada janji kalau dia akan tidur di sofa. Laki-laki itu menghempaskan diri ke tempat tidur dan
Ele terbangun agak siang, sekitar pukul tujuh. Gadis itu melihat ke sofa di dalam kamar dan menyadari kalau Effendy sudah tidak ada. Rasa cemas kembali menghantui dirinya. Apakah dia tinggal sendirian? Bagaimana jika ada orang kurang ajar seperti semalam yang membobol masuk? Ele bergegas bangkit dari tempat tidur. Saat itulah dia mendengar suara shower dari kamar mandi. Dia langsung bernapas lega. Effendy belum pergi. Dia tidak sendirian. Gadis itu pergi ke dapur untuk mengambil air hangat. Saat dia iseng membuka kulkas, Ele melihat alat pendingin itu sudah diisi oleh beberapa bahan makanan dan minuman. Ele memeriksa salah satu rak penyimpanan dan melihat sudah ada beras di sana. Gadis itu tanpa sadar tersenyum lebar. Dia mulai memasak nasi dalam magic com, berencana hendak membuat nasi goreng. Baru dua malam di Prancis Ele sudah merindukan makanan Indonesia. Sambil menunggu nasinya matang gadis itu mendengar kalau Effendy sudah selesai mandi. Setelah menunggu dan memastikan kalau lak
Eleanor keluar dari kamar dengan gaun ungu yang dibelikan Effendy. Karna dirinya tahu itu adalah acara resmi, pertemuan dengan kolega bisnis lelaki itu, Ele berusaha tidak tampil memalukan dengan mengaplikasikan make up yang apik, menata rambutnya dengan rapi dan mengenakan sepatu flat yang semuanya dari Paris.Effendy sudah berpakaian rapi, menunggu di ruang TV. Ele yang keluar dari kamar menghampirinya pelan. “Apakah aku terlihat cukup baik? Aku tidak ingin mempermalukan Anda.” Ujar Ele pula dengan serius. Effendy menatap penampilan Eleanor dari kepala sampai kaki. Dia diam sebentar. “Ternyata kau tidak buruk juga.” Ujarnya sembari tersenyum sinis, Ele tidak dapat membedakan apakah itu pujian atau hinaan. “Ayo,” ajak Effendy sembari berjalan lebih dulu keluar dari apartemen tersebut.***Restoran yang dijadikan sebagai tempat pertemuan bisnis itu adalah Gourmet Bar Lyon Confluence, salah satu restoran terkemuka di kota Lyon. Ruang makannya luas bermandikan cahaya, dilengkapi dengan
Eleanor terbangun pagi itu dengan perasaan yang entah mengapa terasa lebih baik. Saat dia bangun, gadis itu tidak mendapati sang suami berbaring di sampingnya. Seharusnya Effendy disana, Ele masih ingat laki-laki itu semalam memutuskan agar mereka berbagi ranjang.Ele mengecek waktu di ponselnya, itu sudah pukul 07 pagi waktu Prancis. Dia memutuskan untuk mandi sebentar dan membuat sarapan sederhana.Bahkan saat sarapan itu telah tersaji di atas meja, Effendy Chislon Abimanyu belum juga menampakan dirinya."Kemana ya?" Gumam Ele sembari melihat waktu lagi. Setelah pukul sepuluh lewat, Ele memutuskan untuk sarapan tanpa menunggu suaminya lagi. Dia bukan jenis wanita naif yang menahan diri untuk tidak makan demi menunggu suaminya pulang.Waktu berjalan dengan lambat, malam telah datang. Ele yang semulanya tampak demikian tenang dan berusaha tidak peduli, sekarnag menjadi gelisah dan cemas sendiri. Apakah Effendy baik-baik saja? Mengapa dia pergi tanpa mengabari sama sekali? Itu perasaa
Ele menatap langit-langit apartemen, mendengar suara tawa halus Ashley dari dalam kamar. Dia sekarang tampak seperti idiot yang menggelikan, membaringkan diri di atas sofa dalam balutan selimut, sementara suaminya seranjang dengan perempuan lain. Rasanya, dia ingin menertawai dirinya sendiri. "Menghormati apanya?" Dia mendengus dalam hati dan merengut. Dia berusaha tidur, mengabaikan suara Ashley di tingkah suara serak rendah Abimanyu dari dalam kamar. Mereka tampaknya sedang melakukan pillowtalk."Bajingan," gerutu Ele tanpa sadar di dalam hati. Gadis itu berusaha mensugesti diri dan mencoba merapatkan mata dan menulikan telinga.***Semenjak kedatangan Ashley, dua hari berikutnya Effendy sangat jarang berada di apartemen. Biasanya pagi-pagi setelah membersihkan diri dia akan meninggalkan apartemen dengan berpamitan seadanya pada Eleanor, pergi keluar bersama kekasihnya. Mereka kembali saat malam dengan pakaian yang sudah berbeda yang Ele tebak mereka beli secara acak
Tristan mengerutkan keningnya dengan heran, menyaksikan dua pria tinggi besar dalam setelan serba hitam, dengan earpiece di telinga mereka berjaga di depan pintu apartemen Eleanor."Abimanyu memang tidak tanggung-tanggung," gumam Tristan pula dengan sedikit berdecak. "Aku ingin bertemu dengan adikku," ungkap Tristan saat kedua bodyguard itu memandangnya penuh perhitungan."Nyonya Abimanyu tidak memiliki saudara," jawab bodyguard di sebelah kiri. Mereka bukan bodyguard yang kemarin datang menemui Ele. Sudah ganti penjaga.Tristan tidak menanggapi, dia mengeluarkan ponselnya, menelpon Eleanor. Tak lama kemudian, pintu apartemen di buka dari dalam. Sang Nyonya Abimanyu tampak sudah rapi dengan setelan sopan dan make up tipis. Rambutnya tergerai di sepanjang bahu, terlihat cantik dan menawan."Ayo berangkat, Mas."Salah satu bodyguard menyimpangkan tangan dengan sopan, "Maaf Nyonya, Tuan tidak memperkenankan Anda pergi dengan orang asing.""Orang asing?" Ele mengangkat alisnya. "Dia itu
So, when will you go home? Ele berdecak membaca pesan itu. Atau harus aku yang menjemputmu kesana?Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala, tidak mengerti. Dia membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, merasa sedikit kelelahan. Lalu setelah mengumpulkan niat, dia membalas pesan dari Effendy.Can you give me some space, Sir? Aku tidak akan pulang beberapa Minggu, ada beberapa hal yang perlu ku urus.Sent!Tak lama, layar ponselnya berkedip sekali menampilkan balasan.Take your time. Ele menghela napas. Apa yang dia harapkan? Effendy akan bersikeras memintanya pulang? Mereka tidak sedekat itu sebagai suami istri. Dia, hanyalah orang asing. Dan Effendy memiliki Ashley, perempuan yang merupakan wanita sempurna dengan latar belakang kuat. Sedangkan Ele, dia bahkan tidak jelas asal usulnya. Dia hanya seorang perempuan yang beruntung di besarkan di panti asuhan. Penulis Thriller kenamaan itu mengerjabkan matanya yang sedik
Sepasang mata Effendy perlahan terbuka. Laki-laki itu mengernyit sesaat merasakan kepalanya yang berat. Dia menyentuh dahinya, lalu mengedarkan pandang. Dia berada di kamarnya sendiri. Tiang infus berdiri di sisi ranjangnya, terhubung dengan selang dan jarum yang menancap di pembuluh darahnya. Kepalanya terasa berat. Dia berusaha bangun, namun saat dia bangun, semuanya terlihat berputar, laki-laki itu mendesis pusing."Jangan dulu memaksakan diri," suara itu muncul, dia menyadari Ele yang menghampirinya dari arah kanan. Wanita itu rupanya sejak tadi tiduran di salah satu sofa yang ada dalam kamar."Tuan masih kurang sehat,""Berhenti memanggilku Tuan, kepalaku semakin pusing mendengarnya." Ucap Effendy. Suaranya serak dan rendah.Ele menegang sebentar, lalu dia mengulurkan tangan menyentuh dahi Effendy yang diam saja."Masih panas...."Effendy menghela napasnya. Hembusan napasnya yang tidak sengaja terkena tangan Eleanor pun terasa panas."Jam berapa ini?" Tanyanya."Jam sebelas malam