Share

Bab 5. Complicated

Seorang pria tampan dan gagah berdiri di ruang kerjanya yang megah seraya menatap gedung-gedung bertingkat di Los Angeles dari jendela tinggi. Pria tampan itu menyesap wine di tangannya perlahan. Tatapannya menatap lurus ke depan dengan pikiran yang menerawang. Senyuman samar di wajahnya pun terlukis begitu misterius. Aura dingin dan sorot mata tegas menyelimutinya.

“Tuan Damian,” sapa Freddy, asisten Damian yang melangkah mendekat.

“Ada apa?” Damian mengalihkan pandangannya, menatap dingin Freddy yang berdiri di hadapannya.

“Tuan, apa Anda masih lama berada di Los Angeles? Minggu depan Anda memiliki meeting penting. Apa memungkinkan empat hari lagi Anda kembali ke Seattle?” tanya Freddy sopan.

Damian terdiam beberapa saat mendengar pertanyaan Freddy. “Untuk sementara aku akan tetap di sini sampai waktu yang belum bisa aku tentukan. Meeting di Seattle, bisa kau minta direktur perwakilan untuk menggantikanku.”

Freddy sedikit bingung dan tak mengerti. “Maaf, Tuan. Bukankah sebelumnya Anda berniat di Los Angeles hanya untuk tiga hari saja? Maksud saya, Anda sendiri yang mengatakan tidak suka berlama-lama di sini.”

Selama ini Damian sangat jarang ke Los Angeles. Terakhir Damian datang ke Los Angeles hanya karena menghadiri pesta pernikahan Fargo—keponakan tirinya. Pun kala itu Damian menghadiri pesta pernikahan tidak lebih dari satu jam. Jika memiliki pekerjaan di Los Angeles; maka Damian pasti akan menyelesaikan pekerjaannya dan segera kembali ke Seattle. Namun, sayangnya kali ini berbeda. Damian bahkan seolah enggan untuk kembali ke Seattle. 

“Aku merubah rencanaku, Freddy. Ada sesuatu hal yang membuatku tidak bisa langsung meninggalkan Los Angeles.”

“Maaf, apa boleh saya tahu rencana yang Anda maksud?”

“Nanti kau akan tahu. Sekarang keluarlah. Selesaikan pekerjaanmu yang lain.”

“Baik, Tuan. Saya permisi.” Freddy menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Damian.

Saat Freddy sudah pergi, Damian menatap gedung-gedung bertingkat dari balik jendela tinggi ruang kerjanya. Dalam benak pria tampan itu saat ini tengah memikirkan satu nama. Sosok wanita yang berhasil membuat Damian menunda kepulangannya ke Seattle.

Kimberly …

Nama itu tercetus tanpa sadar dalam hati Damian. Tak pernah Damian sangka akan memiliki skandal dengan istri keponakan tirinya sendiri. Lebih tepatnya ini adalah skandal yang manis. Tujuan Damian datang ke klub malam karena menghilangkan kejenuhannya. Hingga kemudian, ada satu wanita duduk di klub malam seorang diri yang berhasil membuat perhatian Damian ke arah wanita itu. Semua mengalir begitu saja bahkan sampai berakhir di ranjang. Well, Damian menyadari betapa berengsek dirinya karena telah meniduri istri keponakan tirinya sendiri.

Akan tetapi, ada satu hal yang membuat Damian terkejut sekaligus tak menyangka yaitu Fargo belum pernah menyentuh Kimberly. Di usia yang sudah dewasa masih ada seorang wanita yang masih perawan itu adalah hal yang mustahil. Sosok Kimberly seperti menjadi jarum di dalam jerami.

“Permainan yang sangat menarik,” guman Damian dengan seringai di bibirnya.

***

Kimberly mengembuskan napas kasar penuh rasa gelisah. Wanita itu memikirkan pertemuannya dengan Damian di kantor Fargo. Sungguh, dia tak tahu Fargo akan mengundang Damian. Tujuannya mendatangi kantor Fargo karena mengurus proses investasi yang dia lakukan pada perusahaan yang baru saja Fargo dirikan. Namun siapa sangka ternyata Damian juga berinvestasi di perusahaan baru Fargo. Bahkan Damian menjadi investor paling tinggi di perusahaan baru milik suaminya itu.

Darrel Group adalah salah satu perusahaan besar di Amerika. Tak heran jika Damian menjadi salah satu investor terbesar di perusahaan yang baru saja Fargo dirikan. Tepatnya setelah Kimberly tahu Damian adalah pria yang menjadi partner one night stand-nya.

Kimberly tak sengaja menemukan artikel tentang Damian Darrel di internet. Rupanya paman tiri suaminya itu memiliki kekuasaan sangat besar dan berpengaruh di Amerika. Selama ini bisa dikatakan Kimberly tak pernah terlalu mengikuti informasi lengkap tentang para billionaire muda di Amerika. Terlebih Darrel Group belum pernah terlibat kerja sama dengan perusahaan keluarganya. Itu yang membuat Kimberly tak begitu mengetahui secara dalam.

“Kimberly, kau bodoh sekali.” Kimberly memijat pelipisnya guna meredakan rasa sakit di kepalanya.

Suara ketukan pintu terdengar, membuat Kimberly mengalihkan pandangannya pada sumber suara itu. Dia mendecakan lidahnya sebal kala ada yang mengganggunya dalam keadaan kepalanya yang pusing seperti ini.

“Masuk!” seru Kimberly kesal.

Saat kenop pintu terbuka, seorang pelayan melangkah masuk ke dalam, mendekat pada Kimbery seraya menyapa dengan sopan, “Selamat malam, Nyonya Kimberly.”

“Kenapa kau menggangguku?” tanya Kimberly menahan rasa kesalnya.

“M-maaf, Nyonya. Saya tidak bermaksud mengganggu Anda. Saya hanya ingin menanyakan menu makan malam apa yang Anda ingin makan malam ini?” tanya sang pelayan sopan dengan kepala yang masih tertunduk.

Kimberly memejamkan mata singkat. Jika tidak diingatkan pelayan, maka dia tidak akan ingat sejak tadi siang belum makan. Rasa pusing di kepalanya membuatnya tak nafsu makan. Sepertinya kerumitan yang terjadi telah membuatnya kenyang.

“Tolong buatkanku salad sayur dan salmon panggang saja,” jawab Kimberly datar.

“Baik, Nyonya. Hm, Nyonya ada yang ingin saya sampaikan pada Anda,” ucap sang pelayan sopan namun tersirat serius.

“Ada apa?” Kimberly menatap pelayan itu lekat.

“Tadi Tuan Fargo menelepon, Nyonya. Beliau mengatakan malam ini akan pulang terlambat,” kata sang pelayan memberi tahu dan langsung membuat raut wajah Kimberly berubah.

“Fargo menelepon ke rumah? Kenapa dia tak menghubungi ponselku?” tanya Kimberly dengan nada kesal. Siang tadi saat Kimberly berada di kantor Fargo, suaminya itu memang meminta Kimberly untuk pulang duluan. Alasannya seperti biasa Fargo mengatakan sibuk dan sibuk. Entah apa yang membuat suaminya itu sibuk sampai lupa segalanya.

“Nyonya, mungkin ponsel Anda tidak aktif, jadi Tuan Fargo menelepon ke rumah,” jawab sang pelayan sopan.

Mendengar jawaban dari pelayan, Kimberly segera mengambil ponselnya yang terletak di atas sofa dan segera melihat ke layar—dan seketika Kimberly mengumpat melihat ponselnya tidak aktif. Dia lupa mengisi daya baterai ponselnya. Terlalu banyak yang menjadi beban pikirannya sampai-sampai hal kecil dan penting dalam hidupnya saja sampai diabaikan.

“Bagaimana, Nyonya? Apa benar ponsel Anda tidak aktif?” tanya sang pelayan hati-hati. Pelayan itu menggaruk kepalanya tak gatal. Ada rasa takut Kimberly mengomel padanya.

“Ya, aku lupa mengisi daya baterai di ponselku. Sekarang kau keluarlah. Tolong siapkan makan malam untukku dan bawakan aku teh hijau. Malam ini aku ingin malam di kamar. Aku sedang malas makan di ruang makan,” jawab Kimberly dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.

“Baik, Nyonya. Saya akan segera siapkan makan malam untuk Anda. Kalau begitu saya permisi.” Sang pelayan menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Kimberly.

Kimberly menghempaskan tubuhnya di sofa tepat kala pelayan sudah pergi. Wanita itu menyandarkan punggungnya di sofa sambil memejamkan matanya sebentar. Sesaat, benak Kimberly memikirkan kejadian di mana Fargo mendapatkan telepon dari Gilda. Bukan berniat mencurigai, tapi Kimberly yakin selama ini Fargo dan saudara tirinya itu tak pernah menjalin komunikasi dekat. Namun kenapa sepertinya mereka sekarang ini dekat sekali?

“Besok aku harus bertemu dengan Gilda. Aku akan bertanya langsung padanya,” gumam Kimberly dengan sorot mata lurus ke depan dan pikiran yang menerawang.

***

Saat pagi menyapa, Kimberly sudah bersiap-siap ingin pergi ke rumah keluarganya. Hari ini tujuan Kimberly adalah menemui saudara tirinya itu. Namun, tentu dia tak akan bilang pada Fargo akan menemui saudara tirinya. Wanita itu hanya mengatakan pergi ke kantor seperti biasa.

“Kimberly …” Fargo melangkah keluar dari walk-in closet, menghampiri Kimberly yang tengah menikmati sarapannya.

“Ada apa?” Kimberly mengalihkan pandangannya, menatap jengkel Fargo. Tadi malam suaminya itu pulang begitu larut. Entah jam berapa, karena Kimberly sudah tertidur.

“Minggu depan ada rapat para pemegang saham. Kau jangan lupa datang. Ada beberapa dokumen yang harus kau tanda tangani lagi. Di pembahasan meeting, aku minta kau cukup menuruti apa yang aku katakan.” Fargo duduk di samping Kimberly—pria itu mengambil cangkir yang berisikan kopi panas dan langsung menyesapnya perlahan. 

“Aku tidak perlu datang di meeting itu. Cukup kau saja. Lagi pula aku adalah istrimu, jadi kau bisa mewakiliku di meeting para pemegang saham,” jawab Kimberly datar sambil memakan sandwich di tangannya.

“Kau tidak bisa tidak datang, Kimberly. Perusahan ini masih baru aku dirikan. Paling tidak di awal-awal kau tetap wajib datang,” balas Fargo menekankan dan penuh ketegasan.

“Aku tidak bisa datang, Fargo. Jika kau ingin aku datang, kau wajib untuk mengusir Pa—” Perkataan Kimberly terpotong kala menyadari apa yang akan dia ucapkan. Buru-buru Kimberly meneruskan. “Maksudku, aku malas datang. Banyak pekerjaan yang harus aku kerjakan.”

“Jangan keras kepala, Kim. Semua sudah diatur. Minggu depan meeting pemegang saham. Luangkan waktumu satu jam saja. Setelah meeting, kau bisa ke kantormu,” jawab Fargo yang menyudahi sarapannya. “Aku harus berangkat sekarang. Pagi ini aku memiliki meeting penting.”

“Fargo, tunggu—” Kimberly menahan lengan Fargo.

“Ada apa lagi, Kimberly?” Fargo mengalihkan pandanganya, menatap Kimberly.

“Hm, apa malam ini kau akan pulang terlambat?”

“Aku tidak tahu. Belakangan ini pekerjaanku terlalu banyak. Kau jangan menungguku. Kau tidur duluan saja.”

“Tapi—”

“Aku harus berangkat sekarang. Aku tidak ingin terlambat di meeting pentingku ini. Kau jelas tahu aku baru saja mendirikan perusahaan baru. Banyak hal yang harus aku urus. Jadi tolong kau mengerti posisiku.”

Fargo menyambar kunci mobilnya, dan melangkah pergi meninggalkan Kimberly yang masih bergeming di tempatnya. Tampak Kimberly mendecakkan lidahnya jengkel. Namun, dia tak memiliki waktu jika masih dirundung rasa kesal. Detik selanjutnya, ketika Fargo sudah pergi, Kimberly meninggalkan kamar—menuju mobil yang sudah disiapkan.

Sepanjang perjalanan, Kimberly menatap cuaca begitu cerah. Sayangnya tak secerah hatinya. Benak dan hatinya kacau terlalu banyak hal rumit yang dia pikirkan. Dia merasakan dirinya berada di sebuah labirin yang dia tahu dirinya tak bisa untuk kembali.

Saat di lampu merah, Kimberly menghentikan mobilnya tepat di paling depan. Namun tiba-tiba tanpa sengaja tatapan Kimberly teralih pada salah satu toko perhiasan yang tak jauh darinya.

Mata Kimberly menyipit melihat pasangan pria dan wanita tampak mesra keluar dari toko perhiasan tersebut. Kimberly mendekatkan pandangannya, sosok pria tampan berpakaian jas hitam sangat tak asing di matanya. Wajah tampan, aura ketegasan, cara berjalan yang jantan. Semua hal yang miliki pria itu sangat Kimberly hafal.

‘Damian? Bukankah itu Damian? Tapi siapa wanita yang di sampingnya itu?’ batin Kimberly dengan raut wajah yang ingin tahu. Entah kenapa hati Kimberly seakan merasakan sesuatu.

Ya, pria yang baru saja keluar dari toko perhiasan itu adalah Damian Darrrel. Akan tetapi kali ini berbeda, kali ini Kimberly melihat Damian bersama dengan sosok wanita yang tak dia kenali. Jaraknya dan Damian cukup jauh. Itu yang membuat Kimberly tak terlalu jelas melihat wajah wanita yang bersama dengan Damian.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status