Share

Bab 7. Beautiful Affair

Suara Damian berbisik dengan nada rendah dan serak tepat di depan bibir Kimberly. Tubuh gagah pria itu semakin menghimpit Kimberly, membuat wanita itu tak bisa bergerak sedikitpun darinya. Tampak sorot mata pria tampan itu menatap Kimberly dengan tatapan seperti singa lapar.  

“Berengsek!” Raut wajah Kimberly berubah mendengar ucapan vulgar Damian. Emosi Kimberly tersulut. Wanita itu hendak melayangkan tangannya menampar Damian, tetapi sayangnya gerak pria itu begitu cepat. Damian menangkap tangannya dengan mudah—lantas meletakan tangan wanita itu tepat di atas kepala.

“Lepaskan aku, Bajingan!” Kimberly berontak sekuat tenaga.

“Wanita sepertimu tidak cocok mengeluarkan kata-kata umpatan, Kim.” Damian mencium leher Kimberly, embusan napasnya menerpa kulit membuat tubuhnya meremang.

Kimberly memejamkan matanya seraya menggigit kuat bibirnya kala embusan napas Damian sukses membangkitkan api gairah dalam dirinya. Shit! Kimberly merutuki tubuhnya yang malah seolah memberikan respon akan sentuhan Damian itu.

“L-lepaskan aku, Damian. Aku ini istri keponakanmu!” Kimberly berucap dengan susah payah.

Damian tersenyum misterius. Pria itu menjauhkan wajahnya menatap lekat manik mata hazel Kimberly. “Well, hubunganmu dan suamimu juga sudah renggang, kan? Kenapa sekarang aku harus mempermasalahkan status? Lagi pula, sampai detik ini pun suamimu belum pernah menyentuhmu. Ingat, Kim. Malam itu kau sendiri yang mengantarkan dirimu padaku. Jadi jangan salahkan aku tidak bisa melepaskanmu.”

“Aku mabuk, Berengsek! Jika aku tidak mabuk mana mungkin aku tidur dengan Paman dari suamiku sendiri! Otakku masih cukup waras! Aku bukan sepertimu yang mencari kesempatan di saat orang itu mabuk!” sembur Kimberly emosi. Napasnya memburu. Amarahnya nyaris meledak.

Damian tampak begitu menikmati amarah Kimberly yang sangat seksi di matanya itu. “Aku tidak pernah mencari kesempatan. Malam itu kau sendiri yang mengajakku menghabiskan malam bersama. Sebagai pria normal tidak mungkin kan aku menolak, hm?”

“Bajingan kau, Damian!” maki Kimberly dengan emosi yang tak lagi bisa tertahan.

Suara gedoran pintu toilet sontak membuat Kimberly mengalihkan pandangannya ke arah pintu. Refleks, Damian melepaskan wanita yang berada di kungkungannya itu.

“Kimberly? Apa kau di dalam?” seru Carol dari luar toilet dengan nada cukup kencang.

Wajah Kimberly memucat kala Carol memanggilnya. Shit! Ini pasti karena dirinya terlalu lama di toilet sampai-sampai membuat temannya itu menyusulnya. Tidak! Kimberly tidak akan membiarkan Carol sampai tahu skandal sialan ini.

“Minggir!” Kimberly mendorong tubuh Damian yang menghalangi langkahnya, dia langsung buru-buru keluar dari toilet.  

“Kim? Kau lama sekali. Pintu kenapa dikunci? Aku pikir kau ketiduran di toilet,” kata Carol dengan embusan napas kesal melihat Kimberly keluar dari toilet.

“Aku sakit perut,” dusta Kimberly.

“Sakit perut? Kau makan apa sampai sakit perut?”

“Aku tidak mengerti. Tiba-tiba perutku sakit sekali. Aku pulang duluan. Aku ingin segera beristirahat.”  

“Jika aku sendiri di sini, aku pulang dengan siapa? Tadi sopirku sudah aku minta pulang duluan. Aku kasihan jika aku minta sopirku kembali lagi. Ya sudah, kita pulang bersama saja. Kebetulan malam ini ada yang ingin aku kerjakan, tapi sebelum pulang kita harus pamit dulu pada Jennisa, ya? Tidak enak kalau tidak pamit dengan Jennisa.”

Kimberly mengangguk menyetujui ucapan Carol.  

***

“Kimberly? Carol? Kalian dari mana?” Jennisa bertanya kala melihat Kimberly dan Carol masuk ke dalam ballroom hotel.

“Aku dan Kimberly dari toilet. Jennisa, sorry, sepertinya kami harus pulang lebih dulu. Ada urusan yang harus kami kerjakan. Maaf kami tidak bisa berlama-lama di pesta ulang tahunmu. Sekali lagi selamat ulang tahun, Jennisa. Wish you all the best,” ucap Carol mewakili dengan senyuman anggun dan ramah di wajahnya pada Jennisa.

Kimberly yang ada di samping Carol lebih banyak diam, seperti enggan bicara.  

“Sayang sekali kalian harus buru-buru, tapi tidak apa-apa, aku mengerti. Next time kita bisa bertemu lagi,” balas Jennisa hangat dan lembut.

Kimberly tersenyum bersamaan dengan Carol yang juga tersenyum merespon ucapan Jennisa. Detik selanjutnya, mereka segera melangkah meninggalkan Jennisa. Namun, di kala Kimberly dan Carol baru saja hendak meninggalkan ballroom hotel—langkah mereka sama-sama terhenti ketika berpapasan dengan Damian yang baru saja masuk ke dalam ballroom.

Hi, Damian,” sapa Carol seraya melukiskan senyuman pada Damian.

Hi,” jawab Damian datar pada Carol.

Napas Kimberly seakan begitu berat setiap kali berhadapan dengan Damian. Terlebih ingatan Kimberly mengingat kejadian saat di toilet. Kata-kata vulgar Damian selalu terngiang di benaknya. Shit! Betapa bodoh dirinya tadi merespon sentuhan Damian. Beruntung tadi Carol menghapirinya ke toilet. Jika tidak, entah apa yang terjadi pada dirinya.

“Kau ingin pulang, Kim?” tanya Damian dengan suara berat khasnya pada Kimberly.

“Iya, Paman. Suamiku sudah menungguku di rumah. Aku harus segera pulang,” jawab Kimberly dengan suara tenang dan sorot mata yang tersirat begitu dingin.

Damian tersenyum penuh arti. “Alright, take care. Senang bisa melihatmu di pesta ini, Kim.”

“Aku permisi. Selamat menikmati pesta ini, Paman.” Kimberly menjawab dengan nada penuh penekanan terutama pada kata ‘Paman’, kemudian dia mengajak Carol untuk meninggalkan tempat itu.  

Saat Kimberly dan Carol sudah pergi, tatapan Damian tak lepas menatap punggung Kimberly. Cara jalan Kimberly yang anggun. Tubuhnya indah. Lekuknya memukau serta bokongnya yang pandat dan menantang membuat imajinasi Damian mengingat tubuh polos Kimberly. Seringai di bibir Damian terlukis. Fantasi itu tak akan mungkin terlupakan.

“Damian? Kau dari mana?” tegur Jennisa yang kini menghampiri Damian.

“Tadi aku bertemu dengan temanku,” jawab Damian datar.

Jennisa menghela napas dalam. “Baiklah. Oh, ya. keponakanmu dan temannya sudah pulang.”

“Ya, I know. Tadi aku bertemu dengannya.”

By the way, apa kau sering bertemu dengan Kimberly?”

Damian terdiam bebrapa saat mendengar pertanyaan Jennisa. Pria itu mengambil champagne yang diantarkan oleh pelayan. Menyesapnya perlahan dan berkata santai seraya mengulas senyuman misterius di wajahnya, “Aku jarang bertemu dengannya, tapi beberapa hari terakhir ini aku sering bertemu dengannya.”

***

Mobil sport yang dilajukan Kimberly melaju dengan kecepatan penuh membelah kota Los Angeles. Terlihat Carol sedikit terkejut bercampur takut kala Kimberly melajukan mobil seperti orang yang tak tahu aturan.

“Kim, jika kau bunuh diri lebih baik kau sendiri saja. Aku belum mau mati, Kim. Kau tahu aku belum menikah,” seru Carol memprotes.

 “Diamlah, Carol. Kau pikir aku ingin bunuh diri?” balas Kimberly datar.

Carol mendecakkan lidahnya. “Kau ini kenapa? Tadi di pesta kau tidak marah-marah seperti ini. Kau mengajakku pulang karena kau sakit perut, tapi kenapa sekarang kau seperti sedang kesal pada seseorang? Apa di pesta ulang tahun Jennisa ada yang membuatmu kesal?”

“Aku hanya kelelahan saja,” jawab Kimberly singkat.

Carol mengembuskan napas panjang. Wanita itu memilih tak menjawab ucapan Kimberly. Hingga ketika mobil yang dilajukan Kimberly memasuki gedung apartemen di mana unit miliknya berada, dia segera turun dari mobil.

Thanks. Take care, Kim,” ucap Carol pada Kimberly—dan direspon anggukkan singkat.

***

“Selamat malam, Nyonya Kimberly,” sapa sang pelayan dengan sopan pada Kimberly yang baru saja memasuki mansion.  

“Malam. Tolong jangan ganggu aku. Aku ingin di kamar. Jika ada yang menghubungiku, minta mereka menghubungiku besok,” ucap Kimberly dingin dengan raut wajah menahan kesal.

“Hm, Nyonya. Tunggu. Ada yang—”

“Apa lagi? Kau tidak tahu aku ini lelah?” seru Kimberly dengan tatapan dingin dan kesal pada sang pelayan di hadapannya itu.

“T-tadi Tuan Fargo menelepon, Nyonya. Beliau mengatakan tidak pulang malam ini. Ada pekerjaan yang beliau harus kerjakan,” ucap sang pelayan dengan gugup.

Kimberly mengembuskan napas kasar seraya mengumpat dalam hati. Sungguh, dia tak mengerti kesibukan apa yang dimiliki oleh Fargo sampai-sampai tidak pulang ke rumah.

“Ya sudah, biarkan saja. Nanti Fargo juga akan pulang. Tolong jangan ganggu aku. Aku ingin istirahat.” Kimberly memilih untuk melanjutkan langkahnya masuk ke dalam kamar. Wanita itu tak ingin membahas tentang Fargo. Bukankah ditinggal seperti ini sudah biasa? Rasanya marah pun percuma. Kepala Kimberly sudah pusing memikirkan banyaknya kerumitan di hidupnya.

***

Di sebuah kamar hotel yang megah, dua insan tengah terbaring di ranjang saling berpelukan. Tubuh keduanya polos tanpa sehelai benang pun. Hanya selimut tebal yang menutupi tubuh keduanya. Tampak kedua insan itu sedikit kelelahan akibat pergulatan panas mereka yang sudah tak lagi bisa terhitung berapa kali.

“Fargo, tadi pagi Kimberly datang menemuiku,” ucap Gilda seraya mendongakkan kepalanya dari dalam pelukan Fargo.

“Kimberly datang menemuimu?” Kening Fargo mengerut, tatapannya menatap lekat Gilda. Pria itu sedikit terkejut kala Gilda mengatakan Kimberly menemuinya.

Gilda menganggukkan kepalanya. Wanita itu memasang wajah kesal mengingat kejadian tadi pagi. “Iya, Kimberly menemuiku. Istrimu yang menyebalkan itu mulai mencurigai kita. Kapan kau menceraikannya, Fargo? Aku sudah muak dengan sifat angkuhnya. Dia selalu saja sombong.”

Fargo berdecak seraya memejamkan mata singkat merutuki Kimberly yang selalu saja mencari-cari masalah. “Aku belum bisa menceraikannya, Gilda. Lebih baik kau tidak usah pikirkan Kimberly. Dia curiga karena dia melihatmu menghubungiku. Aku yakin nanti kecurigaannya akan menghilang.”

“Kenapa kau belum bisa menceraikannya, Fargo? Bukannya kau juga sudah mampu mendirikan perusahaan sendiri tanpa bantuan keluargamu? Kau menikah dengan Kimberly karena perjodohan. Kau tidak pernah mencintainya,” seru Gilda kesal.

“Tidak semudah itu, Gilda. Perusahaan ayahku sempat mengalami kerugian karenaku. Aku baru-baru ini merintis perusahaan baruku. Kimberly juga turut berinvestasi di perusahaan baruku. Paling tidak tunggu sampai berapa bulan lagi baru aku bisa menceraikan Kimberly. Sekarang aku masih belum bisa menceraikannya,” jawab Fargo berusaha menjelaskan pada Gilda.

Raut wajah Gilda semakin kesal kala mendengar ucapan Fargo. Ya, Gilda dan Fargo telah menjalin hubungan jauh sebelum Fargo dan Kimberly menikah. Hanya saja, Fargo telah dijodohkan oleh Kimberly. Alasan Fargo dijodohkan oleh Kimberly karena kedua orang tua Fargo dan Kimberly sudah berteman baik cukup lama. Pun selama ini perusahaan ayah Fargo cukup sering bekerja sama dengan perusahaan ayah Kimberly.

“Hey, kau marah?” Fargo menarik dagu Gilda, mencium dan melumat bibir wanita itu.

“Menjauhlah, Fargo! Lebih baik kau tinggalkan aku saja dan pergi dengan istrimu yang sombong itu!” Gilda hendak mendorong dada Fargo, tapi buru-buru Fargo memeluk erat Gilda.

“Aku tidak pernah mencintai Kimberly. Kau tetap yang terbaik di mataku,” ucap Fargo seraya mengusap punggung Gilda sambil memeluk erat. “Aku mohon mengertilah posisiku. Aku tidak bisa langsung menceraikan Kimberly. Pernikahanku dan Kimberly masih sangat baru.”

Gilda mengembuskan napas panjang dari dalam pelukan Fargo. “Aku tidak mau kau terlalu lama dimiliki wanita angkuh itu. Aku muak dengannya. Setiap kali bertemu dengannya, aku ingin sekali mencakar dan menarik rambutnya karena telah merebutmu dariku.”

Fargo menangkup kedua pipi Gilda, melumat kembali bibir wanita itu sambil berbisik serak, “Aku dan Kimberly hanya status saja. Aku tidak pernah dimiliknya, Gilda. Aku hanya milikmu. Percayalah, aku pasti akan segera bercerai dengan Kimberly.”

Hati Gilda mulai luluh mendengar ucapan Fargo. Senyuman di wajah Gilda terlukis. Wanita itu segera mengalungkan tangannya ke leher Fargo—dan membalas ciuman Fargo lebih dalam. Api gairah membakar keduanya. Detik selanjutnya, Fargo menindih tubuh Gilda. Kedua insan itu berciuman dengan begitu panas dan liar. Lagi, mereka kembali melakukan pergulatan panas yang selalu mereka lakukan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status