Assalamu'alaikum, readers .... Selamat lebaran, minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin🥰🙏
“Gila, sih, lu, Na. Cowok seganteng dan setajir Andra lu prank begitu.”“Tapi, kalau gue jadi Nawang, sih, auto mikir-mikir juga kalau pedekate sama cowok bersih en super perfect macam Andra. Entar apa-apa dikomentarin. Kurang ini, kurang itu, harus gini, harus gitu. Iyuuuh ....”Aku hanya terkekeh mendengar teman-teman sejawat yang terlihat pro dan kontra saat tahu aku memilih mundur daripada lanjut dengan si super bersih, Andra. “Eh, emang lu beneran enggak mandi, Na, pas mau jalan sama si Andra?”“Iya. Gue cuma mandi pagi doang. Sorenya males mandi karena emang malamnya mau jalan sama dia. Tapi, pas pulang gue langsung mandi.”“Terniat banget jadi perawan ting-ting.”“Sialan, lu!” Kulempar Ayu dengan tutup pulpen.“Masih nungguin suami orang jadi duda, Na?”“Eh, siapa, siapa?” Ayu mulai kepo.Aku menaruh telunjuk di depan bibir. Menyuruh Nanda agar tak bercerita lebih soal curahan-curahan hatiku kepadanya.“Itu si Vi ....”Aku melotot ke arah Nanda.“Vi ... Vi siapa, Nan?” Si Ayu
"Selamat, Mas,” ucapku dengan dada menahan sesak.Mas Vino hanya tersenyum tipis seraya mengangguk. Wajah khawatirnya semakin membuatku sakit. Seolah-olah tengah meremas segumpal daging yang selalu berdetak tak karuan kala menatap wajah tampannya. Apa aku tengah cemburu? Ya, aku cemburu dengan perhatiannya terhadap sang istri.“Hallo, Bu. Vino lagi di rumah sakit.”“Kalila pendarahan.”“Iya, sudah ditangani dokter.”Aku terus memerhatikan kawan baik Bang Wisnu yang pasti tengah menghubungi keluarganya. Kenapa dulu aku tak berani untuk berterus terang soal perasaan ini? Kenapa aku memilih bungkam saat dulu Papa dan Mama menggoda Mas Vino agar mau menjadi menantunya?Aku terlalu pemalu hingga hanya bisa berharap bahwa Mas Vino peka dan mau menyambut rasa ini terlebih dahulu. Terlalu naif dan berpikir bahwa tak pantas jika wanita menyatakan rasa lebih dulu. Padahal, tidaklah berdosa seandainya seorang wanita meminta kepada walinya agar menyampaikan rasa terhadap seorang pria agar pria te
"Maaf, ya, Yang. Harusnya aku enggak ninggalin kamu sendirian sampai akhirnya semua ini terjadi.”Aku menatap wajah suami yang masih menyiratkan gurat khawatir dan kecewa dengan dirinya sendiri. Ingin tertawa karena menganggapnya lebay, tetapi dia sangat khawatir dengan istri dan juga buah cinta kami. Akhirnya, aku hanya mampu tersenyum dan mengelus rambutnya pelan yang kini tengah duduk di kursi samping bed pasien.“Enggak ada yang tahu apa yang bakal terjadi dalam kehidupan kita, Mas. Bahkan sedetik kemudian,” jawabku. “Kalau aku tahu saat kamu ke toilet bakal ada gempa, pasti aku akan keluar bangunan lebih dulu agar tak disenggol anak tambun itu.”Mas Vino mengulas senyum dan mencium tanganku yang sejak tadi selalu ia genggam. “Aku enggak akan maafin diriku sendiri kalau kamu dan anak kita sampai kenapa-napa, Yang.”“Udah, Mas ... semua baik-baik aja, kan? Aku sama adek enggak pa-pa. Cuma harus banyak istirahat dulu.”"Iya, Alhamdulillah." Mas Vino mengelus perutku dengan sayang.T
Mataku memejam beberapa saat. Jemari yang masih berada dalam genggaman Mas Vino kugerakkan untuk membangunkannya. Sungguh, aku takut membuka mata seorang diri. Akan tetapi, Mas Vino masih tak memberi respons apa pun. Bergerak misalnya.Apa ada seseorang yang ingin mencelakaiku dan juga janin dalam kandungan ini? Dengan menyuntikkan sesuatu ke dalam cairan infus. Tapi ... siapa? Aku bahkan baru masuk di salah satu RS bersalin di sini. Belum apa-apa kenapa sudah horor begini?Suara langkah yang diseret semakin menjauh hingga terdengar handle daun pintu yang dibuka pelan lalu ditutup juga dengan hati-hati. Mungkin agar tak menimbulkan bunyi yang akan mengusik penghuni ruang VIP ini. Aku bernapas lega walau kelopak mata masih tak ingin kubuka.Merasa aman, aku segera membuka mata dan menarik tangan Mas Vino dengan sedikit keras.“Hm!” Mas Vino bergumam dan sedikit terperanjat.Aku menatapnya dengan tatapan jengkel. Dari tadi kek bangunnya! Rutukku dalam hati.“Kamu kebangun, Yang?”Hanya
Perawat berkerudung itu sama sekali tak canggung dan terus berjalan menuju kamar mandi. Apa maksudnya? Bermaksud untuk berinisiatif? Apa karena dia terbilang akrab dengan keluarga mertua jadi merasa punya celah? Tidak, tidak. Ini tidak bisa dibiarkan.“Stop!” teriakku agak nyaring.Langkah Nawang terhenti. Bersamaan dengan itu pintu kamar terbuka, Ibu mertua kembali. Sementara Mas Vino yang tadi hanya bersembunyi di balik daun pintu kamar mandi mulai melongokkan kepalanya.“Loh? Nawang?” pekik Mas Vino.Ibu mertua juga tampak terkejut dan mendekati adik pertama si Wisnu. “Kamu ... ngapain bawa baju Vino, Nak?” tanya beliau menatap bergantian pada gadis di depannya juga pada baju yang berada di tangan sang gadis.“E ... s-saya cuma mau bantu Mbak Kalila ngasih baju ganti buat Mas Vino, Tante,” jawabnya sedikit gugup.“Aku nggak pernah minta tolong sama kamu!” jawabku ketus.Bisa-bisanya dia berubah manis dan menambahi sapaan pada namaku setelah ada mertua juga Mas Vino yang masih terbe
"Lepasin tanganku!” ucap Mas Vino dengan nada datar, tetapi raut wajah terlihat tak bersahabat.“A-aku mau ngomong sesuatu, Mas.”“Ngomong aja, enggak perlu pegang tanganku begini!”Dengan lemah dan tak rela, akhirnya Nawang melepas cekalan tangannya. Suasana mendadak kaku. Mau apa lagi si ulat bulu ini menjeda perjalanan kami? Tentu saja aku kesal dengan ulahnya.“Kenapa kamu enggak sehangat dulu, Mas?”“Maksudnya?”“Iya. Dulu Mas Vino sendiri yang bilang pengen punya adik perempuan. Dan Mas Vino bilang nganggap aku sebagai adik. Tapi sekarang ... setelah ada wanita ini Mas Vino berubah. Mas Vino bahkan sudah lupa dengan perempuan yang udah didedikasikan sebagai seorang adik.”Wah, wah, wah. Berani sekali dia berbicara di tempat umum seperti ini. Eh, sebentar! Siapa yang dia maksud dengan ‘wanita ini’? Apakah itu aku? Kalau iya, wah ... benar-benar cari perkara gadis ini!Aku hanya diam menyimak. Ingin tahu bagaimana cara Mas Vino membelaku dan juga ingin melihat bagaimana ia menyada
Astagfirullah ....Aku beristigfar lirih mendengar kabar dari Mas Adam. Dengan saksama telingaku mendengarkan penuturan darinya. Tiga orang lainnya yang berada di dalam mobil hanya diam sembari menunggu. Segera kututup telepon setelah mengucap terima kasih.“Ada apa, Yang?”“Aldrin resmi jadi tersangka, Mas. Dia sudah jadi tahanan di rutan Dili.”“Terus kenapa kamu kayak kaget begitu, Yang?”“Dia masuk penjara gara-gara kasus lain. Percobaan pembunuhan pada ayah angkatnya sendiri.”“Maksudnya ... Om Heru?”Aku mengangguk.“Kalian pada ngomongin soal apa? Siapa yang masuk penjara?” tanya Ibu, dan tatapan Ayah dari kaca tengah mobil juga seolah-olah ikut menunggu jawaban dariku.Aku lebih dulu menoleh pada Mas Vino. Meminta izin untuk menjelaskan semuanya. Mereka juga perlu tahu. Suamiku hanya mengangguk dengan senyum tipis. Namun, mobil sudah berbelok ke arah gang masuk rumah.“Nanti Kalila pasti cerita, Bu, Yah.”“Yawis, Nduk. Nanti saja. Ini kita sudah sampai.”Ayah dan Ibu turun leb
Nawang sakit? Lalu, apa hubungannya datang kemari? Memangnya kami keluarga dokter? Aku terus memerhatikan Gendis yang kini sudah duduk di sofa ruang tamu. Insiden beberapa hari yang lalu tentu membuat kami semua bertanya-tanya, kenapa Nawang sakit tetapi salah satu anggota keluarganya malah datang kemari?“Ada apa, Nak Gendis? Kakakmu kenapa?” tanya Ibu memulai obrolan.“Sebelumnya Gendis mohon maaf, Om, Tante, Mbak Kalila, dan terlebih Mas Vino. Gendis pun ke sini tanpa sepengetahuan Papa dan Mama.” Ucapannya terjeda dengan helaan napas lesu. “Papa Mama ngelarang Gendis ngasih tahu Mas Vino kalau Mbak Na sedang sakit.”“Memangnya Nawang sakit apa?” tanya Mas Vino dengan nada datar.“Enggak tahu, Mas. Dua hari Mbak Na enggak mau keluar dari kamar. Makanan yang dianterin ke kamarnya pun enggak disentuh sama sekali. Sampai akhirnya kami kira dia tertidur, tapi ternyata dia pingsan.”“Walau seorang perawat, dia paling anti di bawa ke rumah sakit jika badannya bermasalah. Akhirnya, Papa