Mataku memejam beberapa saat. Jemari yang masih berada dalam genggaman Mas Vino kugerakkan untuk membangunkannya. Sungguh, aku takut membuka mata seorang diri. Akan tetapi, Mas Vino masih tak memberi respons apa pun. Bergerak misalnya.Apa ada seseorang yang ingin mencelakaiku dan juga janin dalam kandungan ini? Dengan menyuntikkan sesuatu ke dalam cairan infus. Tapi ... siapa? Aku bahkan baru masuk di salah satu RS bersalin di sini. Belum apa-apa kenapa sudah horor begini?Suara langkah yang diseret semakin menjauh hingga terdengar handle daun pintu yang dibuka pelan lalu ditutup juga dengan hati-hati. Mungkin agar tak menimbulkan bunyi yang akan mengusik penghuni ruang VIP ini. Aku bernapas lega walau kelopak mata masih tak ingin kubuka.Merasa aman, aku segera membuka mata dan menarik tangan Mas Vino dengan sedikit keras.“Hm!” Mas Vino bergumam dan sedikit terperanjat.Aku menatapnya dengan tatapan jengkel. Dari tadi kek bangunnya! Rutukku dalam hati.“Kamu kebangun, Yang?”Hanya
Perawat berkerudung itu sama sekali tak canggung dan terus berjalan menuju kamar mandi. Apa maksudnya? Bermaksud untuk berinisiatif? Apa karena dia terbilang akrab dengan keluarga mertua jadi merasa punya celah? Tidak, tidak. Ini tidak bisa dibiarkan.“Stop!” teriakku agak nyaring.Langkah Nawang terhenti. Bersamaan dengan itu pintu kamar terbuka, Ibu mertua kembali. Sementara Mas Vino yang tadi hanya bersembunyi di balik daun pintu kamar mandi mulai melongokkan kepalanya.“Loh? Nawang?” pekik Mas Vino.Ibu mertua juga tampak terkejut dan mendekati adik pertama si Wisnu. “Kamu ... ngapain bawa baju Vino, Nak?” tanya beliau menatap bergantian pada gadis di depannya juga pada baju yang berada di tangan sang gadis.“E ... s-saya cuma mau bantu Mbak Kalila ngasih baju ganti buat Mas Vino, Tante,” jawabnya sedikit gugup.“Aku nggak pernah minta tolong sama kamu!” jawabku ketus.Bisa-bisanya dia berubah manis dan menambahi sapaan pada namaku setelah ada mertua juga Mas Vino yang masih terbe
"Lepasin tanganku!” ucap Mas Vino dengan nada datar, tetapi raut wajah terlihat tak bersahabat.“A-aku mau ngomong sesuatu, Mas.”“Ngomong aja, enggak perlu pegang tanganku begini!”Dengan lemah dan tak rela, akhirnya Nawang melepas cekalan tangannya. Suasana mendadak kaku. Mau apa lagi si ulat bulu ini menjeda perjalanan kami? Tentu saja aku kesal dengan ulahnya.“Kenapa kamu enggak sehangat dulu, Mas?”“Maksudnya?”“Iya. Dulu Mas Vino sendiri yang bilang pengen punya adik perempuan. Dan Mas Vino bilang nganggap aku sebagai adik. Tapi sekarang ... setelah ada wanita ini Mas Vino berubah. Mas Vino bahkan sudah lupa dengan perempuan yang udah didedikasikan sebagai seorang adik.”Wah, wah, wah. Berani sekali dia berbicara di tempat umum seperti ini. Eh, sebentar! Siapa yang dia maksud dengan ‘wanita ini’? Apakah itu aku? Kalau iya, wah ... benar-benar cari perkara gadis ini!Aku hanya diam menyimak. Ingin tahu bagaimana cara Mas Vino membelaku dan juga ingin melihat bagaimana ia menyada
Astagfirullah ....Aku beristigfar lirih mendengar kabar dari Mas Adam. Dengan saksama telingaku mendengarkan penuturan darinya. Tiga orang lainnya yang berada di dalam mobil hanya diam sembari menunggu. Segera kututup telepon setelah mengucap terima kasih.“Ada apa, Yang?”“Aldrin resmi jadi tersangka, Mas. Dia sudah jadi tahanan di rutan Dili.”“Terus kenapa kamu kayak kaget begitu, Yang?”“Dia masuk penjara gara-gara kasus lain. Percobaan pembunuhan pada ayah angkatnya sendiri.”“Maksudnya ... Om Heru?”Aku mengangguk.“Kalian pada ngomongin soal apa? Siapa yang masuk penjara?” tanya Ibu, dan tatapan Ayah dari kaca tengah mobil juga seolah-olah ikut menunggu jawaban dariku.Aku lebih dulu menoleh pada Mas Vino. Meminta izin untuk menjelaskan semuanya. Mereka juga perlu tahu. Suamiku hanya mengangguk dengan senyum tipis. Namun, mobil sudah berbelok ke arah gang masuk rumah.“Nanti Kalila pasti cerita, Bu, Yah.”“Yawis, Nduk. Nanti saja. Ini kita sudah sampai.”Ayah dan Ibu turun leb
Nawang sakit? Lalu, apa hubungannya datang kemari? Memangnya kami keluarga dokter? Aku terus memerhatikan Gendis yang kini sudah duduk di sofa ruang tamu. Insiden beberapa hari yang lalu tentu membuat kami semua bertanya-tanya, kenapa Nawang sakit tetapi salah satu anggota keluarganya malah datang kemari?“Ada apa, Nak Gendis? Kakakmu kenapa?” tanya Ibu memulai obrolan.“Sebelumnya Gendis mohon maaf, Om, Tante, Mbak Kalila, dan terlebih Mas Vino. Gendis pun ke sini tanpa sepengetahuan Papa dan Mama.” Ucapannya terjeda dengan helaan napas lesu. “Papa Mama ngelarang Gendis ngasih tahu Mas Vino kalau Mbak Na sedang sakit.”“Memangnya Nawang sakit apa?” tanya Mas Vino dengan nada datar.“Enggak tahu, Mas. Dua hari Mbak Na enggak mau keluar dari kamar. Makanan yang dianterin ke kamarnya pun enggak disentuh sama sekali. Sampai akhirnya kami kira dia tertidur, tapi ternyata dia pingsan.”“Walau seorang perawat, dia paling anti di bawa ke rumah sakit jika badannya bermasalah. Akhirnya, Papa
Satu masalah selesai, masalah lain datang menghadang. Mungkin memang seperti itu cara semesta mendewasakan manusia. Sebab sejatinya, tidak ada kenikmatan tanpa ujian.Entah kenapa aku lebih stabil dan tidak meledak-ledak menghadapi pelakor kali ini. Menurutku, Nawang tidak semembahayakan Nindi yang lebih nekat dalam setiap tindakannya.Setelah dua minggu hanya beraktivitas di tempat tidur, kini Mas Vino dan mertua mulai memberi izin untuk kami jalan-jalan menghirup udara segar. Pulang dari RS untuk kontrol dan melakukan USG, aku sengaja membujuk Mas Vino untuk datang ke rumah orang tua Nawang. Bukan untuk menjenguknya, tetapi ingin berkunjung karena baby Wira sedang liburan ke rumah kakek neneknya."Loh, Nak Vino? Nak Kalila? Tumben?" Ibu Gendis tampak kaget melihat kedatangan kami."Iya, Tante, mau main sama baby Wira sekalian ketemu Ratu," ucapku sembari mencium punggung tangannya.Ada senyum tipis dan kelegaan dari mimik wajah wanita paruh baya tersebut. Mungkin beliau mengira kami
"Lu keren banget tadi, Nu.""Bukannya dari dulu gue udah keren?""Ah, nyesel muji!" balas Mas Vino.Wisnu terkekeh. “Lu lupa, Vin? Kisah yang gue ceritain ke Nawang, kan, asalnya dari lu?”“Masa?”“Belum jadi bapak udah pikun.”Kali ini ganti Mas Vino yang terkekeh. “Iya, gue inget, kok. Dan kisah itu gue dapet dari Ayah. Beliau kasih nasihatnya pas gue galauin cewek.”“Cewek yang mana?”“Yang udah ngobrak-ngabrik hati gue sampe enggak bisa move on, dan akhirnya kami nikah.”“Cie ....” Ratu dan Wisnu kompak bersorak.Aku hanya tersenyum melihat keakraban Mas Vino dan perwira TNI itu. Mungkin juga kini wajahku sudah bersemburat merah disoraki layaknya anak ABG yang sedang digombali gebetan. Duh ... jadi berbunga-bunga begini rasanya.Dan aku tidak menyangka, bahwa petuah Wisnu yang berhasil meluluhkan amarahku saat melihat kesadaran dari Nawang ternyata berasal dari suamiku sendiri. Ah, ternyata Papa tidak salah memilihnya untuk menjadi menantu. Selain tampan dan kaya, ia juga agamis.
"Eh. Serius?" Binar di wajah Mas Vino berpendar penuh makna.Aku tersenyum. "Tapi harus slow and smooth. Jangan terlalu semangat kayak biasanya.”“Asiaaap!” Mas Vino langsung menyapu bibirku sekilas. “Kita salat Isya dulu.”“Siap, boskyu!”Benar kata Mas Vino, semesta selalu punya cara untuk melebur setiap rasa pada manusia. Tak selamanya yang keras akan membatu, yang curang akan menang, dan tak semua keinginan manusia harus sejalan dengan rencana. Allah Maha Rahman, Allah Maha Rahim. Dia tidak memberikan apa yang diinginkan hamba-Nya, tetapi Dia akan memberikan apa yang dibutuhkan oleh kita.Ketika tahu Nawang sakit karena cintanya tak sampai, aku sempat berpikir bahwa drama ini akan panjang hingga menyeret Mas Vino sebagai pemicu awalnya. Namun, saat aku bersikap tenang dan memasrahkan semuanya pada Sang Pemilik Kehidupan, ternyata tanpa diduga jalan keluar sudah disiapkan oleh Tuhan. Tuhan memang tak menjanjikan hidup kita selalu indah. Namun, Dia berkata bahwa sesudah kesulitan