"Omil sini Omil. Pus!Pus!" Alvin berusaha meraih Omil yang duduk di atas pagar tembok yang berbatasan dengan villa milik Nana.Kucing putih itu berdiri namun tidak bergerak sama sekali. Sepertinya dia ketakutan karena tidak bisa turun lagi."Alvin!" Sebuah teriakan mengejutkan bocah itu."Omil sana sembunyi." Bisiknya pada kucing gemuk lucu itu."Meow." Omil hanya mengeong pelan dan seperti mengerti ucapan Alvin padanya, dia kembali duduk diam dan tak bersuara lagi."Alvin ngapain di sini? Dipanggil mami tuh!" Seorang gadis cantik keluar dari bangunan utama villa dan menegur Alvin."Lagi main Tante." Alvin menundukkan kepalanya."Oh, ayo masuk!" Gadis itu meraih tangan Alvin dan mengajaknya masuk."Alvin mau main di sini Tante." Alvin menolak dan menghindari gadis itu."Tapi Alvin dipanggil mami lho. Nanti mami marah, ayo masuk!" Gadis itu memaksa Alvin dan setengah menyeretnya."Nggak mau Tante! Nggak mau! Alvin mau main sama Omil!" Alvin berteriak dan memberontak.Alvin tiba-tiba men
Erick melakukan mobilnya lebih kencang, membelah By Pass Ngurah Rai. Sementara Nana duduk di sebelahnya memangku Omil.Air mata tidak henti mengalir di pipinya. Nana sangat tidak tega melihat kondisi kucing kecilnya yang lemah tidak berdaya."Dia masih bernapas kan?" Erick melirik kucing kecil itu dengan cemas."Masih bang, tapi sudah lemah sekali." Nana menjawab terbata-bata di sela Isak tangisnya."Omil, baik-baik ya nak." Bisiknya sembari memeluk dan menciumi kucing berbulu putih itu.Erick terenyuh menyaksikan adegan itu. Dia tahu Nana sangat menyayangi kucing-kucingnya dan mengerti perasaannya saat ini. Khawatir dan takut sekaligus sedih terlihat jelas di raut wajahnya.Perlahan diusapnya kepala wanita itu dengan sayang untuk menghiburnya. Erick tidak peduli di bangku belakang, Jeje memperhatikannya dengan malu-malu. Gadis remaja itu segera menundukkan kepalanya dan membujuk Alvin yang juga tengah menangis."Abang aku takut, ada apa-apa dengan Omil. Dia masih kecil." Nana kembali
Tania mondar-mandir di teras dan sesekali melongokkan kepalanya ke jalanan di depan villanya. Tidak ada mobil ataupun bahkan sepeda motor yang lewat.Jalan di depan memang bukanlah jalanan umum yang dilalui kendaraan. Hanya jalan komplek yang buntu. Hanya penghuni villa-villa di sepanjang jalan ini yang kerap berlalu lalang."Kak duduklah! Jangan mondar-mandir seperti seterika begitu!" Jeny menegurnya dan memintanya untuk duduk bersamanya."Bagaimana kakak bisa tenang Jen! Abangmu pergi lho sama perempuan itu!" Tania berseru kesal, menghentakkan kakinya."Itu kan karena kucingnya ditendang kakak! Jadi Bang Erick nggak enak hati sama perempuan itu." Jeny bersungut kesal melihat kegelisahan sang kakak."Jadi kamu menyalahkan kakak?" Tania berbalik dan menatap sang adik tajam."Duduk gih kak. Sambil kita ngobrol." Jeny kembali mengajaknya untuk duduk.Tania mendesah kesal, namun akhirnya menjatuhkan tubuhnya di atas kursi rotan di sebelah Jeny."Kakak kenapa sih? Coba deh untuk santai da
Erick keluar dari kamarnya sembari mengancingkan lengan kemejanya. Tertegun sejenak saat melihat kopi, toast, omelet dan buah potong tertata rapi di atas meja makan."Je!" Teriaknya memanggil gadis remaja yang tengah merapikan kamar Alvin."Iya Pak." Tergopoh-gopoh Jeje mendatangi Erick."Ini siapa yang siapin?" Erick mengambil cangkir kopi dan menyesapnya pelan.Tiba-tiba dia tersedak dan menyemburkan kopinya. Jeje terkejut dan bergegas mengambilkan tissu untuknya. Antara takut, kasihan sekaligus ingin tertawa membuat ekspresi gadis itu terasa aneh."Manis sekali!" Erick meringis tersenyum kecut."Ibu yang bikin Pak." Jeje menyahut pelan, agak ragu."Oh, Je bikinkan kopi seperti biasa ya." Erick duduk di kursi dan mengambil selembar toast.Perlahan dikunyahnya roti panggang berlapis keju itu pelan-pelan. Setelah itu dia menyicipi omeletnya."Enak sih." Gumamnya lirih."Ini kopinya Pak." Jeje kembali datang dengan secangkir kopi panas mengepul."Terimakasih ya Je. Oh iya, kamu kalau si
Nana menjemput Omil beberapa hari kemudian. Kucing kecil itu sudah sehat dan ceria lagi. Beberapa hari ini bukan hanya Nana yang gelisah, Cleo induk Omilpun kerap membuatnya senewen.Kucing itu berkali-kali menggaruk-garuk pintu kamarnya seakan-akan menanyakan anaknya. Sedangkan Glacie pun turut ketularan kegelisahan Cleo. Hanya Yuki dan Kimy serta Tony yang tidak peduli.Glacie kerap bermain bersama Omil dan Yuki. Ketiga kucing kecil itu meski berbeda jenis dan ukuran tetapi sangat dekat. Mereka seperti memiliki ikatan yang kuat.Cleo segera berlari menyambut Omil dan menjilatinya dengan sayang, begitu Nana melepaskan Omil dan membiarkannya membaur dengan induk dan kucing-kucing lainnya."Omil, lihat tuh mamamu kangen." Nana tertawa sembari menggaruk-garuk leher Cleo.Dia duduk di dekat kucing-kucingnya dan bermain bersama mereka. Mbak Siti hanya menggelengkan kepalanya. Dia sudah terbiasa dengan keakraban Nana dan hewan-hewan berbulu itu.Nana sangat telaten merawat kucing-kucing itu
Nana menyeret travel bagnya, menelusuri koridor Bandara Chang'i yang menuju keluar. Bandara yang merupakan salah satu bandara tersibuk di kawasan Asia itu, dipenuhi lalu lalang para penumpang, calon penumpang dan para penjemput.Perlahan Nana menuju pintu keluar bandara yang menuju ke stasiun MRT. Dia selalu melanjutkan perjalanan ke kawasan Chinatown dengan menggunakan MRT.Meski ada bus dan taxi tapi dirasanya lebih nyaman dengan menggunakan transportasi umum seperti MRT. Selain mudah dan terjangkau, pelayanan dan keamanannyapun terjamin.Setelah selesai dengan segala urusan imigrasi, Nana menyiapkan kartu Ezlink untuk naik MRT. Cukup lama tinggal di Singapura dan harus sering mondar-mandir ke negeri Singa ini membuatnya familiar dengan kehidupan di sini.Chinatown adalah tujuannya, karena tokonya berada di kawasan yang ramai itu. Setelah membeli tiket MRT jurusan Tanah merah dan Teluk Ayer sekaligus, dengan mendorong travel bagnya dia menuju peron menunggu kedatangan MRT yang henda
Sudah melewati tengah malam saat Nana menutup pintu toko rotinya. Jeny sudah pulang sedari tadi. Nana sengaja duduk seorang diri di sudut tokonya, menikmati pemandangan malam di Ann Siang Hill.Salah satu kawasan Pecinan yang cukup populer di Singapura ini menjadi tempat favoritnya semasa bekerja di negeri ini. Waktu itu dia baru lulus dari studynya dan mendapatkan tawaran untuk magang di sebuah hotel di kawasan CBD, Singapura.Mengingat masa-masa itu membuatnya sedikit merindukan masa lalunya. Jika diingatnya dengan baik, sejujurnya ada banyak hal yang pernah terjadi sepanjang hidupnya.Masa kecilnya yang di sebuah kampung kecil yang tertinggal dan berada di tengah keluarga besar yang hiruk pikuk menjadi salah satu bagian terindah dalam hidupnya sekaligus meninggalkan trauma yang membekas hingga kini.Eyang putri, ibu dari ibu kandungnya, telah banyak meninggalkan bekas-bekas kebencian dan rasa malu yang sulit dilupakannya. Tak terbilang beberapa kali wanita tua itu membuatnya menangg
Erick masih sibuk berkutat dengan laptopnya. Ada beberapa hal yang masih harus dikerjakannya meski sudah larut malam."Nyong, ini kopinya." Seorang wanita membawakan kopi dan camilan untuknya."Terimakasih Mi." Erick mendongak dan menatap wanita yang kini duduk di sebelahnya."Sudah malam, apa nggak sebaiknya nyong tidur saja?" Ucap wanita itu dengan lembut.Tangannya bergerak pelan menyentuh rambut Erick. Ditatapnya putra sulungnya itu dengan penuh kasih sayang."Masih banyak pekerjaan mi." Sahut Erick sembari mengambil cangkir kopinya.Perlahan disesapnya minuman favoritnya, terutama jika sang ibunda yang membuatkannya. Meski sekarang diapun mulai kecanduan kopi buatan si ikan, tapi tetap saja kopi buatan mamilah yang paling enak.Tiba-tiba terbersit sebuah ide untuk mengirim pesan pada si ikan. Biasanya tengah malam seperti ini, wanita cantik itu belum tertidur.Erick mengambil foto cangkir kopi dan cemilan di atas meja makan dan mengirimkannya pada Nana. Namun, si ikan rupanya tel