Share

2. Awal Cerita

Suasana hutan di belakang pusat Kerajaan Yi, Hutan Larangan begitu hening dan damai. Qin Lang, pangeran kedua kerajaan Yi berjalan-jalan untuk menenangkan hatinya.

Sudah berkali-kali dia menolak untuk menikah, akan tetapi ada begitu banyak tawaran dan hadiah berupa calon istri yang diberikan kepadanya.

Entah bagaimana lagi cara menolaknya. Haruskah dia mengatakan kalau dirinya tidak memiliki ketertarikan?

Ah, tidak mungkin!

Dia bukan tidak tertarik, hanya saja belum menemukan yang menarik perhatiannya.

"Hey, kau ... apa yang kau lakukan di sini?"

Qin Lang mendengar suara seseorang---perempuan dari tengah hutan.

"Siapa yang bermain-main di sini? Apakah dia seorang gadis? Bukankah tempat ini berbahaya?" gumam Qin Lang dalam hatinya.

"Kau sangat lucu," ucap gadis yang belum jelas wajahnya terlihat.

Di tangannya, perempuan itu memegangi seekor kelinci putih yang memiliki telinga lebar dan panjang. Sangat imut.

"Siapa dia?" pikir Qin Lang sambil terus mendekat dengan perlahan---tanpa membuat suara.

"Namamu adalah Telinga Putih," kata perempuan itu lagi berbicara pada kelinci imut itu.

"Jelas telinganya memang putih," komentar Qin Lang pada pemberian nama yang jelek atau tidak kreatif itu.

"Kau suka? Hm, sudah kuduga kau akan suka. Semua orang memang akan suka denganku."

Gadis itu tertawa-tawa senang sambil menggelitik kelincinya dengan sesukanya.

Tanpa sadar seseorang ikut tersenyum melihat tingkahnya yang lucu dan senyumannya yang semanis kata-kata indah dalam buku puisi peninggalan nenek moyang.

"Apa yang kau lakukan di sini? Mengintip?" teriak perempuan itu sambil memeluk kelincinya dengan erat.

"Ti-tidak," jawab Qin Lang canggung.

Haruskah dia mengatakan kalau seharusnya dialah yang bertanya apa yang dilakukan gadis kecil seperti itu di jam sekarang.

Lalu, ini masih daerah kekuasaan mereka. Haruskah dia jujur kalau dia adalah pangeran kedua?

Ah, tidak! Dia lebih tertarik untuk mengetahui siapa perempuan itu.

"Lalu? Apa yang kau lakukan? Kalau kau tidak mengatakan aku akan berteriak bahwa kau seorang mesum dan penguntit," kata perempuan berbaju hitam dan merah itu.

Rambutnya hanya diikat setengah dan matanya yang abu-abu keunguan membuat wajahnya yang oval dan cantik tampak semakin indah. Apalagi kulitnya sangat putih, pinggang ramping dan juga ...

Bibirnya begitu kecil, merah dan berisi. Sangat menggoda.

Baru kali ini Qin Lang memperhatikan seseorang sampai ke bagian paling rinci.

"Mungkinkah dia bukan manusia?" gumam Qin Lang pelan.

Bukannya menjawab pertanyaan gadis itu, dia malah sibuk mengagumi pemandangan indah yang belum pernah dia lihat.

"Memang aku bukan manusia. Aku adalah Dewi, kau tahu?"

Perempuan itu tersenyum dengan sangat manis.

"Katakan. Katakan siapa namamu," pinta Qin Lang kehabisan akan dan kata-kata.

Untuk pertama kalinya dia merasa tak berdaya seperti itu.

"Panggil saja aku Wang Yin, orang-orang mengenal aku sebagai anak ajaib. Lalu, aku adalah seorang yang kau cari selama ini," balas Wang Yin lalu menghilang di tengah hutan.

Dia sengaja bermain-main seperti itu untuk menggoda lelaki dingin yang aneh itu.

"Wang Yin!" teriak Qin Lang.

Sayangnya perempuan itu menghilang begitu saja.

"Namaku, Qin Lang!" teriaknya lagi seolah berharap gadis itu masih mendengarnya.

Sejak kejadian itu, Qin Lang selalu berkunjung ke tempat yang sama setiap sore.

Dia berharap perempuan yang pernah dia temui itu bisa bertemu dengannya lagi.

Lima tahun berlalu, tidak ada hasil dan Qin Lang masih terus datang ke tempat itu. Kadang, dia juga mencari ke tempat lain di sekitar hutan.

Satu-satunya yang dia lakukan adalah merawat si Telinga Putih karena perempuan itu entah sengaja atau tidak meninggalkannya untuk dirinya.

���������

"Ah, ini tidak benar. Mengapa Ibu tega dan Ayah begitu bodoh?"

Qin Lian memprotes isi buku harian yang mereka baca dengan diam-diam.

Qin Lian dan Qin Yue sudah berusia lima tahun dan keduanya sudah bisa membaca.

Sejak lahir, ibu mereka tidak pernah bangun hingga saat ini.

Kepedihan hati Qin Lang membuat dirinya semakin pendiam walau kepada kedua anaknya masih tetap berkomunikasi sebisanya.

"Kau jangan marah-marah, itu bukan seperti yang kau pikirkan. Kurasa ayah sangat romantis dan setia," jelas Qin Yue pada adiknya.

Mereka adalah anak kembar yang berbeda usia tiga menit saja.

"Mengapa bisa romantis? Itu meninggalkan dan membuat seseorang menunggu. Bagaimana hal itu bisa menjadi hal romantis?"

Qin Lian kebingungan dengan penjelasan kakaknya. Barangkali perempuan memang lebih cepat dewasa dan lebih sensitif soal perasaan.

"Lihat saja. Ayah kita masih menunggunya sejak dulu. Sekarang juga masih menunggu. Bukankah itu hal yang manis?"

Qin Lian mendengarkan penjelasan itu dengan sangat serius walau otaknya yang belum berkembang sempurna tidak mampu mencerna informasi itu.

Anak ini benar-benar memiliki kepekaan mengatasi langit biru, seperti ibunya.

"Ah, aku tidak mengerti. Aku lapar," katanya.

"Apa hubungannya lapar dan tidak mengerti?"

Qin Yue tersenyum dan memberikannya beberapa makanan yang sudah disiapkan oleh pelayan kerajaan.

"Pokoknya begitulah. Aku lapar," kata anak itu dengan santai.

Masih sibuk dengan urusan mereka, pelayan mengumumkan Yang Mulia datang.

Qin Yue dengan gerakan cepat mengubah posisi buku yang mereka curi kembali ke tempatnya semula.

Qin Lian juga pura-pura belajar dengan serius.

"Ayah datang," sapa keduanya dengan sopan.

"Mn, bagaimana pelajaran kalian?" tanya Qin Lang.

"Lancar," jawab Qin Yue dengan sopan.

Qin Lang berjalan dan mendekati kedua anaknya untuk memeriksa kondisi mereka.

"Ayah, apa kabar?" tanya Qin Yue dengan penuh perhatian.

Qin Lang menatapnya agak lama.

"Baik saja," jawabnya akhirnya.

Ujung mata Qin Lang menatap buku harian yang setiap hari dia tulis.

Dia menyadari ada yang berubah dari posisinya, tetapi dia diam saja.

"Apa yang kau pelajari hari ini?" tanya Qin Lang pada Qin Lian.

"Penantian," jawab anak itu lalu menutup mulutnya karena sadar sudah keceplosan.

Mana ada pelajaran semacam itu untuk anak usia lima tahun.

Qin Yue merasa ingin menghilang atau terbang menjadi burung saja saat ini. Adiknya itu sangat payah, sangat latah dan suka berbicara sesukanya.

"Mn?"

Alis Qin Lang naik sebelah dan berharap ada penjelasan lebih lanjut.

"Ah, itu puisi sastra," jelas Qin Lian pura-pura.

"Sastra?" tanya Qin Lang merasa tidak pernah mendengarnya.

Mungkinkah ada buku kerajaan yang belum pernah dia baca?

"Mn, tapi bukunya tidak ada. Aku hanya membayangkan kalau nanti akan ada. Maksudku, mungkin saja aku akan menjadi penulisnya."

Qin Lian bicara semakin tidak jelas sikapnya mirip seperti ibunya dan Qin Yue merasa sudah sakit kepala melihat kembarannya yang sangat tidak jelas itu.

"Bagaimana?" tanya Qin Lang meminta penjelasan lebih lanjut.

"Aku ingin membuat buku tentang ayah dan ibu. Penantian panjang yang akan berujung dengan kebahagiaan."

Qin Lian menceritakan idenya dengan sangat senang, sementara Qin Lang berbeda. Jika anak itu senang, maka dia sendiri merasa seperti berduka.

Hatinya berdecit sakit dan air matanya menetes pelan dan tipis dari kedua sudut matanya.

"Ayah," panggil Qin Yue yang menyadari hal itu.

Qin Lang tidak menjawab bahkan ketika anaknya menghapus air matanya.

Dia terus mengingat dan membayangkan Wang Yin bisa sadar dan kembali ceria seperti dahulu.

"Wang Yin, kapan kau akan kembali?" lirih Qin Lang dalam hatinya.

Walau tidak mengatakan apa pun, Qin Lang kembali tanpa suara dan kedua anak itu menghukum diri mereka dengan berlutut di hadapan tubuh ibunya yang belum sadar juga.

"Ibu, maafkan kami sudah membuat ayah menangis."

Qin Yue berlutut dengan penuh penyesalan.

"Ibu, maafkan itu salahku. Tidak seharusnya aku mengarang, tapi kurasa bakatku ini dari Ibu," tawa Qin Lian pecah bahkan dalam kondisi seperti itu.

Qin Yue menatapnya pelan, seperti tatapan tipis Qin Lang.

"Ah, aku sangat penasaran denganmu. Kurasa akan sangat menyenangkan memiliki ibu seperti aku dan kakak yang beku dan ayah yang kaku akan kita buat menderita. Ibu ayo bangun. Aku juga ingin dipeluk," kata Qin Lian lagi dengan tawa dan tangis di saat yang bersamaan.

Dia tertawa dan terus bercanda walau hatinya juga sakit dan air matanya menetes tak terkendali.

Anak itu benar-benar sesuatu.

Dari kejauhan, Qin Qiu hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat sikap ajaib Qin Lian yang benar-benar mirip seperti Wang Yin dulunya.

Mungkin itu jugalah yang membuat Qin Lang menangis dan berduka untuk cintanya, dia sangat merindukan Wang Yin.

Bersambung ... 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status