Share

4. Seorang Pria dari Jauh

Suasana kamar pangeran mendadak riuh, Qin Lian sibuk mencari baju zirahnya dan mengenakannya.

Tak hanya itu, dia juga mengambil pedangnya yang diasah dan diukir mirip seperti milik ibunya, Pedang Hong.

*Pedang Hong : merah sesuai dengan warna sarungnya.

"Qin Lian mau ke mana?" tanya Qin Qiu terkejut.

Pangeran kecil itu mengangkat pedangnya yang berwarna hitam kemerahan. Persis seperti milik Wang Yin.

"MEMBUNUH Liu Ji!" teriak anak itu dengan mata merah dan lengannya dengan susah payah mengangkat pedang besar itu.

Tubuhnya masih kecil dan belum menguasai ilmu berpedang dengan baik. Dibandingkan kakaknya dia termasuk lambat. Namun, dalam urusan memanah, dia adalah ahlinya.  Bahkan, jika matanya ditutup anak sekecil itu sudah bisa mengenai sasaran tanpa cacat.

Tentu saja jaraknya disesuaikan dengan kebutuhan anak-anak seusianya.

"Liu Ji?"

Qin Qiu mengeryitkan keningnya bingung dan terkejut di saat yang bersamaan.

"Qin Lian, duduklah," kata Qin Yue membujuk adiknya.

Dalam kondisi seperti ini, biasanya hanya kakaknyalah yang akan berhasil membujuk anak itu.

"Tidak mau, Liu Ji sudah membuat ibu menderita, dia harus mati," teriaknya dengan lantang sampai mengejutkan pelayan yang sedang berjaga.

Mendengar keributan itu, dua panglima kebanggaan Kerajaan Yi Lan datang tepat waktu.

"Pangeran, Putri dan Pangeran Kedua Lan," sapa mereka kepada Qin Qiu dan keduanya cucunya.

Qin Qiu adalah Pangeran Kedua Lan sejak dulu hingga sekarang. Dia tidak pernah berniat menjadi raja atau lainnya.

Menjadi pangeran baginya adalah takdir dan jalan hidupnya.

"Kalian berdua di sini, baguslah, kalian bantu aku," kata Qin Lian dengan semangat.

Meskipun dia masih anak-anak, tentu saja panglima akan tetap patuh pada sang pangeran.

"Baik, Pangeran, apa yang bisa kami lakukan untuk Anda?" tanya Jenderal Li Wen dan Jenderal Penghancur Jindan serentak dengan sopan.

"Kalian ikut aku untuk membunuh Liu Ji," kata pangeran kecil itu dengan suara lantang dan dia terlihat nyaris menangis.

Qin Yue memegangi adiknya dan memeluknya dengan perlahan.

"Dia sudah mati," katanya pelan.

"Benar, dia sudah mati," kata Qin Qiu menimpali.

Qin Lian menatap keduanya bergantian.

"Kalian berbohong, kalian berbohong, di catatan ayah tidak disebutkan kalau dia mati selain ayah menutup kerajaan dan menguncinya sejak ibu jatuh koma!"

Qin Lian menjerit dan menangis tersedu-sedu mengenang kisah menyedihkan itu.

Tak ada yang berani berbicara atau membujuknya dalam kondisi seperti itu kecuali kakaknya yang terus memeluknya agar amarahnya mereda.

"A Lian, dia sudah mati," katanya lagi seolah mengucapkan berkali-kali bisa membius pendengarnya---seperti mantra.

Qin Lian terdiam untuk beberapa saat dirinya belum percaya kalau Liu Ji sialan itu sudah mati. Dia harus memastikannya sendiri.

"Harusnya kutanya pada Ling Wen. Kakek tua itu pasti tahu sesuatu," gumamnya pelan.

Qin Qiu mendadak panik begitu nama lelaki itu disebutkan. Dia berharap sahabatnya sudah jauh sehingga tidak terkena murka sang pangeran yang sedang mengamuk ini.

"Liu Ji, kau harus mati!" teriak Qin Lian dengan suara lantang sambil mengacungkan pedangnya ke atas.

Tak disangka Qin Lang sudah berdiri tegak tepat di depannya.

Qin Lian terkejut dan mundur beberapa langkah.

"Ayah, maafkan A Lian dia hanya anak-anak," pinta Qin Yue langsung bersujud di hadapan ayahnya.

"Lalu kau bukan anak-anak?" jawab Qin Lang dengan nada dingin.

Dua jenderal kebingungan harus mengatakan apa.

"Maaf, Yang Mulia, hamba izin menjelaskan. Kami hanya sedang bermain drama," kata Wen Xiu berbohong.

"Drama lakon, iya betul," kata Qin Qiu sambil mengelus jenggotnya dengan perlahan karena gugup.

"Drama?"

Qin Lang berjalan semakin mendekat dan mengambil kloningan Pedang Hong dari tangan anaknya.

"Kau tahu ini pedang apa?" tanyanya masih dengan suara dingin.

"Pe-pedang, mirip milik ibu," jawab anak itu dengan gugup.

"Kau tahu ini berharga?" tanya Qin Lang lagi.

Qin Lian meneguk ludahnya dua kali sebelum mampu menjawab pertanyaan ayahnya.

"Ta-tahu, sama seperti ibu," ucapnya dan langsung menangis tersedu-sedu membayangkan wajah ibunya yang masih tertidur cantik.

"Qin Lian jangan menangis, kau akan melukai ayah," kata Qin Yue memeluk adiknya.

Qin Lang menghela napasnya sebelum berucap, "Kalian berdua ikut aku," katanya.

Qin Lian dan Qin Yue mengikuti Qin Lang ke ruangan belajar, sementara yang lainnya hanya bisa terdiam bagai orang bodoh dengan mulut menganga.

"Mengapa kau berbohong? Apa kau mendadak bodoh?!" protes Jenderal Li Wen pada Peleleh Elixir.

"Daripada kau? Hanya diam? Masih bagus aku bisa berkata-kata walau tidak tahu apa yang terjadi," katanya membela dirinya.

"Berbohong mendapatkan hukuman mati," tegas Qin Qiu.

"Maka Tuan juga akan ikut mati," kata Peleleh Elixir dengan santai.

"Kau!" teriak Qin Qiu dengan suara tertahan.

Sementara ayah dan anak itu masuk ke dalam ruangan belajar, mereka hanya bisa menanti dengan gelisah di depan pintu.

Di dalam sana, Qin Lian sudah tidak menangis karena diberikan camilan dan minuman kesukaannya.

Meski hidungnya sudah mengeluarkan cairan bening beberapa kali karena kebanyakan menangis, anak itu masih bisa makan dengan lahap.

"Sudah sampai mana kalian baca?" tanya Qin Lang tiba-tiba.

"Ma-maksudnya? Maksud Ayah apa?" tanya Qin Lian mendadak merasa lehernya tercekik makanan enak itu.

"Mn?"

Qin Lang menatap keduanya bergantian.

"Sampai Liu Ji datang saat ulang tahun Ayah. Ibu terpaksa melahirkan secara paksa dan mendadak. Lalu Ibu, Ibu seperti itu karena melindungi Ayah dari serangan Peleleh Elixir," jelas Qin Yue.

"Jadi, Peleleh Elixir adalah musuh?" ucapannya Qin Lian penuh keraguan.

"Dia kena sihir," kata Qin Yue menjelaskan.

"Analisa yang bagus," kata Qin Lang memuji anaknya.

Qin Yue dan Qin Lian berlutut di hadapan Qin Lang.

"Ayah, maafkan kami. Kami hanya penasaran dengan ibu dan kami merindukannya dan berharap segera bangun," jelas Qin Yue menyadari kebodohan mereka.

Qin Lang menyuruh keduanya duduk kembali dengan posisi yang baik.

"Lalu, kami minta maaf sudah mengintip catatan Ayah, itu ideku, aku yang salah jangan salahkan kakak. Kalau mendapatkan hukuman, maka akulah yang harus dihukum," kata Qin Lian dengan sangat yakin.

Melihat anaknya Qin Lang serasa melihat Wang Yin kecil yang selalu bertindak bagai pahlawan. Lihat saja, dia bahkan rela mengorbankan dirinya yang hamil demi melindungi Qin Lang.

Anak dan ibu benar-benar foto copy yang sempurna, hanya berbeda jenis kelamin saja.

"Lain kali tanyakan saja padaku," ucap Qin Lang.

Kedua anaknya terkejut dan merasa senang di saat yang bersamaan.

Mereka sebenarnya memang lebih tertarik mendengar cerita langsung dari ayahnya, tetapi Qin Lian khawatir apakah ayahnya benar-benar bisa bercerita dengan baik? Sedangkan berbicara saja dia sangat minim.

"Tidak perlu, Ayah menulis saja dan kami membaca," kata Qin Lian dengan agak canggung sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

"Benar, kami akan izin jika ingin membacanya," imbuh Qin Yue membela adiknya dan mengerti kegelisahan anak kecil itu.

Mereka tidak bisa membayangkan Qin Lang bercerita atau mereka akan menebak-nebak lalu Qin Lang hanya mengatakan, iya, tidak, benar atau salah.

Itu sangatlah membosankan.

"Aku tidak bisa membayangkan mengapa Ibu bisa menyukai manusia es," pikir Qin Lian dalam hatinya.

"Jangan mengejeknya kau akan dimarahi Ibu," jawab Qin Yue padanya.

Tentu saja keduanya berkomunikasi lewat batin saja. Konon, anak kembar memang memiliki kemampuan seperti itu.

Masih sibuk dengan komunikasi dua arah itu, mereka terkejut dengan ucapan ayahnya.

"Tidak perlu meminta izin, sejak awal aku sudah tahu kalian membacanya," ujar Qin Lang setelah menyesap tehnya dengan anggun.

Keduanya terdiam cukup lama, memang benar mana mungkin Qin Lang yang sangat teliti itu bisa melewatkan hal sesederhana itu.

"Istirahatlah," kata Qin Lang lalu hendak pergi keluar.

"Ayah," panggil Qin Lian dan Qin Lang berhenti melangkah.

Dari sudut matanya dia menatap keduanya.

"Terima kasih," ucap anak itu dengan sikap sempurna.

"Ayah," panggil Qin Yue lagi ketika dia hendak pergi.

Kali ini Qin Yue yang sepertinya tidak rela melepaskan ayah mereka. Pastilah dia berduka pikirnya.

"Ada apa?" tanya Qin Lang membalik tubuhnya.

"Apakah Liu Ji masih hidup?" tanya Qin Lian.

Qin Lang tidak menjawab dan dia sepertinya akan pergi lagi.

"Ayah," panggil Qin Yue dengan suara parau.

Qin Lang terdiam cukup lama.

"Katakanlah," ujarnya sambil berbalik dengan mata memerah akibat menahan air matanya.

"Boleh aku memeluk Ayah?" tanya gadis kecil itu dengan air mata bercucuran.

Qin Lang mendekat dan memeluk kedua anaknya.

Kedua bocah itu menangis tersedu-sedu di pundak ayahnya.

Mereka berpelukan cukup lama sampai mereka melepaskannya.

Setelah mengantar anaknya ke kamar berbeda, Qin Lang menyapa Wang Yin di kamarnya.

"Wang Yin, maafkan aku. Seandainya kau ada mereka tidak akan kekurangan pelukan dan kasih sayang," ujarnya sambil menangis tanpa suara tetapi air matanya terus mengucur sebagai ganti ribuan kata yang tidak terucap.

Kepedihan kadangkala tersembunyi di balik diamnya seseorang.

Hari ini Qin Lang berniat untuk lebih hangat lagi kepada anak-anaknya.

Mungkin dia terlalu fokus menunggu Wang Yin sampai melupakan dua anak yang butuh perhatian ayah dan ibunya.

Sebelum tidur, Qin Lang menatap lukisan dirinya dan Wang Yin..

"Selamat malam Wang Yin," ucapnya lalu memeluk bayang-bayang indah perempuan itu dan membayangkan senyuman manisnya yang selalu membuat hari Qin Lang cerah.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status