Elok menoleh ke arah pintu ruang kerjanya yang memang dibiarkan terbuka separuh. Terdiam sejenak, sambil memasang indra pendengarannya dengan tajam. Pagi ini, Kiya memang izin terlambat karena harus pergi ke bank untuk menyelesaikan beberapa hal. Untuk itu, apapun yang terjadi di luar ruangannya saat ini, Elok tidak mendapatkan informasi apapun.Karena penasaran dengan beberapa percakapan yang mengganggu, serta beberapa suara yang asing di telinga, Elok akhirnya beranjak dari meja kerjanya. Elok membuka lebar pintu ruangannya, kemudian mengernyit. Tiga orang office boy baru saja masuk ke ruang direktur utama yang berada tepat di depannya. Ruang tersebut, sudah lama tidak terpakai karena selain menjabat sebagai CEO, Elok juga merangkap sebagai direktur utama perusahaan untuk efisiensi.“Lin!” Elok menghampiri seorang office girl yang baru saja datang dan hendak memasuki ruang direktur utama. “Mau ngapain?”“Bersih-bersih, Bu.” Lini mengangguk sopan.“Siapa yang nyuruh?” Elok melewati L
“Aku nggak nyangka kamu bisa gerak secepat ini.”Dewa membuka mulut ketika seorang notaris sudah keluar dari ruang VIP, tempat pertemuannya dengan Elok siang ini. Tidak hanya mereka berdua yang ada di sana, tapi seorang pria yang sedari dulu selalu berada di sisi Dewa. Di mana ada Dewa, di situ pasti ada Reno.Dewa baru saja menandatangani beberapa berkas pengalihan beberapa saham Antariksa ke tangannya. Ia mengajak Reno, karena nantinya Renolah yang akan menghandle semua urusan tentang Antariksa. Sementara Dewa, akan kembali ke perusahaan keluarga untuk menggantikan Abraham, setelah masa jabatannya di Senayan berakhir sebentar lagi.“Kamu harus berterima kasih sama almarhum pak Raka,” sahut Elok setelah menyesap kopi yang sudah tidak lagi panas. “Beliau nggak mengatur masalah pengalihan saham di anggaran dasar perusahaan.”Karena pelecehan yang sudah dilakukan Restu pagi tadi, Elok akhirnya memutuskan untuk mempercepat rencana yang sudah pernah disusunnya. Elok tidak ingin berlama-la
“Ada apa ini?”Restu mengurungkan niat masuk ke ruang kerjanya saat melihat dua orang pria berseragam asing ada di ruangan Elok. Ia menghampiri Kiya, yang hanya duduk manis di mejanya dan tidak tidak berbuat apa-apa.“Bosmu di dalam?” tanya Restu lagi, sambil menunjuk pintu ruangan Elok yang terbuka.Kiya mengangkat wajah kesal menatap Restu. Tidak biasanya pria itu bertanya terlebih dahulu pada Kiya mengenai Elok. Seperti yang sudah-sudah, Restu akan langsung masuk ke dalam ruang tanpa memedulikan Kiya sama sekali.“Pak Restu ngomong sama saya?”Restu yang sedari tadi hanya melihat ke dalam ruangan Elok, sontak beralih cepat menatap Kiya. “Bukan! Sama setan!”“Oh.” Kiya yang tidak peduli itu, kembali meneruskan pekerjaannya dan tidak memedulikan Restu. Andaipun nantinya ia dipecat, Kiya sudah memiliki pegangan untuk bekerja di Jurnal. Hati Kiya semakin kesal ketika tahu Restu juga berkantor di Antariksa, apalagi ruangan pria tersebut berada tepat di depannya.“Heh! Saya lagi ngomong
Brak!Elok terhenyak karena pintu ruangannya kembali terbuka dengan kasar. Tidak perlu lagi menebak-nebak karena semua itu pastilah ulah Restu. Belum ada lima menit pria itu keluar dari ruang Elok karena menerima telepon, Restu ternyata kembali lagi dengan mendorong kasar pintu ruang kerja yang baru saja ditutup oleh Kiya.“Res—”“Berengsek kamu, El!” hardik Restu seraya menghampiri Elok, lalu memutar kursi yang diduduki wanita itu agar menghadapnya. Restu menunduk, mencengkram lengan kursi Elok dengan tatapan marah. “Kamu alihkan beberapa saham Antariksa ke tangan Dewa!”“Itu sahamku, saham Gilang, dan … seperti itulah.” Karena sudah memasang CCTV di ruangannya, maka Elok bisa sedikit bernapas lega. Andai Restu nekat berbuat tidak senonoh, atau hendak menyakiti Elok, ia pasti memiliki rekaman perbuatan pria itu. “Informanmu sangat, sangat terlambat memberi informasi.”“Shoot!” Restu mendorong kursi beroda Elok hingga membentur meja kecil yang berada di samping wanita itu.Elok kembal
Kedua pria yang duduk berseberangan itu, sama-sama bersedekap, tegak. Mereka saling pandang untuk beberapa saat, lalu menatap Elok yang duduk pada kursi di antara keduanya.Salah satu pria itu pun menggeleng. “Aku bukan nggak bisa mundur, El. Tapi, aku nggak mau mundur. Antariksa, nantinya mau aku hadiahkan ke Rindu setelah dia lulus kuliah. Dan kita, sudah punya kesepakatan sebelumnya.”Elok menautkan jemarinya lalu meletakkan di puncak kepala. Membuang napasnya pelan, karena negosiasi dengan Dewa ternyata berjalan alot. Sementara pria yang duduk di sisi kirinya, masih terdiam seolah memikirkan sesuatu. Elok sengaja membawa pria itu, agar bisa membantunya membujuk Dewa.Namun, Elok ternyata belum menemukan titik terang sama sekali.“Mundurlah dari Antariksa, El.”Akhirnya, pria yang sedari tadi hanya diam membuka mulut. Akan tetapi, Elok masih belum bisa mundur sesuai dengan usulan pria itu.“Banyu, aku nggak bisa mundur dari sana,” sahut Elok masih meletakkan kedua tangan di atas ke
“Aku setuju.”Elok menghela panjang ketika Dewa baru menyapa saat mengangkat panggilan telepon darinya. Belum ada 1 x 24 jam, Elok sudah memberi keputusan pada Dewa. Pada akhirnya, Elok menyerah. Kepalanya sudah tidak sanggup lagi memikul beban yang begitu memusingkan. Belum lagi, ia harus menghadapi Restu yang sudah menempati ruang tepat di depan mata.Ternyata, mental Elok tidaklah sekuat itu ketika dihadapkan dengan masalah dari berbagai arah.“Ayo kita pakai jalan belakang,” lanjut Elok masih berada di dalam mobil pada parkiran gedung Antariksa. “Tapi dengan satu syarat. Seperti kata Banyu, cuma sebatas intimidasi dan nggak lebih.”“Kirimi aku semua daftar pemegang saham di Antariksa,” pinta Dewa tanpa mau berbasa-basi. “Lengkap, dari nama, alamat, jabatan atau profesi mereka di luar, dan nomor telepon. Kamu tinggal duduk manis, dan serahkan semua sama aku.”Elok gugup. Bahkan, kedua tangannya saat ini sudah terasa beku. Tidak pernah sekali pun terbersit dalam benak Elok, ia akan
Sudah 15 menit Restu berdiri di bibir pintu ruang kerjanya, dan selama itulah ia melihat Elok bolak balik tanpa menoleh padanya. Restu masih belum bisa menebak-nebak, apa isi kepala Elok. Apa rencana wanita itu, sehingga akan mengajukan surat pengunduran diri dengan tiba-tiba.“Heh!” seru Restu memanggil Kiya dari tempatnya berdiri. “Kamu!”Merasa tidak ada orang lain lagi di tempat tersebut kecuali dirinya dan Restu, Kiya pun mengangkat wajah. “Bapak manggil saya?”“Ya! Kamu!” Restu kembali berseru sambil menenggelamkan tangan kirinya ke saku celana. “Kamu juga mau mengundurkan diri?”Kiya menatap Restu yang selama ini tidak pernah menganggapnya ada, untuk beberapa saat. Kemudian, Kiya mengangguk. “Saya sudah ajukan surat resign barusan.”“Berapa kamu dibayar Elok sampai bisa setia seperti itu?”“Banyak.” Tidak ingin lagi melanjutkan pembicaraannya dengan Restu, Kiya kembali menunduk untuk membaca lagi daftar beban kerja yang akan ditinggalkannya.“Kamu pindah ke Jurnal?” Restu mulai
Di sinilah akhirnya. Elok berada di sebuah ruang VIP rumah sakit, karena Harry langsung menghubungi ambulans ketika mendapati dirinya pingsan di ruang kerja. Sungguh berlebihan, tapi Elok sudah tidak bisa berbuat apa-apa.“Aku cuma pingsan,” kata Elok sambil duduk bersandar pada ranjang pasien. “Nggak perlu sampai diinfus begini.”“Badanmu panas tinggi, El,” seloroh Harry yang duduk tepat di sebelah ranjang pasien. Karena status Harry masih suami Elok, maka tidak ada satu pun orang di Antariksa yang berani mencegahnya membawa sang istri ke rumah sakit. Apalagi Restu yang sangat tidak bersahabat dengannya. “Kita masih nunggu hasil lab sebentar lagi.”Elok segera menyentuh dahinya sendiri. Sudah dua hari ini, Elok memang merasa tidak enak badan. Namun, karena terlalu banyak hal yang dipikirkan maka ia sudah tidak memedulikan kondisi tubuhnya.“Ambil cuti, dan istirahat,” sambung Harry seraya menggenggam jemari Elok yang kembali terjatuh di sisi tubuh. “Sebentar lagi Kasih datang sama ma