Kelahiran adalah hari istimewa bagi setiap orang tua, di seluruh dunia. Saat anak yang baru ia lahirkan menangis, sang ibu akan merasa lega. Ya, lega karena anaknya bisa hidup, dan keduanya—ia dan bayinya, selamat dari maut.Akan tetapi, pengertian dari kata "kelahiran" berbeda untukku. Melihat wajah malaikat tanpa sayap—ibu, hanya di dalam bayang-bayang masa lalu. Kebahagiaan itu seakan hanya nyata dalam ilusi. Aku tidak ingin Felicia menjadi ibuku, setelah reinkarnasi panjang Sean.Takdir sepertinya memanglah buruk. Aku kurang beruntung dalam beberapa hal. Apa rasanya mempunyai keluarga yang lengkap? Dari masa Sean, aku bahkan tidak pernah merasakan apa itu bahagia, apa itu keluarga, apa itu yang namanya kebersamaan?Motivasi yang Sera berikan, hanya seperti sebuah kalimat penenang. Aku tetap tidak bisa merasakan semangat itu bangkit. Hidup seperti sebuah tempat mengadu nasib. Aku tidak ingin menjadi beban siapa pun. Sera adalah orang yang sangat penting dalam hidupku. Namun, aku ti
"Mengulang masa-masa indah, hem?" Calvin tiba-tiba menyikut bahu kananku. Aku mungkin terlalu fokus memandangi foto itu, sehingga tidak mendengar langkah kakinya. "Gue pikir lu udah tidur, Vin," ucapku seraya menoleh ke arah pria, yang mengenakan setelan gelap itu. Tampilannya fashionable, dan sepertinya sangat diidam-idamkan oleh fans, di media sosialnya. Pencitraan yang dia bangun cukup keren. "Gak, belum. Gue sebenernya pengen cerita tentang perjalanan hidup gue, malam ini sama lo." Calvin berjalan ke arah sofa, yang di penuhi dengan sampah snack. Dia tampak membersihkan sampah-sampah itu dengan tangan kirinya. "Duduklah, Achilio!" perintahnya kemudian.Menjadi pendengar yang baik, ketika seseorang sedang bersedih, mungkin akan membuat orang itu merasa lebih baik. Aku tidak ingin melihat orang-orang di sekitarku, merasakan kesedihan. Karena itulah, aku bertekad untuk mewujudkan kebahagiaan setiap orang, suatu hari nanti."Lo bisa cerita apa aja sama gue, Vin. Gue pasti dengerin
"Pengangkatan Reizo menjadi pemilik Perusahaan TM, akan dilakukan seminggu dari sekarang. Gue harus gimana?" Calvin mondar-mandir di depanku. Sesekali dia terlihat mengacak-acak rambutnya.Kening Calvin tampak mengeluarkan keringat, yang terus-menerus mengalir. Dia tampaknya sangat mengkhawatirkan perusahaan mendiang ayahnya itu. "Aku pusing melihatmu, Vin. Emang kalo kamu terus melakukan hal bodoh kayak gini, isi surat wasiat itu bakal berubah?" Sera menghadang jalan Calvin sambil berkacak pinggang."Gue gak tau harus ngapain, Ra," ucap Calvin dengan lirih."Harapan tanpa aksi nyata hanyalah hal yang semu, Vin." Aku mendekat ke arah mereka, lalu memberikan Calvin selebaran iklan."Apa ini?" Alis kanan Calvin tampak mengangkat. "Program bunuh diri?"Aku berdecak kesal. "Lembaran iklan penawaran tentang strategi mengalahkan lawan yang tangguh."Sera menatapku dengan keterkejutan di wajahnya. Begitu juga dengan Calvin. Mereka sepertinya tidak mengerti, kenapa aku memberikan hal itu; ba
Saat itu, aku berbohong jika bilang, aku bahagia dengan pilihan se-naif itu. Walaupun, Calvin terus berkata, "Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja. Mereka pasti ngerti jalan yang kamu ambil." Kenyataannya, aku masih merasa bersalah, pada jiwa-jiwa yang tidak bisa diselamatkan.Pesawat yang kami tumpangi berhasil keluar dari zona bahaya. Setelah itu, ledakan besar pun terjadi. Aku hanya bisa melihat kematian massal dari balik kaca, yang hampir tertutup oleh kepulan kabut asap.Siapa yang tega membunuh banyak nyawa, yang tidak bersalah di bawah sana? Apakah semua itu adalah taktik pemerintah, untuk mengurangi jumlah penduduk? Beberapa hari belakangan, berita sering menampilkan program pembatasan angka kelahiran. Scramble memang kota yang padat, bahkan aku sering membaca data statistik penduduk—yang memuat angka kelahiran lebih tinggi, daripada angka kematian. Pemerintah mungkin melakukan berbagai strategi, agar program mereka berjalan dengan baik.Sampai kapan semua undang-undang it
Seminggu setelah peristiwa baku tembak di TM, aku merasa Calvin mulai menjaga jarak lagi denganku. Namun, aku sama sekali tidak mempersalahkan semua itu. Lagi pula, orang yang keras kepala sepertinya, tidak akan mau mendengarkan nasehat apa pun."Aku mau pergi ke Perpustakaan Ventana. Ada banyak hal yang ingin aku selidiki di sana." Aku meletakkan gelas kosong yang sebelumnya terisi teh, di depan Sera."Sendirian?" Gadis yang memakai apron bemotif bunga sakura itu meraih tanganku. "Achilio, aku butuh jawaban.""Aku nggak butuh siapa pun untuk berjuang bersamaku." Aku melepaskan genggaman tangan seputih salju itu, dengan lembut. "Tolong, jangan halangi aku, Ra!"Mata Sera tampak berkaca-kaca. "Sampai kapan kamu mau bersikap egois kayak gini, Achilio?"Aku menundukkan kepala. Gadis itu tidak bersalah, dan tidak mungkin aku juga ikut membencinya. Hanya karena dia terlihat lebih membela Calvin, bukan berarti aku harus menjauhinya. "Achilio?" Aku menatapnya sambil tersenyum hangat. "Aku
Aku memperhatikan Sera yang sibuk memasak makan malam. Dapur tampak berantakan; sampah sayur dan buah tergeletak di lantai. Mulutku berulangkali menawarkan bantuan. Namun, wanita itu bersikeras tidak ingin kubantu. "Kapan selesainya kalo terus kayak gini, Ra?" Aku mengambil vacuum cleaner di lemari. "Pokoknya, gak ada penolakan.""Udah, urus aja urusanmu sendiri!" Gadis itu menggelung rambutnya. "Nanti, aku panggil kok kalo udah siap."Karena tidak ingin memperpanjang masalah, aku pun meninggalkannya seorang diri di dapur. Menurutku, lebih baik mengalah, jika lawan bicaranya adalah seorang wanita—terutama Sera. Entah mengapa, setiap wanita sepertinya begitu sulit untuk dipahami.Aku menuju kamar di lantai atas. Kemudian, mengambil lembaran kertas yang kutemukan di perpustakaan, beberapa hari sebelumnya. Kubaca kembali surat usang, dengan tulisan yang nampak apik itu. Satu per satu kata, mulai memecahkan banyak misteri."Ia memiliki magis keabadian tingkat tinggi. Kalau begitu, burung
Pria bergaya rambut boul cut itu, memberikanku makanan yang sangat banyak. Meja makan di penuhi dengan berbagai macam hidangan: sup ayam kampung, ikan gurame panggang, tumis kangkung darat, dan aneka kue kering."Sesuatu yang berlebihan itu nggak baik, Degree." Aku mengambil tisu, lalu membersihkan sisa makanan yang menempel di bibir. "Bagikan aja sisanya sama orang-orang, yang kelaparan di luar sana.""Gak boleh. Kalo niat kasih sama orang, ya, jangan makanan sisa dong!" Degree mengerucutkan bibirnya."Kamu salah paham terus. Coba dipahami baik-baik perkataanku barusan," kataku seraya mengambil centong nasi."Iya, aku paham kok," timpal Degree dengan senyum, yang seperti dipaksakan.Setiap melihat pria di sampingku itu, aku seakan-akan sedang bercermin. Hanya gaya rambut, warna mata, dan style pakaian, yang membedakan kami. Ternyata begitu rasanya, ketika memiliki saudara kembar."Coba tebak, aku adikmu atau kakakmu?" Degree bertanya tanpa menoleh ke arahku."Nggak tahu," jawabku sin
"Apakah Anda adalah Nyonya Lily?" Aku berusaha untuk mengejar wanita, yang memakai maid dress itu. Di depan sana, ia terlihat memasuki sebuah vila besar.Sedikit rasa takut mulai menyerang. Sungguh, aku benar-benar merasa tidak nyaman. Karena ingin memastikan wanita itu Nyonya Lily atau bukan, aku terpaksa ikut masuk ke dalam vila itu. Awalnya, pintu vila itu sulit untuk dibuka. Aku kehabisan tenaga, untuk mendobraknya. Jalan satu-satunya sepertinya hanya menggunakan magic. Tanpa pikir panjang, aku menggunakan kapak api, agar bisa menerobos masuk."Kenapa wanita tadi begitu mudah membukanya?" Aku bertanya-tanya di dalam hati. Kunaiki anak tangga yang ada di ruang tengah vila itu. Setelah beberapa menit berlalu, aku pun mulai kelelahan, karena anak tangga itu tidak kunjung menemui akhir. Ditambah, aku merasa hanya terus berputar-putar, di sana."Aku di belakangmu, Pangeran," ucap seseorang di bawah sana. Aku pun menoleh, tetapi tidak menemukan siapa sumber suara itu. Di sana, hanya a