Bagi Ilker, Minggu berlalu dengan perasaan yang sama. Menyebalkan. Ajeng menghilang sejak pagi dan baru muncul kembali saat menjelang malam. Rasanya ingin sekali Ilker mendemo kampus Ajeng karena membiarkan mahasiswinya pulang sampai malam. Memangnya pihak kampus akan bertanggung jawab semisal dalam perjalanan pulang terjadi sesuatu pada mahasiswinya. Misal terjadi kecelakaan karena mahasiswinya mengantuk dan lalai dalam berkendara, apa mereka akan merasa bersalah? Ya, meskipun Ajeng tidak mengendarai kendaraan sendiri, tapi itu justru lebih mengkhawatirkan. Orang jahat banyak bertebaran diluar sana. Dan bagaimana jika salah satu dari mereka mengincar Ajeng? Tapi, Ilker juga tidak mungkin menawarkan diri mengantar ataupun menjemput Ajeng ke kampus tanpa membuat orang lain curiga. Sekalipun ia menggunakan khawatir sebagai alasannya, tetap saja itu membuat orang akan mengernyitkan dahi kepadanya. Mirza yang lebih dekat dengan gadis itu pun tidak melakukan hal yang sama, kenapa dia h
Ajeng memperhatikan seluruh ruangan dan bisa dikatakan dekorasinya tidak terlalu berbeda dengan dekorasi kantor Mirza. Di belakang meja kerja Ilker terdapat dinding kaca lebar yang menunjukkan pemandangan kota. Lemari tinggi berisi buku dan beberapa penghargaan. Entah itu sertifikat atau piala. Ajeng pernah mendengar kalau Ilker memang sering mendapatkan penghargaan dari sebuah kompetisi karena lagu-lagu yang dia ciptakan. Di sisi lain dinding terdapat sebuah pintu yang bentukannya hampir sama dengan pintu yang tadi dia lihat di lorong. Apakah itu studio khusus milik Ilker? Ajeng tidak tahu, tapi mungkin nanti dia akan tahu. "Papa akan pergi ke ruangan Papa, dan kamu bisa berdiskusi dengan Ajeng kalau memang ada yang harus kamu ubah." Ucap Sir Adskhan yang membuat Ajeng kembali fokus pada situasi saat itu. "Dia ada disini untuk membantumu." Lanjutnya seraya memandang Ajeng. Ajeng menganggukkan kepala sebagai tanggapan. "Kita bisa menunda pengumuman sampai kamu siap." Ucap Sir Adsk
Kumpulan orang-orang pun dibubarkan. Ilker, Mirza, ayahnya dan para asisten juga meninggalkan aula dan berjalan menuju lift secara beriringan. Tentu saja, Ayeleen turut mengikuti mereka dan terus menempel pada Ilker sementara Ajeng dan Halwa berdiri di baris paling belakang dengan buket bunga besar berada dalam pelukannya. Ajeng berusaha untuk menutup hidungnya. Dia bukannya tidak suka bunga. Dia suka dengan bunga, hanya saja entah darimana, entah dari pembungkus bunga atau bunga itu sendiri, menguarkan aroma parfum yang sangat kuat dan itu membuat Ajeng merasa pusing. Ia tidak mungkin membuang bunga itu karena itu bukan miliknya, tapi berlama-lama memegangnya pun ia merasa tak sanggup. Saat pintu lift terbuka. Sir Adskhan dan asistennya, Mirza, Ilker, Ayeleen juga asisten Ayeleen masuk. Berikutnya Halwa dan Sabrina turut masuk. Namun saat Ajeng hendak masuk, keberadaannya dan buket bunga besar dalam pelukannya justru akan membuat ruang terasa semakin sempit. Karena itulah, alih-a
Supir mengantarkan mereka ke Askim Elbise, butik milik sepupu Ilker. Hanira, wanita cantik pemilik butik tampak berdiri menyambut Ilker dan Ajeng di depan pintu. "Suatu kehormatan untuk menyambut kedatangan Anda, Sir Ilker." Ucapnya dengan nada berlebihan seraya mencium pipi Ilker. "Langsung saja ke ruanganku." Ucap Hanira pada Ilker yang berjalan lebih dulu. "Atau kau mau fitting di atas?" Tanyanya lagi namun Ilker menggelengkan kepala. Pria itu melangkah lebih dulu menuju ruangan Hanira dimana asisten Hanira sendiri sudah ada disana. Jika saja Ajeng tidak mengenal mereka, tentu ia akan berpikir sikap Hanira menyambut Ilker itu terlalu mesra. Untung saja suami wanita tersebut tidak ada disana, karena kalau ada, Ajeng yakin akan ada adegan cemburu berlebihan yang tampak disana. "Bagaimana harimu?" Tanya Hanira pada Ajeng seraya melakukan hal yang sama, mengecup pipinya. Ilker melangkah lebih dulu ke dalam butik sementara Ajeng dan Hanira berjalan beriringan. "Cukup baik." Jawab Aje
Ilker tidak pernah memandang Ajeng. Selama dua hari terakhir ini, pria itu seperti menghindari Ajeng dan itu membuat Ajeng bingung. Membuat Ajeng bertanya-tanya kesalahan apa yang sudah dia lakukan sampai diperlakukan seperti itu. Apakah ini karena kecelakaan yang terjadi malam itu. Karena Ajeng tak sengaja mencium bibir pria itu? Itukah yang membuat Ilker membencinya sampai-sampai pria itu tidak mau melihatnya? Ya, selama dua hari terakhir ini, selain masalah pekerjaan, Ilker nyaris tidak pernah bicara apapun padanya. Sebenarnya Ajeng tidak perlu merasa keberatan karena sebelumnya mereka sudah terbiasa seperti itu. Tapi entah kenapa, kali ini Ajeng merasa sikap diam pria itu tidak biasa, terasa lebih buruk. Karena pria itu kini tampak tak mau melihatnya atau tak mau berkontak mata dengannya. Awalnya respon Ajeng biasa saja. Saat mereka bertemu di meja ketika sarapan, Ilker sama sekali tidak menatapnya dan selalu memalingkan wajah. Ajeng masih baik-baik saja. Dan saat Ilker yang m
"A-Alzham?" Ilker terbata. Ajeng menganggukkan kepala. "Kenapa kamu pergi sama dia?" Ajeng mengedikkan bahu. "Karena Mas Alzham mengajak saya pergi." Jawab Ajeng dengan datarnya. Ilker tak bisa berkata-kata. Ia tidak bisa melarang Ajeng untuk tidak pergi dengan Alzham. Ia tidak punya hak untuk itu, sekalipun ia punya kuasa untuk melakukannya. "Kalau sudah selesai, saya pamit." Ucap Ajeng pada Ilker dan tanpa menunggu jawaban dia meninggalkan ruangan. Sepulang kerja, Ajeng menemui Halwa. Jika hari sebelumnya ia tidak pulang dengan Ilker karena pria itu yang melarangnya, hari ini dia tidak pulang dengan Ilker karena sudah ada janji dengan Halwa untuk pergi ke kontrakannya. Halwa dan Ajeng sepakat akan pergi ke hotel bersama. Terlebih, Puri, teman baik Halwa mengatakan kalau dia mau membantu Ajeng dan Halwa untuk berias di kontrakan. Mengingat selama ini Ajeng memang tidak bisa menggunakan make-up dan ia juga enggan ke salon karena takut didandani berlebihan, ia akhirnya mau ikut d
Ilker tahu, kini perhatian semua orang ada padanya. Bukan hanya keluarganya saja yang memenuhi ballroom itu, tapi juga rekanannya, investornya dan para karyawan yang diundang untuk perwakilan divisi. Sehingga sekalipun enggan, Ilker harus bersikap ramah padanya. "Tidak." Jawab Ilker, berusaha bersikap sesopan mungkin. "Kamu bisa lihat sendiri kalau acaranya bahkan belum dimulai." Lanjutnya lagi. "Bagus." Ucap gadis itu seraya merangkul lengan Ilker. "Mas gak keberatan kan kalau aku disini? Kebetulan aku gak punya pasangan malam ini." Lanjutnya dengan nada merajuk. Ilker tidak memberikan jawaban apapun. Ia juga tidak melepaskan tangan Ayeleen dari lengannya karena tak mau disebut tidak sopan. "Sial!" Desisan Mirza di sebelahnya membuat Ilker menoleh dan memandang ke arah yang sama ke mana Mirza memandang. Saat itulah Ilker terpaku di tempatnya. Mulanya, yang Ilker lihat adalah Halwa yang berjalan di samping Rayyan. Keduanya tampak serasi berjalan beriringan. Dan Ilker merasa geli
Ajeng terdiam. Bisakah ia melakukannya? Bisakah ia pergi meninggalkan kediaman Levent yang selama ini sudah seperti rumahnya? Bisa! Tentu saja ia bisa! Ajeng sudah terbiasa tinggal dimanapun, dan ia tidak perlu tinggal menetap di suatu tempat jika ia tidak ingin atau jika tidak ada orang yang menginginkannya. Dia bukan gadis yang tidak tahu malu yang harus terus menempel layaknya parasit. "Kalau memang itu yang harus saya lakukan, akan saya lakukan, Sir." Ucap Ajeng dengan tegas. "Bahkan jika Anda memerintahkan saya untuk menghilang, saya akan menghilang." Lanjutnya tanpa ragu. "Sial!" lagi-lagi Ilker menggerutukan kata itu dan itu membuat Ajeng semakin sakit hati, entah untuk alasan apa. "Dengarkan aku, Ajeng." Ilker mengulurkan tangan dan berniat untuk menyentuh lengan atas gadis itu, namun kemudian ia menarik kembali tangannya dan mengepalkannya di kedua sisi tubuhnya, membuat Ajeng semakin yakin kalau memang di mata pria itu dirinya itu sangat menjijikan. Ajeng melangkah mun