"Tidak ada rasa," jawab Lucas, membuat senyuman Zein menyurut. Dia buru-buru mencoba dan benar saja, nasi goreng buatannya tak berasa. "Ck." Zein berdecak kesal. Sepertinya dia lupa memasukkan garam. Hell! Padahal dia sudah sangat bangga dengan nasi goreng buatannya dihadapan istrinya. Ternyata nasi gorengnya gagal. "Tidak apa-apa, Zein." Zahra tiba-tiba meraih kedua piring nasi goreng lalu mencampurnya. "Nasi goreng buatan Paman terlalu asin dan nasi goreng buatanmu tidak berasa. Jika digabung kelebihan dan kekurangan antara keduanya akan saling melengkapi. Dan …-" Setelah mencampur nasi goreng yang masih panas tersebut, Zahra mencicipi pelan-pelan. Senyuman di bibirnya muncul, menatap suaminya dengan manik cerah. "Ini enak," lanjut Zahra, menyendok nasi goreng lalu menyuapi suaminya–supaya Zein mencoba rasanya. Zein setuju, rasanya lumayan. "Aku akan belajar lagi supaya bisa membuatkan nasi goreng untukmu," ucap Zein, kini sudah duduk di sebelah Zahra–menonton istrinya yang seda
"Papa sebentar lagi pulang. Nail main dengan Mama dulu yah," ucap Zahra, saat ini sedang berada di ruang keluarga. Setelah dia memiliki anak, Zahra tak seaktif dahulu lagi. Ada Raka yang membantunya, serta Alana yang selalu mendampingi Zahra. Sudah lima bulan berlalu setelah dia melahirkan, Zahra sangat menikmati momen menjadi seorang ibu. Meskipun sibuk dengan pekerjaannya, Zein tak pernah melupakan tanggung jawab sebagai suami maupun ayah. Baby Nail tiba-tiba menangis, Zahra langsung membawa Nail dalam gendongan–menimang anaknya sembari berjalan ke arah tembok kaca transparan, menuju luar. Di sana sedang hujan, dan bayinya sangat suka melihat hujan. "Nail, coba lihat keluar, Sayang. Sedang turun hujan. Nail suka hujan kan?" ucap Zahra, terus menimang anaknya yang kini sudah berhenti menangis. Mana Nail membulat, pupil membesar–melihat ke arah luar dengan pandangan antusias. Bayi tersebut memang sangat menyukai hujan. Nail berhenti menangis dan kini bercoleteh dengan bahasa bayi,
"Hari ini kau ke kantor, Sweetheart?" tanya Zein, saat ini sedang sarapan dengan Zahra. Zahra menggelengkan kepala. "Aku ingin bermain dengan Nail, seharian ini, Zein," jawab Zahra, "besok aku harus bekerja lebih lama untuk peluncuran produk baru. Aku mungkin tidak bisa bermain lagi dengan Nail, jadi akan aku puaskan seharian ini." "Hum." Zein memangut pelan. "Jangan lupa istirahat dan jangan terlalu memaksakan diri," lanjut Zein. Setelah itu tak ada lagi percakapan antara keduanya. Entah kenapa Zein merasa hampa dan Zahra sibuk dengan pemikirannya. Hingga akhirnya Zein pamit ke kantor dan Zahra melanjutkan tugas, memandikan putranya lalu memberi asupan. Setelah itu, dia dan Nail bermain. Sekitar jam setengah sebelas, Alana datang untuk membahas pekerjaan. Ada beberapa desain tas yang akan mereka luncurkan bulan depan, Zahra harus melihat desain tersebut. Sembari menjaga Nail–dibantu oleh pengasuh dan Alana, Zahra memeriksa desain tersebut. Brak'Tiba-tiba saja terdengar keribu
Zein memasuki lingkungan rumah dan begitu terkejut saat menemukan semua orang sudah tergeletak penuh darah di lantai. Tubuh Zein seketika lemes, merasa sudah tak ada harapan lagi mengenai istri dan putranya. Dia terlambat! Dia bodoh dan ceroboh karena memilih pekerjaan dibandingkan menjaga anak istrinya ketika dia sudah tahu jika Nolan sudah mulai melancarkan rencananya. Lucas yang baru santai langsung bertekuk lutut di tengah rumah Zein. Darah para bodyguard yang tewas menggenangi tempat tersebut. Dalam keadaan seperti ini apakah putrinya masih selamat? "A-Aureliaku," cicit Lucas, menangis tanpa suara.Sedangkan Zein, dia berupaya mencari-cari istrinya di antara mayat. Tak bisa dicegat, tubuhnya gemetar dan matanya mengeluarkan bening kristal. Hatinya tak tenang dan bibirnya pucat. "Za-Zahra, kau dimana? Aku sudah datang melindungimu. Keluar!" teriak Zein, mencari ke seluruh penjuru ruangan. Marcus dan Raka tak tinggal diam. Raka ke atas dan Marcus ke halaman samping. Hingga pa
Lima tahun kemudian. "Uhuk uhuk uhuk." Seorang perempuan terbatuk-batuk saat memasuki ruangan Zein, asap rokok mengepul dan aromanya cukup menyengat. Zein melirik tak suka pada perempuan tersebut kemudian meletakkan rokok di asbak. "Kak Zein, kenapa kamu masih merokok? Kamu tahu kan merokok itu sangat berbahaya dan … kamu punya Nail loh di rumah ini. Jika dia menghirup asap rokok darimu, kesehatannya akan terganggu, Kak." Deana berkata lembut tetapi nadanya mengomel. Dia adalah sepupu Zein yang baru dua tahun yang lalu kembali dari luar negeri–setelah menyelesaikan pendidikannya. Selama dua tahun ini, Deana sering ke rumah Zein untuk menemani Nail. Selain itu, Deana juga menyimpan rasa pada kakak sepupunya tersebut. Siapa yang tak jatuh cinta pada Zein yang tanpa dan punya segalanya? Deana hanyalah wanita normal, mudah terbius oleh ketampanan sang kakak. Terlebih saat ini Zein menyandang status duda, di mana Zein semakin hot dan mempesona. Deana berusia dua puluh lima tahun, seda
"Kamu harus membujuk Papa kamu supaya menikahiku. Jika tidak--" Deana merampas foto yang Nail peluk, "Aku akan membakar foto mama kamu!" gertaknya dengan membentak di akhir kalimat. Anak tersebut tak merespon apa-apa, hanya menunjukkan raut muka datar tetapi dengan manik mata berkaca-kaca. "Lagian ngapain sih kamu kemana-mana membawa foto Mamamu. Hei!" Deana mendorong kepala Nail cukup kasar, "Mama kamu itu sudah mati. Dia tidak akan kembali meskipun dua puluh empat jam kamu memohon pada Tuhan. Mama mati, Bisu!" sarkasnya, menjewer kuat lengan Nail kemudian segera pulang. Sebelumnya, dia melempar foto Zahra ke lantai secara kasar. Sedangkan Nail, dia buru-buru mengambil foto mamanya yang telah pecah–menangis tanpa suara saat melihat foto mamanya rusak. Nail tidak bisu, tetapi dia pernah berbicara lagi karena keluarga papanya sering mengolok-oloknya. Sepupunya yang seumuran bahkan jauh lebih tua darinya, sering menyebutnya tak punya ibu dan anak dari seorang monster pembunuh. Nail t
"Mama …." Nail berucap antusias, berlari ke arah mamanya lalu langsung berhambur memeluk kaki sang mama. Bug' Zahra kaget ketika seseorang memeluk kakinya. Dia menunduk, menatap anak kecil yang dengan erat memeluknya. Saat anak itu mendongak ke arahnya–mata mereka beradu, kemudian anak itu tersenyum, Zahra merasakan sesuatu yang aneh. Deg'Jantung Zahra tiba-tiba berdebar kencang, hatinya menghangat. Ada perasaan nyaman serta perasaan rindu menelusup di hatinya. Bahkan Zahra rasanya ingin menangis setelah melihat wajah anak tersebut. Karena perasaan aneh tersebut Zahra memalingkan wajah, menghela napas panjang beberapa kali untuk mengusir perasaan aneh yang melandanya. Setelah itu, dengan pelan Zahra melepas pelukan anak tersebut dari kakinya. "Kamu siapa? Dan … di mana orangtuamu?" tanya Zahra, Alean mendekat lalu menggenggam tangan Zahra–waspada jika anak tersebut berniat melukai kakaknya. Nail menatap sejenak pada Alean, cemburu dan tak suka ketika melihat anak lain menggengg
"Nail." Zein memasuki rumah, langsung memanggil putranya yang terlihat mengintip di tembok–menatap diam-diam ke arah ruang tamu. Entah apa yang putranya lakukan. Ketika dipanggil, putranya terlihat tersentak kaget. Nail menoleh padanya, melebarkan mata karena terkejut akan tetapi secepat mungkin raut mukanya berubah senang. Nail tersenyum lebar lalu berlari secepat mungkin ke arah Zein. Sedangkan Zein, dengan senang hati membawa putranya dalam pelukannya. "Sepertinya putraku sedang senang." Nail mengagumkan kepala, semakin melebarkan senyuman pada papanya. "Papa," panggilnya. Zein menaikkan sebelah alis. Sepertinya putranya memang benar-benar senang sehingga Nail mau mengeluarkan suara. Putranya tidak bisu! Namun, karena faktor lingkungan yang buruk, Nail trauma bersuara. Putranya akan berbicara padanya jika sedang sedih atau senang. Zein tentunya bisa membedakan. Jika cara Nail menyebut papa terkesan lesu, artinya putranya sedang sedih. Jika Nail antusias seperti sekarang berar