Raka menghela napas, berjalan dengan pikiran ke mana-mana. Akhirnya, meskipun pura-pura, Raka berhasil menjadi pasangan perempuan yang sangat ia cintai. Raka bersemangat karena dia dan Zahra akan menikah, tetapi di satu sisi dia sedih sebab pernikahannya dengan Zahra hanya pura-pura. Setelah di depan pintu kamar Zahra, Raka mengetuk pintu. "Zahra," panggil Raka, mengetuk pintu pelan. Beberapa kali dia mengetuk pintu dan memanggil, tetapi tak ada yang menyahut. Curiga akan sesuatu, Raka buru-buru membuka pintu. Sebenarnya, dia datang untuk menjemput Zahra–akan melangsungkan pernikahan palsu di sebuah hotel bintang lima. Meskipun hanya pura-pura tetapi Lucas tak setengah-setengah, mengurus semuanya dengan maksimal sehingga pernikahan ini terlihat asli. "Zahra!" teriak Raka panik, menatap ke seluruh penjuru kamar yang dipenuhi asap, sudah menipis tetapi asapnya masih ada. Orang-orang pada tumbang di dalam, akan tetapi Zahra tak ada di antara orang tumbang tersebut. Raka yang panik ka
"Zein." Zahra mundur perlahan saat Zein melangkah mendekatinya, dia mendongak–menatap Zein waspada dan secara lekat. Dia berusaha menganalisa apa yang akan Zein lakukan padanya, tetapi tampang datar wajah Zein membuat Zahra sulit melakukannya. Dug' Zein tiba-tiba secara cepat meraih pergelangan tangan Zahra lalu menariknya, membuat Zahra berakhir dalam dekapan pria itu. Zein langsung mengangkat tubuh Zahra, tak membiarkan sedikitpun pada perempuan itu untuk berniat kabur. Tuk' Zein menutup pintu kamar lalu berjalan membawa Zahra ke arah ranjang. "Zein, turunkan aku." Zahra memekik pelan, memukul pundak Zein beberapa kali sembari mendorongnya–berupaya bebas dari Zein. Dia bahkan menjambak rambut Zein, supaya pria itu menurunkannya. Bug'Zein memang menurunkannya, tetapi dengan cara melempar tubuh Zahra secara kasar ke arah ranjang. "Ahk." Meskipun tidak sakit, tetapi Zahra tetap menjerit. Dia cukup terkejut dengan apa yang Zein lakukan. "Ze-Zein, apa yang ingin kamu lakukan? Tol
"A--aku hanya berpura-pura menikah dengan Paman Raka, Zein," cicit Zahra kemudian, berhambur dalam pelukan suaminya. "Untuk?" dingin Zein, tetapi menerima pelukan Zahra dan bahkan membalasnya tak kalah erat dari dekapan mungil sang istri. "Ayah tidak ingin kamu berlarut-larut dalam kesedihan. Ayah tidak ingin kamu terus terusan mengonsumsi alkohol, merokok dan terus menerus mengurung diri." Zahra mendongak pada Zein, menatap pria itu dengan sendu. "Ayah sengaja merencanakan ini supaya kamu kembali ambisius. Se-setudaknya ambisius untuk mendapatkan ku kembali," jelas Zahra melanjutkan. Zein menunduk, menatap wajah istrinya dengan pandangan yang sulit diartikan. Ternyata hanya pancingan! Dang it! Tunggu! Mengapa Zein merasa jika Lucas peduli padanya? Apa ini hanya sekedar karena dia suami dari Zahra atau sungguh peduli pada Zein?! "Meskipun begitu, kau tetap harus dihukum." Tangan Zein mengalungkan erat di pinggang Zahra, tiba-tiba naik ke atas–menarik resleting gaun pengant
"Sekarang minuman beralkohol dan rokok adalah hal menakutkan untukku. Aku berjanji tidak akan menyentuhnya lagi, Wife."Zahra mendongak ke arah Zein, menanggukkan kepala lalu tersenyum pada suaminya. "Tuhan memberikan kita anugerah untuk menjadi orangtua. Berjanjilah untuk menjadi Ayah yang baik, Zein."Zein menganggukkan kepala, menangkup pipi Zahra lalu mendaratkan kecupan lembut di bibir istrinya. "Ajari aku," ucapnya kemudian. Kali ini Zahra yang menganggukkan kepala, senyumannya melebar–senang karena Zein antusias dan bahkan bersedia berjanji menjadi ayah yang baik. "Sekarang kau akan kembali padaku," ucap Zein, meraih kemeja miliknya lalu mengenakannya pada Zahra. Setelah itu dia membaringkan tubuh dengan menarik Zahra dalam pelukannya. "Kau akan tinggal bersamaku," tambahnya, mendekap Zahra secara hangat. "Bagaimana dengan Ayah?" tanya Zahra ragu. Zein menculiknya, kemungkinan ayahnya akan marah lalu semakin mempersulit Zein supaya mendapatkan Zahra. Zein tiba-tiba menyung
Zahra dan terpaksa kembali dari liburan mereka karena kabar sakit Brian–kakek Zein. Sekarang mereka di kediaman utama keluarga Melviano, lebih tepatnya di dalam kamar Brian yang saat ini sedang berbaring lemas di atas ranjang. Raka yang juga ada di sana terlihat berdiri, menatap ayahnya sendu. "Maaf jika kau membenci Ayah karena menyerahkan perusahaan pada Zein. Maaf …," ucap Brian lemah, terus meminta maaf pada Raka. Zein duduk di sebelah Brian berbaring, sedangkan Zahra di ujung kaki–memijit pelan kaki Brian yang terasa panas. Sungguh, Zahra tidak bohong jika dia sangat menyayangi Brian. Pria tua ini sudah ia anggap seperti kakek sendiri. "Aku akan menyerahkan perusahaan padanya jika memang itu bisa membuat kalian bisa berbaikan," ucap Zein tiba-tiba pada Kakeknya, membuat Raka yang menunduk tiba-tiba mendongak–mematap terkejut pada Zein. Pria yang ia anggap egois tersebut menginginkannya berdamai dengan ayahnya, bahkan rela memberikan tanggung jawab perusahaan pada Raka. Sungg
"Selamat, kau akan menjadi Kakek!" ucap Zein, benar-benar tersenyum tetapi sebuah senyuman mengejek pada Raka yang sudah muram.Kakek? "Cih." Raka melepas paksa tangannya dari Zein lalu menatap sinis pada keponakannya tersebut. "Kakek kakek begini, aku jauh lebih tampan darimu."Zein menaikkan sebelah alias, berdecis geli lalu secara sengaja duduk di sebelah Zahra, merangkul mesra pundak Zahra sembari menyunggingkan smirk tipis ke arah Raka. "Terlalu percaya diri," ejek Zein. Raka memalingkan wajah, menetap Zein jengah. Dia berjalan mendekati ayahnya, memilih mengabaikan Zein yang sangat menyebalkan. "Ahahaha … kalian berdua sangat tampan." Brian tertawa puas, setelah itu menepuk pelan pundak putranya. "Tetapi jika Zahra melahirkan anak laki-laki, maka ketampanan kalian berdua tidak akan ada artinya." "Aku setuju dengan ucapan Kakek," ucap Zahra, terkekeh geli menanggapi perkataan Brian. "Siapa bilang akan ada anak laki-laki, aku ingin anak perempuan." Zein tak mau kalah, terse
Melihat kekonyolan Zein, Lucas meneguk saliva kasar. Putrinya bisa mati keracunan bila memakan nasi goreng buatan Zein. Di sisi lain, Alana meringis horor, syok melihat apa yang suami nyonya-nya buat. Sedangkan Raka, dia sudah menepuk jidat, sama syok melihat cara Zein memasak. Namun, apa yang bisa diharapkan dari seorang Zein? Masuk dalam dapur ini saja mungkin baru pertama kalinya. Sok-sokan ingin memasak nasi goreng untuk istrinya. "Zahra, kamu ingin nasi goreng bukan? Aku saja yang membuatkannya. Masakan Zein bisa membahayakanmu dan janinmu." Raka berkata, lalu tanpa mendapat persetujuan dari Zahra, dia segera memasuki dapur. Zahra menghela napas, kembali duduk di kursi mini bar bersama sang ayah dan Alana. "Kenapa kamu tidak melarang Zein memasak, Nak? Lihatlah, dia menghancurkan dapurmu." Zahra menoleh pada ayahnya kemudian tersenyum tipis. "Biarkan saja, Ayah. Kemauan Zein tidak pernah didengar oleh orang tuanya, selama ini dia hidup untuk memenuhi kemauan orangtuanya. Dan
"Tidak ada rasa," jawab Lucas, membuat senyuman Zein menyurut. Dia buru-buru mencoba dan benar saja, nasi goreng buatannya tak berasa. "Ck." Zein berdecak kesal. Sepertinya dia lupa memasukkan garam. Hell! Padahal dia sudah sangat bangga dengan nasi goreng buatannya dihadapan istrinya. Ternyata nasi gorengnya gagal. "Tidak apa-apa, Zein." Zahra tiba-tiba meraih kedua piring nasi goreng lalu mencampurnya. "Nasi goreng buatan Paman terlalu asin dan nasi goreng buatanmu tidak berasa. Jika digabung kelebihan dan kekurangan antara keduanya akan saling melengkapi. Dan …-" Setelah mencampur nasi goreng yang masih panas tersebut, Zahra mencicipi pelan-pelan. Senyuman di bibirnya muncul, menatap suaminya dengan manik cerah. "Ini enak," lanjut Zahra, menyendok nasi goreng lalu menyuapi suaminya–supaya Zein mencoba rasanya. Zein setuju, rasanya lumayan. "Aku akan belajar lagi supaya bisa membuatkan nasi goreng untukmu," ucap Zein, kini sudah duduk di sebelah Zahra–menonton istrinya yang seda