#110"Astaga! Apa alasan kamu, Ga? Kenapa kamu sampai menalak istrimu, hah?" Bu Intan tak dapat menutupi keterkejutannya itu. Lidahnya nyaris kelu, dan tak dapat berkata-kata lagi.Angga menarik napasnya dalam-dalam. Lalu, mengembuskannya perlahan. Rasanya sangat sesak, hingga terasa sulit untuk sekadar menarik oksigen agar dirinya dapat bernapas lega."Apa alasan itu penting sekarang, Bu?" tanya balik Angga pada ibunya yang sedang menantikan jawaban darinya.Bu Intan termangu, sebab Angga seolah tak mau membicarakan alasan yang membuatnya menalak Aluna. Ia pun bingung, karena Angga tak mau menjelaskan alasannya. Padahal, rasa ingin tahunya sudah membuncah dan ingin segera mendapat jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu."Astaga, Ga. Kenapa kamu malah nanya kayak gitu? Jelas! Jelas alasan itu penting bagi ibu. Ibu berhak tahu apa yang terjadi sama rumah tanggamu dan Aluna," sanggah Bu Intan merasa tak terima jika Angga menyembunyikan dan tidak memberitahukan hal sepenting itu padanya.
#111"Apa kamu bilang? Katakan sekali lagi!"Bu Intan tak dapat menahan emosinya. Ia hampir saja hilang kendali dan hendak melayangkan tamparan pada Tasya. Tetapi, ia menahan dirinya. Tak mau membuat keadaan semakin keruh karena sifat bar-barnya.Tasya tampak menghela napasnya dalam-dalam. Matanya terpejam erat seraya merasakan ribuan duri menusuknya. Ia harus mengatakan yang sejujurnya. Tidak ada yang harus ditutupi lagi."Orang jahat itu sudah menyebarkan video sy**ur Tasya, Bu. Bahkan teman-teman kampus Tasya pun sudah melihatnya," ujar Tasya putus asa. Ia terpaksa mengulangi kalimatnya.Kalimat yang berupa kenyataan yang membuatnya harus menekan hatinya menahan rasa sesak yang tiada tara. Lutut Bu Intan seketika lemas. Ia yang semula berdiri di sisi ranjang Tasya, terduduk. Seolah mendadak tak bisa menahan bobot tubuhnya sendiri."Kamu … serius tentang itu, Tasya?" Bu Intan bertanya dengan suara yang bergetar. Antara percaya dan tidak percaya.Namun, sepertinya kali ini Bu Intan h
#112"APA! Si breng**sek itu sudah bebas?" pekik Angga kesal.Tasya dan Bu Intan pun menatap tak mengerti juga penasaran pada Angga yang memekik keras secara tiba-tiba.Ia tak habis pikir jika Roy akan secepat itu dibebaskan oleh pihak kepolisian. Antoni mengabari Angga perihal masalah itu dan sontak saja membuat Angga terkejut, kesal dan kecewa dengan pihak kepolisian."Iya, Pak Angga. Roy sudah dibebaskan, ada seseorang yang menjaminnya. Maaf, jika anda merasa kecewa," ucap Antoni.Angga membuang napasnya kasar. "Jelas, saya sangat kecewa, Pak. Lalu, bagaimana dengan kedua pelaku lainnya?" tanya Angga penasaran."Mereka masih ditahan, Pak. Dan sepertinya memang saudara Roy ini bukanlah orang sembarangan, Pak," jelas Antoni setengah berbisik.Angga menepuk pelan keningnya. Hukum di negara ini memang selalu tumpul untuk kaum yang memiliki uang dan kekuasaan. Hal seperti itu seolah telah menjadi hal yang lumrah."Lalu, bagaimana dengan laporan kasus yang dialami adik saya, Pak? Akankah
#113Gadis itu mendongakkan wajah begitu mendengar ada seseorang yang memanggilnya. Suaranya terdengar tidak asing. Dan ia terkejut saat melihat Angga sudah berada di hadapannya. Entah sejak kapan dia berada di sana. Yang pasti Rere tak menyangka melihat Angga saat ini. Di hadapannya."B–Bang Angga?" sahutnya kaget. Ia tak menyangka akan bertemu lagi dengan Angga di sini. Dunia begitu sempit, pikirnya."Iya, ini saya," sahutnya kemudian. Angga mengambil posisi duduk di samping Rere. Mendadak gadis itu merasa gugup, sebab Angga pasti akan menanyakan kenapa dirinya berada di sini."B–Bang Angga kenapa ada di sini?" tanya Rere. Merasa gugup dan bersalah atas tersebarnya video sy*ur Tasya, meskipun Angga tidak mengetahui itu dan video itu tersebar juga bukan karena dirinya tapi tetap saja Rere merasa takut dan khawatir berada di dekat Angga."Kamu lupa kalau tempat ini merupakan tempat umum. Siapa pun bisa berada di sini, 'kan?" Angga malah balik bertanya pada Rere. Dan Rere merasa tak be
'Akhirnya selesai juga,' gumam Laras dalam hatinya. Ia memandang bangga hasil karyanya merangkai bunga-bunga segar untuk dipajang di ruang tamu.Wanita itu meraih ponselnya dari balik saku apron bermotif bunga babybreath yang masih dikenakannya. Mengambil beberapa potret bunga itu dari berbagai sudut. Ada kebanggaan dan kesenangan tersendiri di hati Laras saat melakukan kegiatan menyenangkan itu. Hanya cara itulah yang dapat membantunya mengusir rasa sepi karena belum dikaruniai buah hati meski sudah lima tahun menikah dengan suaminya.Terdengar pintu di depan rumahnya diketuk dari luar. Laras yang mendengarnya segera menyudahi aktivitasnya memandangi rangkaian bunga di dalam vas yang terbuat dari kaca itu. Ia beranjak menuju ke pintu untuk membukakan pintu."Laras! Buka pintunya!" Terdengar sebuah suara yang sangat Laras kenal dari arah luar. Ia sudah dapat menebak jika suara itu adalah ibu mertuanya.Pintu pun terbuka, dan benar saja dugaannya. Bu Intan, ibu mertuanya sudah berdiri
#2 Calon Adik Madu"Jangan-jangan kamu memang nggak mau hamil dan punya anak, Ras. Mengingat profesimu yang seorang biduan itu!" ketus Bu Intan mendelik tajam ke arah menantunya, Laras.Laras hanya menghembuskan napasnya perlahan. Mencoba lebih bersabar dengan umpatan dan makian yang dilontarkan ibu mertuanya. Mereka sudah kembali pulang ke rumah. Tapi, Bu Intan masih saja mengomeli Laras dengan berbagai macam kata-kata yang tak enak didengar."Pokoknya ibu nggak mau tahu, kamu harus bisa cepat hamil, Laras!" oceh Bu Intan tanpa henti. Mengabaikan perasaan Laras yang pasti akan terluka dengan ucapannya itu. Keduanya kini sudah sampai di depan rumah.Angga memang sengaja membangun rumahnya agar berdampingan dengan rumah ibunya. Sebagai anak sulung dia merasa bertanggung jawab atas kehidupan ibu dan adiknya. Apalagi Tasya yang beranjak dewasa, gadis itu harus mendapat perhatian lebih agar tidak terjerumus pergaula
Angga bergeming, lelaki itu justru membuang pandangannya tanpa berniat membela Laras sedikit pun. Ia memang selalu takut melawan dan membantah ibunya. Hingga ia tak dapat melakukan apa pun saat melihat Laras ditampar oleh ibunya."Aku tetap mau bercerai, Mas!" kata Laras seraya terus mengusap pipi yang ditampar tadi. Sakitnya tak seberapa jika dibanding sakit hatinya karena dikhianati suami dan direndahkan oleh mertuanya.Angga membeku di tempatnya. Ia tak mampu menatap sorot mata penuh luka dari Laras. Hatinya menjadi dilema saat ini. Satu sisi, ia tak mau melepaskan Laras begitu saja. Tapi di sisi lain ia juga ingin memiliki Aluna seutuhnya."Ceraikan saja wanita mandul itu, Ga. Nggak berguna! Biduan murahan!" maki Bu Intan menggebu."AKU TIDAK MANDUL!" sentak Laras cepat. Membuat ketiga orang itu kaget dengan suaranya yang mulai meninggi."Aku akan buktikan kalau aku nggak mandul!" ucap
Laras menyeret langkahnya menuju ke rumah peninggalan orang tuanya. Rumah itu letaknya lumayan dekat dengan rumah yang selama ini ditempatinya bersama Angga. Mereka masih bertetangga. Jarak antara rumah Laras dan Angga sekitar delapan rumah.Ia melangkahkan kakinya menuju ke kamarnya lantas segera merebahkan tubuh lelahnya di atas kasur. Meskipun rumah ini jarang ditempati olehnya. Akan tetapi, Laras selalu rutin membersihkannya. Setidaknya seminggu sekali karena memang jarak rumah ini dengan tempat tinggalnya hanya berselang delapan rumah. Cukup dekat.Pertengkaran malam ini adalah yang terparah dari sekian kali pertengkarannya dengan Angga, suaminya. Hingga membuat Laras nekat pergi dari rumah Angga. Orang ketiga sudah ikut campur dalam kisruh rumah tangga mereka. Ia merasa sudah tidak ingin melanjutkan pernikahan mereka lagi.*Angga pulang ke rumahnya setelah mengantarkan Aluna pulang ke tempat kosnya.