Peluh kini bercucuran di wajah Arya. Embusan napasnya pun terdengar jelas, bahkan kedua bahu Arya naik turun. Matanya masih menatap pada lalat raksasa yang tepat berada di depannya. Tangannya masih memegang Wallace Sword yang baru saja dia tarik dari tubuh sang iblis.
‘Apa kali ini berhasil?’ Arya hanya bisa membatin.
Prang.
Arya melihat lalat besar yang sudah terkoyak itu, seketika hancur menjadi pecahan kaca. Sejurus kemudian, sosok Beelzebub pun menghilang tak bersisa. Anak laki-laki itu pun mengembuskan napas lega. Dan, seketika dia dikejutkan dengan sebuah rangkulan dari Reza yang sangat tiba-tiba.
“Kita berhasil, Arya!” seru laki-laki itu.
Arya pun tersenyum. Ya, setelah melakukan perang yang melelahkan, akhirnya dia berhasil mengalahkan sang iblis. Mata bulatnya itu melirik ke arah Idun dan Dida, yang jaraknya lumayan jauh darinya. Kemudian dia menarik kedua sudut bibirnya. Tangannya pun terangkat lurus—sejajar
Arya menghampiri Idun yang sedang bersama dengan Dida di tepi danau. Entahlah, sebenarnya apa yang sedang mereka lakukan, Arya tak tahu dan tak tertarik. Namun, demi membuktikan rasa curiga dan penasarannya. Arya harus mencari tahu tentang hubungan kedekatan mereka berdua.“Idun, gue boleh bicara sebentar?” tanya Arya yang mengganggu waktu istirahat mereka.Idun terkesiap. Pasalnya dia tak menyadari kapan ketua timnya itu datang menghampiri mereka berdua. Ia pun langsung beranjak, “Iya, ada apa?” timpal Idun.“Gue mau bicara empat mata sama lo.” Kemudian Arya melirik pada Dida, “nggak masalahkan, kalau saya pinjam Idun sebentar, Kak?” Arya bertanya pada Dida dan langsung dijawab dengan sebuah anggukan oleh perempuan itu.Arya tersenyum pada Dida, lalu mengangguk, “Thanks,” ucapnya. Ia pun segera membawa Idun ke tempat yang sepi.“Ada apa?” tanya Idun ketika mereka sampai di tem
Cerita latar belakang Dida, sepertinya sangat relevan dengan apa yang dia lakukan di sini. Memang, jika Arya ingat beberapa tahun yang lalu, saat dunia sedang sakit akibat wabah sebuah virus. Banyak sekali manusia-manusia serakah, yang tak mementingkan keadaan sekitar. Mereka yang berada selalu mencuri start terlebih dahulu dan memanfaatkan kekayaan mereka. Padahal jika dipikir ulang, mereka sendiri tak terjangkit virus tersebut. Berbeda dengan masyarakat kelas menengah bawah, yang harus bertahan hidup. Di tengah pandemi dan kesulitan ekonomi, mereka harus siap dengan kemungkinan terburuk, yaitu terpapar virus dan mati dengan kondisi yang tak bisa diterima oleh masyarakat. Ah, benar-benar, jika Arya mengingat momen kala itu membuat bulu kuduknya merinding. Jika memang benar Dida seperti itu, wajar saja dia dihukum. Karena memang, manusia-manusia rakus seperti dia wajib untuk menerima penghukuman seperti ini. Apalagi gara-gara kerakusannya itu membuat hidup orang lain
Kota Elfi. Begitulah yang tertera pada papan selamat datang. Di hadapan semua pemain kini terpampang gedung-gedung tinggi nan megah. Pemandangan ini tentu berbeda dengan pemandangan sebulumnya. Tidak ada lagi padang rumput, hutan, mau pun lautan. Benar-benar mereka sedang berada di sebuah kota yang sangat mewah. “Misi apa lagi sekarang? Apakah keserakahan?” gumam Arya. Dia mencoba menebak dari apa yang dilihatnya. Bangunan-bangunan megah, mewah, penuh dengan kilauan cahaya yang membuat mata silau seketika. “Hah? Tadi kamu ngomong apa, Ya?” tanya Idun yang mendengar sedikit Arya berbicara, “kese … kese apa?”“Keselek,” timpal Arya. Jujur, Arya tidak ingin dulu memberi tahu tentang dugaannya pada game ini. Ia mendongak ke atas. Dia tidak tahu, apakah ada orang yang memantau setiap kegiatan dan tindakan mereka di sini? Ah, tentu ada. Maka dari itu, dia memilih untuk bungkam. Arya tidak tahu dengan detail tentang sistem game ini. Khawatir jika seseorang yang mema
Plak!Firman memukul punggung Reza dengan keras, “See? Gue bilang apa? Kita di sini itu untuk berlibur,” katanya puas.“Aw! Sakit bege. Bisa nggak, sih, lo itu nggak usah pakai mukul? Umur kita nggak beda jauh, ya, Bang! Jadi, jangan so paling tua dan seenaknya sama yang muda,” decih Reza sembari memegang punggung yang sudah mendapatkan cap lima jari dari Firman.“Lagian lo duluan yang sewot. Sekarang terbukti, kan? Kalau memang di sini waktunya kita refreshing and healing. Lihat, semua ini seperti surga.” Firman merentangkan tangannya dan memperlihatkan keindahan yang ada di depan mata.Tadi Poppy memberi tahu pada mereka, kalau tidak ada misi di tempat ini. Para pemain diberikan waktu untuk beristirahat dan menikmati semua fasilitas yang ada. Katanya ini bentuk penghargaan bagi para pemain yang masih hidup dan bertahan di sini. Selain itu, Poppy berkata kalau ‘master’ sedang merasa senang, jadi, dia member
“Eugh!” Arya mengerang dan merentangkan kedua tangan juga kakinya. Kelopak matanya yang tertutup, perlahan dia buka. Dengan pandangan yang sedikit kabur, ia mencoba memindai setiap sudut kamar mewah, yang sekarang menjadi kamarnya bersama dengan Idun.“Ah, lumayan tidur dua jam,” gumamnya.Sesampainya di penthouse tersebut, Arya memutuskan untuk beristirahat. Badannya itu lumayan lelah, efek dari pertarungan terakhir melawan sang kerakusan. Sekarang, dia sudah merasa sedikit bugar kembali. Terlihat presentase stamina pada jam digital miliknya pun seratus persen.Arya mencoba mengecek kolom chat milik timnya. Sebelum dirinya tertidur, semua tim mendapatkan pemberitahuan, bahwa ada pembaharuan sistem. Di mana sistem menyediakan fitur pesan untuk setiap squad. Kini sesama anggota tim bisa saling mengirim pesan.Dengan saksama, Arya membaca setiap chat dari masing-masing anggotanya. Ternyata Idun dan Dida sedang berlatih di dekat danau
‘Fokus, Arya! Fokus!’Arya mencoba mensugesti dirinya sendiri untuk tidak memikirkan hal-hal aneh. Pasalnya, semenjak dia melihat penampilan dan mendapatkan perhatian dari Angel, pikirannya berkelana. Kondisi ini didukung dengan sebuah kenyataan bahwa mereka hanya tinggal berdua di penthouse ini.Beberapa kali Arya menarik napas, lalu mengembuskannya secara perlahan. Namun, pikiran itu tidak sepenuhnya hilang dari pikirannya. Sejak kapan Arya berpikiran kotor seperti ini? Oh, God! Bahkan untuk berduaan bersama seorang perempuan saja Arya tidak pernah. Baru kali ini, di sini, di tempat sialan ini.“Arya, ini gue masakin lasagna. Sorry, ya, gue nggak bisa bikin masakan rumahan, cuman macem beginian aja bisanya.” Angel menyuguhi masakannya pada Arya, lalu dia duduk di samping Arya.Harum. Wangi saus bolognase yang khas ini menyeruak dan memasuki indra penciuman Arya. Perutnya pun langsung meraung, meminta segera diisi oleh makanan kha
Sebenarnya untuk siapa pesan dari Candra itu ditujukan, Arya tak begitu tahu. Namun, feeling-nya berkata bahwa dia harus segera menemui Candra di tempat tersebut. Arya pun tidak sendirian, dia ditemani oleh Dida juga Idun. Dengan berbekal petunjuk arah pada peta yang mereka miliki, akhirnya Arya, Dida dan Idun pun tiba di sebuah hotel mewah. Di dalam hotel tersebut terdapat sebuah kasino. Mereka pun segera masuk ke sana dan langsung disuguhi dengan interior yang sangat mewah. “Yang seperti ini apa ada di dunia nyata?” tanya Idun sembari mengangkat kepalanya. Kedua bola matanya itu bergerak, terus memindai setiap sudut lobi hotel tersebut. Sungguh sangat berkilau dan bercahaya sekali. “Ada,” jawab Dida singkat. “Serius, Kak? Di mana?” Dida mengangkat bahunya, “Sebenarnya aku tidak terlalu yakin, tapi rasa-rasanya tempat ini mirip sebuah kota di benua Amerika,” ungkapnya. Semenjak tiba di kota tersebut, Dida dan Idun sudah mencoba menjel
Tidak sudi rasanya mengotori dirinya sendiri apalagi dalam permaian. Apa katanya? Gold milik anggota tim akan bertambah banyak? Arya tak peduli dengan itu. Dia tak ingin terjebak dengan trik yang sangat murahan. Arya berjalan keluar dari tempat terkutuk dan penuh dengan orang-orang tamak. Begitupun dengan ketiga temannya; Angel, Dida dan juga Idun. Walau mereka bertiga tak mengerti, kenapa Arya keluar dari tempat itu dengan raut wajah yang kesal. Sedangkan Candra? Entahlah, Arya tak begitu peduli. Jika memang laki-laki itu takut dengan ancamannya maka dia akan keluar, jika tidak dia akan terjebak di dalam sana. “Arya, tunggu!” seru seorang pria dengan suara beratnya. Ah, ternyata Candra masih ingin hidup juga. Arya pun menghentikan langkahnya, tapi tidak menoleh. Candra segera menghampiri dan berdiri di depan Arya. “Jangan pergi begitu saja. Jelaskan dulu apa maksud perkataanmu, bahwa saya yang akan menjadi incaran selanjutnya?” pinta Candra.