"Begini, saya dapat laporan dari seseorang. Katanya Bu Rani menjalankan usaha yang ilegal, ya?""Hah, ilegal? Enak aja. Siapa yang bilang begitu Pak RT? Orang saya cuma jualan sayur. Ilegal darimananya?""Sabar, Bu. Lebih baik ibu datang ke rumah saya sekarang. Tolong bawa juga surat izin untuk membuka usaha warung yang sudah saya tanda tangani. Soalnya seingat saya, saya merasa belum pernah mengeluarkan izinnya, Bu," jelas Pak RT. Bu Rani langsung terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab apa lagi. Karena memang ia belum mempunyai surat izin untuk membuka usaha dari Pak RT."I-iya, Pak. Nanti sore saya ke rumah Bapak," jawab bu Rani terbata."Aduh kenapa masalah sepenting ini malah bisa aku lupakan? Gara-gara terlalu fokus mau membuat warung sayur yang besar, aku jadi lupa belum mengajukan izin ke Pak RT," keluh Bu Rani. "Masa iya baru pembukaan kemarin trus langsung tutup?"Bu Rani menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia bingung apa yang harus dia lakukan terkait perizinan warungnya.
Bu Rani terpaksa menurut. Setelah membuka warungnya, Bu Rani harus membuang beberapa sayuran dan buah yang sudah tidak layak, karena sudah busuk dan menggantinya dengan yang baru. Setiap hari, Bu Rani baru membuka warungnya pukul sepuluh pagi dan tutup pukul dua belas siang. Bu Rani baru akan keluar rumah setelah memastikan kalau ibu-ibu di sekitar rumahnya sudah tidak berkeliaran di luar rumah. Sepertinya ia masih merasa malu akibat kejadian dengan Bu Anti, tempo hari.Bu Rani tidak sadar, kalau sikapnya itu malah akan membuat warung sayurnya semakin sepi, sudah hampir tiga hari sejak dibuka, tidak ada satupun pelanggan yang berbelanja di warung sayur Bu Rani. Mereka masih mengira kalau warung Bu Rani belum buka. Soalnya setiap kali mereka lewat di depannya, selalu dalam keadaan tutup. ***"Jangan mahal-mahal dong harganya, Bu Rani. Masa alpukat sekilo, lima puluh ribu?" keluh Bu Dwi.Hari ini, Bu Dwi yang memang sedang mencari buah alpukat, sengaja mampir ke warung Bu Rani, kare
"Hih, ini anak, dari tadi jawab melulu." ucap Bu Rani seraya memukul pelan lengan Coki. "Kamu ga usah banyak tanya, bawa aja, sesuai apa yang Tante suruh.""Tapi kenapa Tante ga beli aja, si, di warungnya Tante Sri? Kan, disana ada. Coki ga mau, ah, kalo disuruh nyuri. Malu, Tan, malu.""Bukan nyuri, dong, Cok, Kamu minta baik-baik sama Tante Sri. Pasti di kasih, la.""Tapi pake alasan apa, Coki harus minta-minta sayuran segala, Tan? Ga mau, ah. Kalo mau, Tante minta sendiri, aja!" ujar Coki, lalu beranjak pergi meninggalkan Bu Rani."Dasar anak ga tau sopan santun, Tante belum selesai bicara, Cokiii!" pekik Bu Rani.***"Bu, hari ini, banyak sayuran dan buah yang dikembalikan pelanggan, Bu. Terutama yang kita kirim ke komplek sebelah," lapor Kasman kepada Mba Sri."Kok, bisa begitu, Man?" tanya Mba Sri sambil menautkan alisnya."Katanya, mereka kecewa, karena sayuran yang selama ini dipesan ternyata bukan sayuran organik, dan mereka bilang ga akan pesan sayuran di sini lagi" jawab K
Kasman mengajak Coki ke halaman belakang rumah Mba Sri, ada sebuah gazebo kecil yang terletak di pinggir kolam renang. Tempat yang memang sangat cocok untuk berbicara lebih santai. Sebelumnya Kasman meminta Mbok Dijah, asisten rumah tangga Mba Sri, untuk membuatkan Coki makanan kesukannnya. "Jadi, kemarin itu banyak sayuran yang kita kirim ke pelanggan, dikembalikan ke sini, Cok. Mereka bilang mereka nggak mau pesan sayuran di tempat kita lagi, karena merasa kita sudah membohongi mereka.""Bohong, gimana, Om?" tanya Coki yang mulutnya masih sibuk mengunyah spaghetti cheese yang tadi Mba Dijah sajikan."Mereka pikir sayuran yang kita kirim itu bukan sayuran organik, karena kondisinya masih bagus. Menurut edaran yang mereka terima, sayuran organik itu daunnya akan banyak yang berlubang, karena pasti sudah dimakan ulat.""Kan, kita sortir dulu mana yang bagus dan gak bagus, yang baguslah yang kita kirim ke mereka. Kalau mereka mau yang berlubang, ya, kita kirim aja, Om. Tuh, di kardus b
"Kemarin Bu Rani sempat melihat daftar nama dan alamat pelanggan, kan, di bukunya Coki?" ucap Mba Sri."Iya, Saya sempat lihat. Terus, apa hubungannya dengan Jeng Sri nuduh, Saya kayak tadi?""Karena, ...." Mba Sri menggantung kalimatnya, "yang mendapat edaran tidak benar itu adalah, nama-nama pelanggan yang semuanya ada di buku catatan Coki," ujarnya lirih. "Eh, Jeng Sri, dengar baik-baik, ya. Saya berani bersumpah, demi Allah, bukan Saya pelakunya! Bukan saya yang mengirim edaran itu ke mereka.""Aku memang iri sama situ, Jeng. Tapi kalau berbuat sampai harus mematikan usaha orang lain, ga pernah tuh saya kepikiran ke arah sana. Otak saya ga nyampe Jeng. Paling, ya, cuma ngikutin Jeng Sri jualan sayur thok." batin Bu Rani."Kalau bukan Bu Rani pelakunya, buat apa Bu Rani kemarin melihat buku catatan milik Coki?" selidik Mba Sri seraya memicingkan mata. "Bu-bukan buat apa-apa, kok. Saya cuma ingin tau aja, apa yang Coki kejakan di rumah Jeng." jawab Bu Rani terbata."Kalau Bu Rani
"Aneh, kenapa, Bu Dian sama sekali ga bilang apa-apa, kalau mau pulang kampung? Udah gitu nomornya ga aktif." pikir Mba Sri seraya menautkan alis. "Apa aku menghubungi Ibu-ibu sini aja, ya, untuk membantu di rumah singgah? Mereka, kan, juga sudah tau programku sebelumnya."Akhirnya Mba Sri mencoba untuk menghubungi Bu Susi."Assalamualaikum. Hallo, Bu Susi, ini Sri. Maaf sebelumnya kalau Saya mengganggu waktunya. Gimana kabarnya, Bu?" "Waalaikumsalam warahmatullah. Alhamdullillah kabar baik, Mba. Ga apa, Mba Sri, ga menganggu, kok. Ini kebetulan lagi main sama cucu," jawab Bu Susi ramah. "Ada yang bisa, Saya bantu, Mba?" "Umm, begini Bu. Saya mau minta tolong Bu Susi, untuk bantu di rumah singgah. Karena kebetulan Bu Dian yang selama ini membantu, sedang pulang kampung.""Oh gitu. Tapi, bantu kayak gimana, ya, Mba?""Setiap sore, kan, mereka ada kegiatan pembelajaran, Bu. Kalau Bu Susi bersedia, Saya minta bantuan untuk mengawasi proses pembelajarannya saja, sekaligus menginformasik
"Kalau dari rekaman cctv, si ... yang mengedarkan laki-laki, Bu, masih muda. Sepertinya dia hanya di suruh."" Maksud kamu, Coki?"Kasman menggeleng pelan, muncul beberapa garis halus di dahinya, "Tapi, kalau ga salah, saya pernah ngeliat dia di rumah Bu Dian, Bu.""Di rumah Bu Dian?" kernyit Mba Sri. Bola mata hitamnya menatap heran pada Kasman."Seingat saya, Bu Dian tidak punya anak atau kemenakan laki-laki yang tinggal sama dia, deh. Ada juga pekerjanya, tukang kebun dan sopir, tapi mereka sudah tua. Kira-kira siapa, ya, Man?"Kasman mengangkat bahu, "Tapi, Saya yakin kalau pernah melihat pemuda itu di tempat Bu Dian, Bu. Beberapa minggu yang lalu kalau ga salah, waktu saya antar buah-buahan yang Bu Dian pesan, pemuda itu yang menerima, karena Bu Dian sedang keluar.""Trus kamu tanya, ga, dia siapanya, Bu Dian?""Sayangnya, gak, Bu." Kasman tersenyum hambar. "Ya ... karena Saya pikir, kalau dia ada di rumah Bu Dian, berarti dia kerabatnya, dan Bu Dian juga menitipkan uang ke pemuda
Mba Sri menggeleng pelan, "Awalnya Saya juga mengira begitu, Bu. Malah Saya sempat marah-marah ke Dia, tapi ternyata bukan Bu Rani pelakunya." "Jadi, apa yang bisa Saya bantu?" tanya Bu Anti tanpa melihat ke arah Mba Sri. Kali ini tangannya sibuk memotong kecil-kecil daging yang sudah dilumuri kecap."Saya minta tolong Bu Anti untuk jadi duta sayuran organik Saya. Umm, Bersedia, ga, Bu? InsyaAllah nanti akan ada kompensasinya. Bu Anti tinggal sebutkan saja harganya. Tapi sesuai kemampuan Saya, ya, Bu." ucap Mba Sri sambil tertawa."Maksud Mba Sri? Jadi bintang iklan gitu?" Mba Sri mengangguk. "Gimana, Bu? Bu Anti mau, kan, bantu saya?""Ya Allah, Mba Sri. Ya jelas mau lah, gampang itu. Nanti kita atur waktunya kapan bisa mulai, ya.""Alhamdulillah." ujar Mba Sri lega, yang kemudian langsung memulai aktivitas makan siangnya. Ia mengambil secentong nasi dari dalam bakul kecil dengan lauk ayam bakar yang sudah mulai dingin, karena sudah tersaji sejak tadi."Lagian tu, ya, yang percaya