Aku ingat awal kegilaan ini dimulai, yakni kesepakatan untuk menjadi istri bayaran senilai 500 juta rupiah. Mulai dari sanalah, kehidupanku seolah jungkir balik. Membuatku menjadi wanita yang mulai punya obsesi dan mengingkari janjiku sendiri. Namun, tak kusangka semua keputusanku itu semakin membawaku ke dalam perangkap seorang Tsabit. Oh, Tuhan! Aku tidak bisa terus-terusan digoda seperti ini. Dia menatapku dalam membuat pipiku memerah. Aku mencoba membalas tatapannya tapi yang ada malah jantungku berdebar sangat brutal. "Pak! Tolong jangan begini ini kantor!" Aku mendorong tubuh Tsabit supaya sedikit menjauh tapi tampaknya nggak berarti apa-apa karena tubuhnya besar.Aku kira dia mengajakku untuk meminta penjelasan tentang aku yang ketahuan bersembunyi di kolong meja.Ternyata, eh ternyata! Dia malah menerkamku bak singa lapar."Stop panggil saya 'Pak'! Sudah saya bilang kan saya suami kamu, Hana! Saya suamimu. Saya benci kamu panggil Pak. Kamu paham itu, kan?" Kalimat itu diucap
"Seksi." Dia bergumam sambil tersenyum. "Gak nyangka kamu cocok juga."Dahiku sontak berkerut, berusaha menstabilkan debaran jantung yang menggila karena melihat suamiku tiba-tiba masuk ke kamar pas. Yaelah, kenapa di ada di sini pas aku lagi baju seksi lagi? Kan aku jadi malu. Aku merasa aku lebih mirip lemper dipitain kalau pakai lingeri dibanding wanita seksi."Mas? Mas kenapa bisa masuk ke sini? Ke mana Tsania? Tsan! Tsan!" Aku berteriak panik sambil membuka pintu kamar pas sedikit sekalian mengecek di luar sana apakah ada orang atau tidak tapi sialnya tak ada satu pun yang menjawab. Toko lingerie bermerek itu seakan sengaja dikosongkan. Menyadari kalau aku terjebak, langkahku otomatis mundur beberapa langkah dari badan Tsabit. Sumpah ya, lelaki satu ini selalu hobi membuat istrinya jantungan. Di kantor dia seenaknya menciumku paksa dan di mall dia seenaknya masuk ke kamar pas di mana di dalamnya ada aku yang lagi pakai baju saringan tahu. Tsabit memang selalu out of mind. Dia
Sekali lagi. Aku menghela napas pelan. Malam ini aku memilih duduk di taman rumah sakit sendirian sambil merenung. Selepas menguping pembicaraan Tsabit dan Bu Zela, aku menjadi hilang semangat untuk terus berada di sana. Aku khawatir jika terus menguping, Candra akan tahu perasaanku yang gamang gara-gara mendengar ucapan mertuaku sendiri. Entah mengapa perasaanku mendadak kecewa ketika mengetahui Tsabit meminta kami memiliki bayi bukan karena keinginan sendiri tapi karena permintaan ibunya.Jujur, aku sempat berharap dia mengatakan itu karena dia mencintaiku dan ingin menghamiliku atas keinginannya sendiri bukan paksaan tapi rupanya itu mustahil. Sampai sekarang pun ternyata Tsabit hanya terpaksa, dia belum bisa menerimaku seutuhnya sebagai istri.Bodoh! Ya, aku sangat bodoh.Sungguh, terlepas dari kekecewaanku pada keadaan, nyatanya aku lebih marah pada diri sendiri karena terlalu berharap pada hubungan ini. Seharusnya sejak awal aku tidak pernah menyimpan hati. Seharusnya sejak aw
Perlahan aku mencoba untuk membuka mata , menggeliat dan mengganti posisi menghadap ke samping. Namun, ada yang aneh sepertinya bau yang kucium kali ini berbeda dengan bantalku yang biasanya. Kali ini wanginya lebih maskulin dan menenangkan.Penasaran, aku menggulirkan pandanganku ke samping. Pupil mataku melebar tatkala menemukan wajah Tsabit tengah memandang cemas. "Alhamdullilah, kamu sadar juga," ujarnya. "Astaghfirullah! Mas, ada di mana aku sekarang?" tanyaku terperanjat. Aku langsung mendudukkan diri. Kupegangi kepalaku yang masih terasa pusing sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan yang didominasi warna hitam dan putih. Tsabit tersenyum sambil menatapku. "Kamu ada di kamar saya. Gimana? Udah baikan?" tanya Tsabit seraya memeriksa suhu badanku. Dia gegas memeriksa dahiku dan lalu mengepitkan termometr di mulutku. Tak lama setelah mendapat hasilnya, pria yang sepertinya sejak tadi menungguku itu mengulas senyum simpul. "Oke, suhunya udah normal. Gimana kamu mas
Sejak dulu, aku terbiasa hidup penuh dengan penderitaan dan tantangan. Jika diibaratkan jalan, mungkin hidupku itu gak selurus jalan tol. Terlalu banyak batu dan lobang yang dapat membuatku jatuh bahkan terluka tapi aku bersyukur nyatanya aku bisa bertahan melewati semua. Aku gak mau menjadi lemah dan diinjak-injak karena itulah aku berusaha untuk melakukan apa saja demi bertahan di dunia yang gak bersahabat ini. Namun, sekarang rasanya berbeda, selama aku menikah dengan Tsabit hidupku seolah penuh dengan kebaikan dan kehangatan. Darinya aku mulai belajar apa itu rasa cinta dan pengorbanan. Dan dia juga lelaki pertama yang memeluk rasa sakit yang selama ini kupendam. Bagiku, Tsabit layaknya pangeran yang ada di dongeng Cinderella yang mampu menjadi penawar dari lukaku. Karena kebaikannya, aku bahkan berharap keromantisannya akhir-akhir ini adalah tanda kalau dia mulai menerimaku. Tetapi, sayangnya meski aku ingin tetap bersama Tsabit kini keraguan mulai menghinggapi ketika masalah
Kata orang cinta itu gak salah yang salah adalah waktu dan pada siapa kita jatuh cinta. Kupikir itulah yang telah terjadi padaku. Dulu, ketika aku banyak dilukai oleh keadaan, aku malah sempat menutup hati karena masih tak mengerti apa itu arti sebuah kenyamanan dalam hubungan. Tetapi, sayangnya aku tak bisa terus membodohi diri, sebisa mungkin aku sadar kalau masa laluku suatu saat pasti akan melukai Tsabit. Aku yang banyak hutang dan memiliki almarhum bapak yang mantan pembunuh sungguh tidak pantas bersanding dengan keluarga Tsabit yang begitu terpandang. Apalagi setelah aku tahu kalau Tsabit hanya bertahan karena dua alasan yang membuatnya terpaksa menerimaku.Aku merasa tidak bisa lagi lebih lama menahan diri dan melukai satu sama lain. Meski obsesi di dalam sini masih besar tapi kondisi kami bagaikan bumi dan langit, mau dipaksa pun gak bisa. Aku yang terbiasa bebas tidak mungkin cocok dengan Tsabit yang selalu menjadi fokus perhatian sebagai konglomerat. Sejak kecil hidupku te
Pov TsabitSepertinya Hana memang tak tercipta untukku. Sebaik apa pun aku menjaga, yang pergi akan tetap pergi dan yang tinggal akan tetap tinggal. Lelah rasanya terus mengalah dan menyuapi hati akan impian tentangnya, berharap Hana akan memahami kalau aku hanya ingin menjaganya.Sepanjang perjalanan memperjuangkan gadis itu, baru kali ini aku merasa menjadi manusia bodoh. Seharusnya aku tahu, berharap seseorang yang sama sekali tak pernah perduli sama saja menjadikan diri seperti peliharaan tak bertuan. Salah. Memang rasa ini sudah salah sejak awal. Tak seharusnya aku mulai membuka hati untuk orang yang hanya menganggap pernikahan adalah sebuah keterpaksaan karena akhirnya di sini akulah yang paling merasa kecewa. Tak bisa disangkal, kalau kehadiran Hana sedikitnya mempengaruhiku. Semula aku bukanlah orang yang mampu menerima sebuah keanehan tapi semenjak dia datang, aku bahkan berikrar akan menerima Hana apa pun yang ia lakukan. Bahkan jika dia mulai kembali berbuat bar-bar hing
POV TSABITAku menggeliat ketika membuka mata. Sejak kapan kamarku jadi berisik begini? Ada suara tukang sayur, ibu-ibu bergosip, anak-anak menangis dan motor yang sering membunyikan klakson ... nggak masuk akal.Apa Pak Satpam sudah pensiun untuk menertibkan siapa saja yang masuk perumahan?Aku memaksakan diri untuk duduk tegak di atas ranjang, masih terlalu bingung untuk mencerna keadaan. Dengan setengah mengantuk aku berniat menuju kamar mandi tapi seketika mataku melebar disebabkan kamar tempatku berada gak punya kamar mandi di dalam. Bukan hanya itu, hidungku tidak lagi menghidu aroma kopi dan catnya pun berbeda. Kamarku didominasi warna putih dan lalu ini ... PINK?Aku mengamati sekeliling dan akhirnya aku menepuk jidat.TAK!Oh ya, aku ingat sekarang kalau aku sedang berada di rumah Hana. Seingatku, semalam setelah mengobrol panjang kali lebar dengan Momod juga emaknya, alhasil sandiwaraku berhasil. Hana yang semula tega untuk mengusirku dari sini terpaksa menerima karena bujuk