POV Aswin (Ayah Satria)
Tepat pukul setengah dua belas malam, jenazah Airin telah selesai dimakamkan. Kini berganti Hanin yang memainkan perannya.Ia duduk bersimpuh di sisi makam putri kami itu sembari terus menangis pilu. Para lelaki itu menatapnya dengan iba, namun penuh kegalauan."Pak Aswin, jenazahnya sudah selesai dimakamkan. Lalu sekarang kita harus bagaimana lagi? Di antara kami tak ada yang pandai memimpin do'a," ujar salah satu dari mereka."Tak apa, Pak. Yang penting kita do'akan saja Airin di dalam hati kita masing-masing," sahutku dengan bijak.Mereka hanya manggut-manggut saja, namun masih penuh kegalauan di raut wajah mereka."Kalian kalau mau pulang duluan tak apa kok.""Tapi, Bapak--.""Tak apa. Ini kan sudah malam. Saya juga akan segera pulang jika Hanin sudah tenang," lanjutku lagi.Dengan sedikit sungkan mereka pun segera berpamitan padaku. Aku tahu itulah yang jadi kegalauan di hatMasih POV AswinAku berbalik badan untuk melihat wanita yang paling kubenci itu. Senyum sinis tersungging saat melihat wanita berpenampilan lusuh itu kini berdiri di hadapanku dengan membawa sebuah piring berisi bubur."Tumben makan bubur nasi, biasanya makan bubur singkong. Dapat beras dari mana kalian? Atau jangan-jangan kalian mencuri di warungku ya?"Wanita dengan wajah datar itu sama sekali tak menggubris perkataanku. Ia terus berjalan melewatiku menuju ranjang."Sampai mati pun kami tak sudi makan makanan dari hasil perbuatanmu yang haram itu," sahutnya sembari meletakkan piring tadi di atas meja kecil usang yang ada di sisi ranjang.Harga diriku terluka mendengar hinaan wanita ini. Dasar munafik! Tak ingatkah dia dulu juga pernah merasakan uang dari hasil pesugihan juga?Sreett!Dengan geram aku menarik rambut panjangnya yang terlihat berantakan itu. Namun aku malah dibuat terkejut saat tiba-tiba tangannya dengan cepat menarik dan memelintir tanganku dengan keras."Aaaargh! Lep
"Hei, heiii!"Aku makin keras mengguncang tubuh istriku itu, hingga akhirnya matanya terbuka dengan terpaksa."Maaaass!" Seolah begitu ketakutan ia langsung melompat memelukku yang ada di hadapannya."Aku takut, Mas. Aku takut ...." Ia terus menceracau tak karuan membuat aku merasa tak enak hati karena ada Seno di dekat kami.Jangan sampai Hanin berbicara yang tidak-tidak di dekat Seno, bisa gawat. Apalagi selama ini Seno sama sekali tak tahu tentang rahasia kami."Ini, minumlah dulu, supaya tenang." Aku menyodorkan segelas air yang ada di meja, yang langsung diteguk Hanin hingga tandas."Sudah tenang?" Tanyaku kembali."Mas, aku--."Belum sempat Hanin melanjutkan ucapannya, aku sudah lebih dulu meremas tangannya memberi kode supaya ia tak bercerita macam-macam dulu karena masih ada Seno."Kamu istirahat dulu saja di kamar ya? Aku tahu kamu pasti masih terpukul dengan kepergian Airin. Ayo, aku antar!" Tukasku sembari membantunya berdiri.seolah mengerti dengan kode yang kuberikan, Ha
POV SutarAku menatap tajam tepat di bola mata Aswin. Tak kupedulikan orang-orang yang menatap kami dengan heran. Rasanya kekesalanku begitu memuncak. Aku benci lelaki munafik yang kini ada di hadapanku. Walaupun karena dirinya lah aku jadi kaya, tapi aku tahu dibalik sikap baik-baiknya padaku ia sebenarnya begitu busuk. Apalagi setelah kehilangan anak perempuannya itu.Usai berkata demikian, aku kembali melanjutkan perjalanan. Malas membuang-buang waktu untuk orang munafik itu. Kulanjutkan langkah dengan menggandeng lengan Sutini yang terus saja menangis. Kami benar-benar terpukul karena harus kehilangan anak kami. Padahal aku sudah mati-matian untuk mencari tumbal agar anakku tak berakhir sama seperti anak Aswin.Namun sialnya, bencana malah datang dari orang yang tak kami sangka-sangka. Mengingat itu, hatiku menjadi geram. Padahal aku sudah berusaha menyelamatkan Karin dengan meminta pertolongan Mbah Sedan, tapi kenapa hasilnya malah begini?
Entah pukul berapa, aku yang tadi sempat pingsan lagi tiba-tiba tersadar saat mendengar suara orang memanggil-manggilku.Kuperjelas pendengaran untuk memastikan aku tak salah dengar. Tapi semakin kudengarkan, ternyata itu memang suara warga yang sedang mencariku.Aku baru sadar, pasti Sutini yang mengabarkan pada mereka soal aku yang hilang."To--long ... Aku di sini," rintihku berusaha sekeras mungkin. Namun tetap saja tak terdengar oleh mereka.Aku makin putus asa saat mendengar suara mereka menjauh perlahan. Sepertinya memang aku akan berakhir di tempat ini.***"Astaghfirullah ... Toloong! Ada orang di sini."Hari sepertinya sudah berganti. Aku mengucap syukur dalam hati saat mendengar suara orang yang sepertinya menemukanku. Aku mendengarnya. Hanya tak sanggup lagi rasanya untuk membuka mata. Badanku terasa remuk redam menahan berbagai rasa. Bahkan saat beberapa orang berusaha mengeluarkanku dari lubang te
Masih POV SutarMobil berhenti tepat di pelataran warung yang tertutup rapat. Dengan dibantu Dasiman dan Sutini aku pun turun. Saat melihat ke sekeliling rumah, aku heran mendapati keadaan rumah begitu kotor. Padahal biasanya ada pekerja yang membersihkannya."Kenapa rumah seperti tak berpenghuni begini?" Tanyaku pada mereka."Aku juga tak tahu, Bang. Selama di rumah sakit, aku sama sekali tak bisa menghubungi siapapun. Termasuk Imah," sahut Sutini.Dengan sedikit kesal, aku bergegas masuk ke rumah. Keadaan dalam rumah lebih parah berantakannya. Apalagi sewaktu ditinggal, kami baru saja menghadapi kemalangan."Imah benar-benar tak membereskan rumah sepertinya," ujar Sutini sembari mendengus kesal melihat keadaan rumah yang porak poranda."Coba kamu telepon dia. Suruh dia datang sekarang. Aku tak bisa istirahat jika keadaan rumah seperti ini," titahku bak seorang raja.Tanpa perlu kuperintah dua kali, Sutini langsung mengeluarkan ponselnya dan menghubungi wanita yang biasa bekerja memb
Malam merangkak naik, aku yang terus merasakan sakit pada sekujur tubuh sama sekali tak bisa memejamkan mata. Hanya bisa terbaring gelisah di atas ranjang empuk kami.Tepat jarum jam menunjukkan tengah malam, terdengar suara ketukan dari luar. Entah dari pintu yang mana, aku pun tak tahu.Aku masih bisa berpikir waras, tak mungkin ada manusia waras yang mengetuk pintu rumah orang malam-malam buta begini.Berusaha mengabaikan ketukan tersebut, aku pun kembali memejamkan mata, walau tetap saja tak dapat terlelap juga.Semakin aku memejamkan mata, suara ketukan itu makin keras terdengar, sungguh mengganggu sekali.Saat hendak menutup telinga dengan bantal, tiba-tiba terdengar suara Ibu memanggil namaku. Sontak aku terhenyak. Berpikir bisa saja itu memang Ibu yang sedang mengetuk. Sebab Ibu selama ini tinggal sendiri di belakang rumah kami. Apa jangan-jangan Ibu sakit sampai harus mendatangiku malam-malam begini?"Tin, Tini ...." Aku mengguncang tubuh Tini yang tengah terlelap di sebelahk
Hingga pagi harinya Tini masih terus mendiamkan aku. Aku tahu, ia pasti terkejut sekali karena tiba-tiba aku meninju wajahnya dengan keras.Aku pun sampai kini masih heran, kenapa dari kemarin terus saja berhalusinasi yang aneh-aneh. Apa ini memang efek dari sakit yang tengah kurasakan.Aku terus terkapar di atas ranjang, karena tak sanggup rasanya beraktivitas dengan keadaan tubuh yang begitu sakit. Ditambah tadi malam aku tak bisa beristirahat dengan normal.Tok! Tok! Tok!Aku yang baru akan kembali memejamkan mata langsung terkejut kala mendengar suara ketukan di pintu kamar. Lagi-lagi aku merasa dejavu dengan kejadian tadi malam saat Ibu datang.Tapi ngomong-ngomong, siapa yang mengetuk pintu itu? Kalau Sutini sudah pasti ia langsung masuk saja tanpa mengetuknya."Siapa?" Tanyaku dengan perasaan mulai was-was."Imah, Pak."Aku menghela napas lega mendengar suara ART mudaku itu. Ternyata Imah sudah pulang. Pasti bapaknya malu sekali saat ini karena sudah menuduhku menculik Imah."M
Tubuhku membeku seketika saat hawa dingin dari tangan tersebut menjalar ke seluruh kulit tubuhku. Jangankan untuk berlari, untuk bergerak atau berteriak saja pun lidahku terasa kelu.Tubuhku langsung gemetaran hebat saat wajah Karin yang begitu pucat ikut muncul dari balik jendela. Wajahnya yang pucat terlihat begitu sendu."Kenapa Ibu tega sekali padaku, Yah?" Sosok Karin berucap begitu lirih penuh dengan kesedihan.Aku yang masih begitu syok dengan kehadirannya sama sekali tak bisa berkata apa-apa."Apa Ayah pun akan berpikir untuk mengorbankan aku jika tak dapat tumbal?" Tanya sosok Karin tersebut dengan nada begitu dingin.Aku langsung menggeleng keras karena masih tak mampu menjawab apapun."Dasar munafik!"Braaakk!Tangan pucat Karin yang tadi memegang lenganku kini beralih mendorong tubuhku dengan keras hingga aku terpental ke belakang menghantam tempat tidurnya.Bibirku melenguh merasakan sakit di tubuh yang kena hantaman. Aku yang jatuh tertelungkup di lantai dekat tempat tid