Aku terkejut mendengar perkataan Nyai Widuri. Jadi ternyata selama ini ada dendam percintaan di antara mereka."Nyai, itu sudah berlalu lama. Apa tak bisa Nyai melupakan masalah itu, dan membantu saya kali ini? Nyai wanita yang cantik, kaya, dan dihormati di kampung ini. Nyai tentu bisa mendapatkan yang lebih dari saya," ujar Bapak masih terus mengiba.Nyai Widuri langsung tertawa mendengar ucapan Bapak."Justru karena aku cantik dan kaya, aku jadi merasa terhina saat ada pria rendahan sepertimu menolakku. Apalagi alasannya hanya karena mencintai seorang wanita miskin.""Nyai, terserah Nyai mau menghina saya bagaimanapun. Yang penting saya begitu mengharapkan Nyai mau berbaik hati memberi upah saya yang sudah dua bulan belum Nyai berikan."Nyai Widuri kembali menatap Bapak yang masih bersimpuh di bawahnya dengan pandangan tajam."Kamu benar-benar bersikeras ternyata. Kalau begitu begini saja ... Saya akan memberikan uang upah kamu, bahkan akan saya tambahkan bonus juga. Tapi dengan sy
Bapak hanya tersenyum saja sembari menikmati dan membalas semua permainan Nyai Widuri.Saat Nyai Widuri mulai terhanyut dengan permainan Bapak, tanpa kusangka Bapak mengeluarkan sebilah keris yang ia sematkan di pinggang bagian belakangnya.Tanpa aba-aba secepat kilat Bapak menghunuskan keris tersebut ke leher Nyai Widuri. Seketika darah mengucur dengan deras dari leher wanita itu. Matanya membeliak lebar menatap Bapak, antara menahan sakit dan tak percaya.Bruuk!Bapak langsung bangkit dan membanting tubuh Nyai Widuri ke lantai."Kau kira aku tak tahu akan kelicikanmu, hah?" Ucap Bapak pongah menatap Nyai Widuri yang mulai sekarat. Bapak ternyata pintar. Ia menyerang tepat di titik vital Nyai Widuri, hingga membuat Nyai Widuri seketika sekarat.Tanpa memperdulikan Nyai Widuri lagi, Bapak lantas beranjak menuju lemari-lemari besar yang berjajar di ruangan tersebut. Satu persatu Bapak buka, dan setiap barang berharga yang ditemuinya ia masukkan ke sebuah kain panjang. Sayangnya Bapak
Esok paginya keluarga kecilku itu tiba di sebuah penginapan di tempat yang jauh dari desa asal mereka. Melihat mereka yang pergi meninggalkan kampung halaman itu aku jadi berpikir, bagaimana Ibu dan Bapak punya hubungan kekerabatan dengan keluarga Aswin. Padahal mereka adalah perantau di desa kami yang sekarang.Sepanjang malam Ibu tak berani banyak berkata-kata, karena setiap kali ia bertanya pada Bapak apa yang terjadi, Bapak akan membentak Ibu dengan keras."Mulai sekarang, kita akan tinggal di desa ini. Lupakan semua masa lalu kita di tempat yang lama," tegas Bapak."Tapi sebenarnya ada apa, Pak?""Kamu tak perlu tahu apa yang terjadi. Yang terpenting sekarang kita bisa hidup aman dan bahagia," ujar Bapak sembari membuka bungkusan kain yang selalu dibawanya.Mata Ibu terbelalak saat melihat isi dalam kain tersebut begitu banyak barang-barang berharga juga uang."Kamu dapat dari mana semua ini, Pak?" Selidik Ibu seraya meraih perhiasan milik Nyai Widuri.Bapak tak menjawab, hanya t
Aku membuka mata di ruangan yang begitu sederhana. Dinding-dindingnya hanya terbuat dari papan yang sebagian sudah keropos. Entah berapa lama aku pingsan, yang jelas aku langsung tak sadarkan diri saat Ki Kusumo memercikkan air dari kendi miliknya.Angin bertiup sepoi-sepoi dari luar membuat aku sontak melirik ke arah ventilasi yang berada di atas jendela kamar.Dahiku mengernyit saat menyadari ternyata hari sudah terang.Segera kusibak selimut hendak bangkit dari ranjang. Namun begitu selimut tersibak, aku dibuat terperangah karena kini kulit tubuhku sudah sembuh. Sama sekali tak ada luka bekas gigitan hewan berbisa seperti sebelumnya, bahkan setitik pun tak lagi tersisa bekas gigitannya. Benar-benar ajaib.Dengan penuh semangat aku bangkit dari ranjang hendak keluar dari kamar. Kuakui kini memang Ki Kusumo benar-benar sakti.Begitu keluar dari kamar aku disambut oleh suasana rumah yang begitu hening, seolah tak ada kehidupan."Ki ...." Aku berusaha memanggil sembari berkeliling ke r
POV SutiniHari sudah mulai gelap, namun Bang Sutar tak juga kunjung pulang. Sedari tadi aku terus mondar-mandir gelisah, karena harusnya sore ini Bang Sutar sudah pulang. Itu yang kutahu dari Dasiman, karena katanya dukun itu begitu sakti hingga tak perlu waktu lama untuk mengobati.Berulang kali pula aku berusaha menghubungi keduanya, namun tetap saja hasilnya nihil, tak ada satu pun panggilanku yang dapat terhubung ke nomor mereka."Bu, Bu Tini!" Aku tersentak saat mendengar panggilan dari pintu dapur. Dari suaranya sepertinya itu adalah pembantu yang mengurus Ibu Bang Sutar.Gegas aku meninggalkan warung dan menuju ke belakang."Ada apa, Rin?" Tanyaku begitu membuka pintu.Terlihat wajah Rindi begitu panik, bahkan ada jejak air mata di pipinya."Bu Asih, Bu ...!" Ujarnya dengan nada panik sembari menunjuk ke rumah mertuaku itu.Perasaan khawatir makin bertambah melihat sikap Rindi. Cepat-cepat aku mengikuti langkah Rindi yang membawaku menuju rumah Ibu Bang Sutar itu.Sampai di r
Masih POV Sutini."Polisi?""Iya, Bu."Dengan semangat aku bangkit dan berlalu ke depan dengan tergesa. Pasti mereka datang membawa kabar tentang Bang Sutar. "Iya, Pak. Bagaimana? Apa ada kabar tentang suami saya?" Aku langsung bertanya begitu berhadapan dengan polisi tersebut. Tak peduli walaupun polisi yang kini datang ke rumah bukanlah polisi yang biasa membantu pencarian Bang Sutar."Maksud Ibu apa ya? Kami ke sini karena mendapat perintah untuk menggeledah rumah Ibu."Tubuhku seketika menjadi lemas setelah mengetahui maksud kedatangan mereka."Menggeledah? Untuk apa? Memangnya ada masalah apa?""Apa Ibu kenal dengan gadis bernama Siti Khotimah?"Tubuhku makin berasa tak bertulang saat pria berseragam itu menyebutkan nama Imah. Siapa pula yang telah melaporkan kehilangan Imah pada polisi? Ah, makin banyak saja masalah yang datang kepadaku. Sepertinya kesialan mulai menimpaku kini. Bagaimana jika mereka mencurigaiku? Dan bagaimana jika mereka menemukan jasad Imah? Bisa-bisa aku d
Sraaak!Aaargh!Aku terkejut saat tiba-tiba Nenek muncul, lalu melempar tubuh Kak Airin yang kini tengah dirasuki oleh Nyai Surti itu dengan bubuk berwarna coklat kehijauan.Cengkraman makhluk tersebut di leher Bi Aini pun langsung terlepas.Nenek terlihat berdiri dengan gemetaran sembari berpegangan pada tongkatnya, terlihat ia seperti memaksakan diri berdiri. Sedangkan bibirnya dengan samar terlihat komat-kamit membaca sesuatu."Kau lagi?"Dengan penuh amarah, sosok tersebut menyerbu ke arah Nenek, hingga Nenek yang memang tak bisa berdiri tegak itu jatuh terjerembab ke tanah."Neekk!" Aku berteriak khawatir lalu lekas membaringkan Ibu yang masih tertidur itu di tanah.Secepat kilat aku berlari ke arah Nenek sebelum makhluk itu menyakiti Nenek."Sedari dulu kau terus mengacaukan semuanya. Harusnya kau mati sajaa!" Teriak makhluk itu penuh amarah seraya tangannya yang pucat itu hendak menyentuh Nenek.Namun secepat kilat kutangkis, lalu dengan keras membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an b
"Aku tak meminta yang macam-macam. Aku hanya ingin, jika semua ini berakhir, tolong kuburkan jasadku dengan layak."Aku terenyuh mendengar permintaan jin qorin Kak Airin itu. Rasa geram seketika menyeruak pada Ayah. Tak hanya tega membunuh, ia pun sampai hati melihat jasad anaknya digunakan oleh jin jahat.Aku pun menyetujui persyaratan darinya. Kami segera mengatur siasat bagaimana supaya bisa kabur dari rumah Ayah dan membawa Ibu kepada Kyai teman Ustadz Arif.Dari hasil pembicaraanku tadi malam bersama Bi Aini, ia ingin membawaku kabur dari tembok belakang. Ia punya pintu rahasia yang selama ini selalu menjadi aksesnya keluar masuk. Tadi malam ia hendak membawa kami kabur dari sana, tapi akhirnya harus gagal karena kemunculan Nyai Surti.Setelah mengatur siasat, sosok jin qorin Kak Airin itu pun bercerita bahwa sebenarnya Ibu berhalusinasi seperti itu bukan karena gangguan darinya atau korban-korban tumbal yang lain. Memang benar setelah meninggal jin-jin qorin korban tumbal Ayah b