POV MirandaEmpat bulan sudah aku menyandang status janda. Ya, aku bahagia meskipun tanpa pendamping hidup.Aku memutuskan untuk kembali ke rumah Papa dan tinggal bersama Mama dan Papa. Ya, Papa dan Mama sudah rujuk kembali dan sekarang kami tinggal bersama seperti dulu.Sekarang aku lebih fokus untuk membahagiakan orang tua, aku tidak lagi memikirkan soal pendamping hidup. Jika tuhan akan mempertemukanku lagi dengan seorang lelaki yang baik, maka dia akan datang sendiri. Begitu prinsipku. "Mir, apa kamu tidak mau membuka hati untuk Ahmad, Nak? Ahmad itu lelaki yang baik loh, dia itu beda dengan si Hanif mantan suamimu itu," ucap Mama saat kami sedang menyantap sarapan pagi."Mama sudah kenal lama dengan Ahmad. Dan Mama sudah tahu bibit, bebet dan bobotnya. Mama tahu kalau Ahmad itu menyukaimu. Dan Mama yakin kamu juga suka sama Ahmad, iya, kan?" Mama mulai menggodaku.Aku tidak menjawab pertanyaan Mama. Aku tahu kalau Mas Ahmad menyukaiku. Hanya saja ia belum pernah mengungkapkan ha
"Iya, Pa. Aku janji. Bila perlu sekarang juga aku akan menjatuhkan talak untuknya dan menyuruhnya pulang kampung," jawab Mas Hanif, terlihat bersemangat."Jadi begitu? Kamu tega menceraikannya? Istrimu itu 'kan sedang hamil, bukankah selama ini kamu menginginkan kehadiran seorang anak? Sekarang harapanmu akan terkabul karena sebentar lagi kamu akan punya anak. Terus apalagi yang kamu inginkan, Hanif?" Papa terus saja menginterogasi Mas Hanif. "Aku memang mendambakan kehadiran seorang anak, Pa. Tapi aku menginginkan keturunan dari rahim Mira, bukan dari rahim wanita lain." Mas Hanif memandangku sambil tersenyum manis padaku. Menjijikkan!"Oh, jadi begitu? Saya sengaja bertanya seperti itu untuk mencari tahu bagaimana kamu sebenarnya. Alias hanya menguji kamu saja, Hanif. Sekarang saya semakin tahu bagaimana sikap aslimu. Disaat istrimu itu tidak bisa menjadi seperti yang kamu harapkan, kamu ingin kembali pada Mira. Ternyata kamu itu seorang lelaki yang tidak tahu diri, ya! Syukurlah p
Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, aku terus menerus menghubungi ponsel Papa, namun sayangnya tetap tidak bisa. Nomor Papa sedang berada di luar jangkauan. Mungkin Papa sengaja menonaktifkan ponselnya karena tidak ingin terganggu, sebab beliau sedang ada pertemuan penting dengan rekan bisnisnya."Gimana, Mir? Om Lukman masih belum bisa dihubungi?" tanya Mas Ahmad, ia menatapku sekilas, lalu kembali fokus ke depan."Belum, Mas!" jawabku."Kamu tenang ya, berdoalah semoga Tante Diana baik-baik saja.""Iya, Mas. Tapi tolong laju mobilnya dipercepat. Aku takut terjadi sesuatu sama Mama." Air mata kembali mengalir, membasahi pipiku. Aku tidak bisa membayangkan sesuatu yang buruk terjadi pada Mama."Mira, Mas minta tenangkan dirimu. Mas sudah berusaha. Jalanan cukup ramai, jadi kamu harus sabar ya. Insya Allah Tante Diana akan baik-baik saja. Pasrahkan semuanya kepada Allah karena beliaulah pemilik kehidupan."Seandainya aku punya sayap, aku akan terbang agar secepatnya tiba di rumah
Sambil menunggu surat persetujuan dari dokter, aku mencoba menelepon Mas Ahmad untuk menanyakan jenis golongan darahnya. Siapa tahu Mas Ahmad bisa membantu."Assalamualaikum, Mira, ada apa?" tanya Mas Ahmad di seberang telepon."Gimana, Mas? Mas sekarang ada di mana?""Mas baru saja pulang dari kantor polisi, Mir. Mas belum mendapatkan bukti apapun. Tempat ini jauh dari pemukiman warga, sehingga tidak ada yang bisa dimintai keterangan. Tapi kamu tenang saja, Mas sudah melaporkan kasus ini ke kantor polisi. Oh ya, gimana dengan Tante Diana, sudah siuman?""Belum, Mas. Ternyata Mama kehilangan banyak darah dan stok di rumah sakit ini sedang kosong. Golongan darah Mas apa? Apa Mas bisa membantu?""Tanpa kamu minta pun, Mas akan membantu dengan senang hati. Golongan darah Mas B, apakah sama dengan golongan darah Tante Diana?"Aku semakin lemas mendengar jawabannya. "Golongan darah Mama A, Mas.""Maaf, Mir, Mas tidak bisa membantu.""Enggak apa-apa, Mas. Udah dulu ya! Aku sekarang mau ke
"Mbak, jawab aku." Aku mendesak Mbak Nuni karena ia tak juga menjawab pertanyaanku."Darimana, Mbak?" Aku kembali bertanya."Sebentar ya, Mir, Mbak ngangkat telepon dulu." Mbak Nuni pun meninggalkanku sendirian.Aneh, padahal aku tidak mendengar ponselnya berbunyi. Sepertinya ada yang ditutupi Mbak Nuni dariku. ***Aku membuka pintu ruangan tempat Sofia dirawat. Wanita itu sedang terbaring lemah di atas brankar. Kondisinya sempat drop, tapi Alhamdulillah sekarang sudah stabil."Mbak Mira," lirihnya begitu melihat kedatanganku. Ia menyunggingkan senyum padaku.Aku mendekat, lalu duduk di atas kursi yang ada di sampingnya."Sofia, aku mau berterima kasih karena kamu sudah menyelamatkan nyawa mamaku. Dokter bilang kondisi mamaku sudah stabil setelah menerima transfusi darah darimu. Tinggal menunggu beliau siuman.""Aku senang mendengarnya, Mbak. Tapi Mbak tidak perlu mengucapkan terima kasih. Aku ikhlas, Mbak.""Sofia, kenapa kamu begitu nekat? Bahkan kamu tidak memikirkan keselamatanmu
"Mira, Mama kamu sudah siuman. Dari tadi manggil-manggil nama kamu terus, buruan temui mamamu ya," ucap Mbak Nuni begitu aku tiba di depan ruang rawatnya Mama. Beliau ternyata belum pulang dan masih menunggu di sambil mengelus-elus kepala Vino yang sedang tertidur di pangkuannya."Iya, Mbak. Mbak belum pulang?" "Mbak nunggu Sofia. Kalau Sofia udah baikan, baru kami pulang.""Yasudah, aku ke dalam dulu ya, Mbak."Mbak Nuni pun mengangguk.Setibanya di dalam, aku segera memeluk Mama dan mencium tangannya."Alhamdulillah, syukurlah Mama sudah siuman. Aku enggak bisa membayangkan jika terjadi sesuatu sama Mama. Aku sayang Mama, tolong jangan pernah pergi kemanapun tanpa memberitahu aku ya, Ma. Aku tidak mau terjadi hal buruk lagi pada Mama.""Iya, Sayang, Mama janji.""Bagaimana keadaan Mama? Mana yang sakit Ma?"Mama memegangi bagian perutnya yang terkena tusukan. Aku tahu pasti rasanya sakit sekali. Syukurlah lukanya tidak terlalu dalam sehingga Mama masih bisa selamat."Oh ya, Ma, apa
Tiba-tiba saja, pintu didorong dengan kasar. Wajah Mas Ahmad terlihat panik."Mira, ayo ikut Mas. Sofia mengalami pendarahan. Ada seseorang yang menyelinap ke kamarnya, dia dianiaya dan sekarang kondisinya kritis!""Apa?" Aku kaget sekaligus shock mendengarnya."Mas serius? Mas tidak sedang bercanda, kan?" "Apa wajah Mas terlihat sedang berbohong, Mira?"Aku masih belum yakin, pasalnya baru setengah jam yang lalu aku menjenguknya dan ngobrol panjang lebar dengannya.""Darimana kamu mengetahui hal itu, Mas?" "Barusan ada suster mencari keluarganya Sofia sekaligus memberitahu bagaimana kondisinya.""Mira, sebaiknya kamu pergi sama Nak Ahmad, biar Papa yang menjaga mamamu. Dan kamu juga Zamila, sebaiknya kamu ikut dengan Mira. Menantumu sedang membutuhkanmu, lebih baik kamu lihat kondisinya, sana!" Papa mengusir ibunya Mas Hanif."Jadi kamu mengusirku, Mas?" Ibunya Mas Hanif terlihat tidak terima."Iya, karena aku sudah muak melihat wajahmu itu. Pergi sana," ucap Papa dengan tegas."Mi
Aku jadi curiga pada Mas Hanif. Seharusnya ia tidak perlu marah kalau bukan dirinya pelakunya. Sepertinya semua ini ada kaitannya dengan Mas Hanif."Hentikan omong kosongmu itu, Mbak! Jangan Mbak pikir aku tidak berani berbuat kasar. Aku diam bukan berarti takut padamu, Mbak. Aku masih menghargaimu sebagai kakakku. Jika tidak, sudah lama aku membungkam mulutmu itu, Mbak." Tangan Mas Hanif mengepal, wajahnya merah padam menahan amarah. Tatapan matanya tajam, seperti tatapan singa yang siap menerkam mangsanya."Kamu dengar itu, Nuni? Jangan kamu pikir Hanif takut padamu. Hanif bisa berbuat nekat jika dia sudah kehilangan kesabaran. Jadi, stop berbicara yang tidak penting karena itu akan membahayakan dirimu sendiri." Ibunya Mas Hanif malah membenarkan kelakuan anak kesayangannya itu. Sungguh miris!"Kalian ingin mencelakai aku juga? Silakan, aku tidak takut!" Mbak Nuni malah menantang Ibu dan adiknya.Apa maksud ucapan Mbak Nuni ya? Apa jangan-jangan memang benar bahwa Mas Hanif lah yang