Malam itu, Lintang benar-benar tidak kembali ke kamar Raga. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan lebih, tetapi istrinya belum juga kembali dari kamar Rama. Setelah ini, Raga berjanji tidak akan lagi membuat sang istri cemburu seperti siang tadi. Karena Raga sendirilah, yang akan terkena imbasnya seperti sekarang. Berada di kamar seorang diri, padahal mereka sedang menikmati indahnya masa-masa pengantin baru.Tidak betah dengan kesendiriannya, Raga beranjak keluar kamar dan segera menuju ke kamar Rama. Membuka pintunya, dan melihat sang istri sudah tertidur lelap dengan memeluk putranya.Kalau sudah begini, jalan satu-satunya adalah mengangkat Lintang, dan memindahkannya ke kamar Raga.Dengan amat perlahan, Raga mengangkat tangan Lintang yang berada di atas tubuh Rama. Setelah memastikan Lintang masih terlelap nyenyak, Raga membawa tubuh itu dengan sangat hati-hati. Menggendong Lintang keluar kamar, dan meletakkan sang istri dengan perlahan di tempat tidurnya.Setelah itu, Raga
Menjadi istri Raga ternyata sangat melelahkan. Belum lagi, Lintang juga harus bekerja di siang harinya, dan beredar di lapangan. Firasat Lintang mengatakan, Raga memang sengaja membuat Lintang lelah, agar ia menyerah. Mengundurkan diri dari perusahaan dan menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Mencari ruko untuk membuat toko buku, rasanya hanya alibi dari Raga. Karena Raga pasti tetap menginginkan Lintang berada di rumah. Alhasil, toko bukunya nanti pasti akan dikelola oleh orang lain. Semakin mengenal Raga, Lintang jadi tahu bagaimana liciknya pria itu dalam membuat rencana. Selalu detail, penuh perhitungan dan membawa keberhasilan. “Mama,” panggil Rama tanpa melihat Lintang, dan sibuk mewarnai gambar mobil-mobilan di bukunya.“Ya?” Sementara Lintang, sibuk dengan laptop di depannya. Mereka berdua dengan kompak bertelungkup di karpet, dan sibuk dengan kegiatannya masing-masing.“Tadi sore, motor tante Intan nggak bisa nyala waktu mau pulang,” adu Rama tiba-tiba mengingat kejadian sor
“Pokoknya, akhir bulan ini kita pindah.” Segala cara sudah Raga coba untuk membujuk Lintang, tetapi istrinya itu masih saja bersikeras dengan keinginannya. Lintang masih ingin tinggal di kediaman Sailendra, dan tidak ingin pergi ke mana pun. “Syukuran rumah baru, sekalian kita undang teman-temanmu supaya mereka tahu, kamu itu sudah punya suami.” Sambil mengusap rambut basahnya yang panjang dengan handuk, Lintang menghampiri Raga yang masih berbaring di tempat tidur. Rencananya, Lintang akan memangkas rambut panjangnya itu dalam waktu dekat. Lelah rasanya jika harus keramas hampir setiap hari, karena ulah sang suami. Tidak lama lagi, mungkin Lintang akan masuk angin karena terus-terusan keramas seperti sekarang. “Mas—” “Aku nggak terima bantahan lagi.” Meskipun belum mendapatkan rumah yang cocok, tetapi niat Raga untuk pindah sudah bulat. Ia tidak akan lagi menerima protes dari Lintang, karena Raga ingin segera tinggal bertiga saja dengan keluarga kecilnya. “Hm, habis manis, egony
“Nggak usah merengut terus.” Raga mencapit bibir Lintang yang terus saja maju, ketika menginjakkan kaki di rumah baru mereka. “Coba lihat Rama, dia nggak pernah protes kalau aku ajak pindah rumah. Selalu hepi.” Lintang menepis tangan Raga, dengan pukulan yang sedikit keras. Kemudian, ia kembali menyantap keripik singkongnya. “Jangan samain aku sama Rama.” Lintang mencebikkan bibir ke arah Rama, yang sibuk mengendarai mobil-mobilan listrik yang baru saja dibelikan Raga. Bocah itu sibuk mengelilingi ruang tengah, yang sengaja tidak dipenuhi dengan furniture apa pun. “Dia disogok mobil-mobilan juga sudah nurut.” Raga mencomot sebuah keripik singkong dari tangan Lintang, yang duduk satu anak tangga di atasnya. “Memangnya, kamu mau disogok apa?” “Kadang, aku, tuh, heran sama Mas Raga.” Lintang terus saja memakan keripiknya tanpa jeda. “Dulu, jahaat banget sama ak—” “Kenapa itu lagi, itu lagi yang dibahas?” putus Raga kembali mengambil keripik singkong milik Lintang. “Kenapa harus ngom
Raga bersiul panjang, saat baru memasuki kamar. Segera menutup pintu, lalu menguncinya. “Ngapain dikunci!” Lintang menghardik, dan melebarkan bola matanya. “Jangan macam-macam, aku sudah dandan maksimal dan nggak bol—”“Sssttt.” Raga yang baru menghabiskan jarak, segera meletakkan telunjuk di bibir berlapis lipstick warna peach itu. “Aku cuma mau meluk.”Selanjutnya, Raga benar-benar merengkuh tubuh Lintang ke dalam pelukannya. Setelan kebaya modern berwarna hitam yang dikenakan Lintang malam ini, sungguh membuat penampilan istrinya itu semakin sempurna. “Nanti, pulang dari rumah pak Anwar, jangan dibuka dulu kebayanya,” pinta Raga masih memeluk sang istri. “Biar aku yang buka. Hitung-hitung, ngulang malam pertama.”Lintang hanya pasrah, dengan memajukan bibir di pelukan Raga. “Berasa buka kebaya pengantin gitu, ya?” Raga terkekeh, dan semakin mengeratkan pelukannya. Banyak sekali penyesalan, karena pernah memperlakukan Lintang secara buruk di masa lalu. Untuk itulah, Raga berusaha
“Mas …” Lintang mencebik saat baru keluar dari kamar mandi. Ia menghampiri Raga yang sudah mapan di tempat tidur, lalu merebahkan diri di atas tubuh sang suami. “Adeknya Rama nggak jadi lagi.” Raga tidak langsung merespons. Ia berpikir sebentar, lalu menghela sama. Tamu bulanan istrinya pasti kembali datang, karena itulah Lintang mendadak menjadi sendu. “Sayang.” Harus berapa kali Raga katakan, ia tidak pernah menuntut apa pun pada Lintang. Ada anak atau tidak, semua adalah otoritas dari Yang Kuasa. “Nggak usah terlalu dipikirkan. Sudah aku bilang—” “Mas Raga itu nggak tahu rasanya jadi cewek.” Lintang bangkit dari tubuh Raga, lalu menggeser posisinya ke samping pria itu. Ia menarik selimut, sembari berbaring lalu memunggungi sang suami. “Mas juga mana ngerti rasanya jadi istri.” “Dan kamu juga nggak tahu rasanya jadi suami. Kamu nggak—” “Mas!” Lintang berbalik cepat dan mendelik pada Raga. “Kamu itu—” “Aku masih mau pacaran, Sayang,” putus Raga terburu, sebelum Lintang berceram
“Dingin, ya.” Karena mereka sampai di tujuan hampir menjelang malam, maka Lintang merasakan perbedaan suhu yang sangat berbeda. Dari Jakarta dan Surabaya yang panas, akhirnya mereka berdua sampai di daerah yang membuat Lintang harus mengancing jaketnya rapat-rapat.“Justru asyik, kan.” Raga mengerling lalu merangkul Lintang, setelah menyelesaikan beberapa hal di resepsionis. Mereka kembali keluar gedung hotel, lalu menaiki buggy car untuk menuju ke tempat selanjutnya.“Asyik gimana?” Lintang berdecak, lalu menyikut perut Raga karena tahu ke mana arah pikiran suaminya itu. “Aku bisa flu kalau begini. Untung cuma sehari, dua malam.”“Siapa bilang?” Raga terkekeh, dan kembali memberi kerlingan pada sang istri. Akhirnya, rencana bulan madu bersama Lintang terwujud sudah. Kenapa tidak dari kemarin-kemarin saja, Raga berbohong pada Lintang. “Kita pulang hari minggu.”“MINGGU!”“Ssstt.” Raga merapatkan tubuh Lintang yang duduk di sebelahnya. “Kita itu lagi jalan ke villa.”“Villa? Kita ngina
Lagi, Raga mendengar istrinya itu bersin untuk yang kesekian kali. Dari bangun tidur subuh tadi, sampai matahari sudah menampakkan sinarnya, Lintang masih saja bersin-bersin. Raga sudah memesan teh hangat, susu hangat, jahe hangat, dan makanan berkuah yang harus masih panas, ketika sampai di villa mereka. Namun, tetap saja istrinya itu bersin-bersin dan enggan beranjak dari tempat tidur.“Ayo ke dokter, atau titip beli obat di—““Aku nggak sakit,” sela Lintang merasa tubuhnya baik-baik saja. Bahkan, selera makannya juga meningkat dua kali lipat dari biasanya. Pagi ini saja, Lintang sampai meminta jatah soto Raga untuk dihabiskan. “Kayaknya, aku alergi dingin.”“Tapi tadi malam nggak papa.”“Nah! Semalam itu kayaknya yang jadi penyebabnya.” Lintang menarik selimutnya lebih rapat lagi, sampai menutup seluruh leher. Kemudian, ia kembali bersin dan meraih tisu yang sudah disediakan di atas bantal di sebelahnya.“Semalam kenapa?” Raga mengalihkan tatapannya dari televisi layar datar, untuk