“Em, aku permisi dulu ya, Mbak Fatki, Mbak Santi, sudah sore nanti takut dicariin Ibu,” pamitnya lalu buru-buru pergi.Aku dan Susanti saling pandang saja kemudian makan sampai habis tanpa bicara sepatah kata pun.“Itu Mas Fawas otaknya lagi konslet kali ya, Mbak. Kelakuannya aneh gitu” tebak Susanti. Kami sedang mengawasi pemasangan kipas angin.“Sepertinya iya, aku juga jadi bingung sendiri,” jawabku asal.“Tapi, lumayan sih, Mbak, kita jadi makan gratis. Uang kita utuh. Ha ha ....”Ya ampun dasar Susanti. Bikin malu aja untung orangnya sudah tidak ada.“Mbak, Mbak ... cantik-cantik kok, ketawanya kayak genderowo,” tegur Mas-mas yang sedang masang kipas.“Biarin ah, berisik!” jawab Susanti sewot, tapi sejurus kemudian dia lari ke ruang ganti yang kami sekat pakai gorden.“Mbak, emang aku cantik, ya?” tanya Susanti seraya mengamati wajahnya. Aku mengiyakan. Memang Susanti cantik kok, wajahnya mirip artis Lesti Kejora.“Em, maaciiihh ... baru dua orang yang bilang aku cantik selain Em
“Fatki, jangan kurang ajar sama ibuku!” hardik mas Arman. “Kurang ajar? Sepertinya otakmu dengan otak ibu sudah sama-sama konslet jadi tidak bisa membedakan mana yang kurang ajar dan mana yang tidak,” jawabku santai dan itu sukses membuat Mas Arman kesal. Ditariknya tanganku hingga ke luar dari ruangan ibu. “Jangan buat malu, ya, Dik, kalau tidak mau bantu bayar biaya rumah sakit ibu ya sudah tidak apa-apa, tapi jangan permalukan ibuku di depan banyak orang. Aku masih mampu kalau hanya bayar biaya rawat ibuku,” ucap Mas Arman jumawa. “Oh, iya? Syukurlah kalau begitu. Permisi!” Aku pulang dengan perasaan lega. Mas Arman dan ibu setelah pulang dari rumah sakit pasti akan lebih syok, karena rumah kosong melompong. Ya semua perabot yang ada di rumah akan aku angkut ke ruko termasuk TV 42” yang aku beli 5 bulan yang lalu. “Susanti malam ini tidur di rumahh Mbak, bisa? Mbak butuh bantuanu untuk packing barang-brang yang akan kita bawa ke ruko,” tanyaku pada Susanti. “Bisa, Mbak. A
“Ha ha ... kamu tahu aja, San, tapi tenang aja aku bawa kunci serep kok, jadi aman. Lagi pula sepertinya Mas Arman tidur di rumah sakit sama Bapak. Mungkin yang di rumah Reni sama Intan,” jawabku.Kulirik jam tanganku, ternyata sudah jam 10 malam. Pantas saja sudah lumayan sepi.Setelah belokan lapangan adalah rumahku. Aku dan Susanti memang tetanggaan, tapi tetangga jauh dan rumah Susanti sudah tidak masuk blok perumahan yang aku tempati.“Nah, kan, Mbak, itu rumah Mbak lampunya enggak dinyalain. Apa memang enggak ada orang?”“Sepertinya begitu, San. Pada minep di ruang sakit semua.”Kubuka pintu rumah, tapi di ruang tamu ada moto sports sepertinya aku kenal ini motor milik siapa.“Mbak, ini kan, motor bocah culun itu. Ternyata dia minep di sini, Mbak. Wah, enggak bener ini! Pasti mereka lagi main kuda-kudaan,” ujar Susanti lagi.Kami masuk ke ruang tengah yang gelap. Kubuka kamar Reni, ada dia sudah tidur pulas. Lalu pindah ke kamar Intan. Dikunci, tapi tidak ada suara apa pun. Aku
“Aku enggak tahu sumpah! Tapi, wajar aja lah, Fatki. Mereka kan, pacaran sudah gitu saling suka. Anak muda zaman sekarang udah biasa begitu. Banyak loh, di luar sana yang justru sewa hotel. Makanya gaul, biar tahu!” jawab Reni.Aku dan Susanti seperti dikomando menoyor kepala Reni berbarengan.“Otak, dipakai. Sudah sana Tan, ambil motor pacarmu di rumah Pak RT, ajak sekalian itu pacarmu enggak usah takut palingan juga dinikahin,” ucapku.“Enggak mau! Pokoknya Mbak Fatki yang ambil, titik!” teriak Intan dia panik dan ketakutan.“Ogah, ambil aja sendiri.”“Assalamu’alikum ....”“Nah, itu dia Pak RT datang!” pekik Susanti. Intan makin panik.Brug!Pacar Intan jatuh pingsan.“Ya elah ini cowok benar-benar enggak berbobot. Tidak berani menghadapi kenyataan. Baru ketemu Pak RT saja sudah pingsan apa lagi ketemu bulian orang sejagat raya. Untung aku sudah putus denganmu,” ucap Susanti.~K~U 🌸🌸🌸Intan akhirnya disusul oleh Citra dan abang-abangnya. Setelah sebelumnya kami susah sekali mem
Bantu follow akunku ya, Guys. Wajib like dan komentar biar aku semangat update 💕Happy reading ❤️🌸🌸🌸“Mbak, bangun, sudah jam 7!” teriak Susanti.Aku tersentak kaget langsung mengingat-ingat apakah tadi sudah salat subuh atau belum.“Mbak, sadar! Buruan ayok, turun!” ucap Susanti lagi.Otakku masih ngebleng kupejamkan mata. Alhamdulillah ... aku tadi sudah salat subuh dan ketiduran lagi saat membereskan bajuku ke dalam kardus dan koper.“Kamu juga baru bangun, San?” tanyaku.“Mbak pikir? Lihat saja aku masih awut-awutan gini ya, berarti aku belum mandi, dan berati aku juga baru bangun!” jawab Susanti sambil menyisir rambutnya yang panjang dan lurus.“Ya, sudah gegas sana kamu mandi aku bereskan kasur dulu,” titahku.“Enggak mau, ah, aku malu. Tadi aku buka pintu mereka semua sedang sarapan.” Tumben ini anak tahu malu. Biasanya juga malu-maluin.“Ayok, Mbak juga mau mandi!" ajakku.Kami ke luar kamar. Di meja makan sudah ada Mas Arman, Intan, dan juga Reni.Tunggu dulu, itu kenapa
“Arman, dengar kamu! Ibu tidak mau menunggu lama-lama. Hari ini Ibu mau kocokan arisan. Ibu harus datang kalau tidak nanti enggak dapat jika nama Ibu yang keluar!” Mas Arman kesal, dia langsung mematikan telepon.“Minta saja ke Bapak, kan, Ibu istrinya Bapak pasti diusahakan ada. Kalau tidak ada ya, harus ada. Orang untuk kawin lagi aja ada masa untuk nebus istri di rumah sakit enggak ada,” kataku lagi.“Enggak usah ngajarin aku!” bentak Mas Arman.“Enggak Bapak, enggak anak sama saja tukang kawin. Miskin, tapi belagu,” sindirku.Mas Arman dan Intan diam saja.Selesai sarapan aku gegas mandi dan Reni membereskan cucian piring, tapi hanya bekas kami saja. Aku yang menyuruhnya. Biar orang-orang di rumah ini tidak seenaknya sendiri dan tidak jorok.“Enggak mau, Mas! Aku sudah kasih uang ibumu setiap gajian kok, ini minta lagi. Ini perhiasan juga bukan dari kamu. Aku beli sendiri pakai uangku sendiri, jadi siapa pun tidak ada yang boleh ganggu gugat.”Itu Reni pasti sedang dirayu untuk j
Ada juga yang bilang gimana enggak bawa aura positif orang Susanti dekil gitu si Fino kali geli mau cium sama peluk Susanti. Parahnya yang ngomong itu adalah teman-teman perempuan Susanti. Di manalah hati mereka, sesama perempuan kok, menghujat.Anak ABG zaman sekarang mulut dulu yang digedein otak enggak dipake buat mikir. Pantas saja Susanti tanya seperti itu padaku.“Mereka itu enggak punya attitude yang baik, San. Jadi, enggak usah juga kamu ambil hati,” kataku menanggapi ocehan teman-teman Susanti di grup itu.“Tapi, Mbak, yang dibicarakan mereka bener, kan?” Susanti jadi murung. Kalau dia sudah murung gini kerjaan bisa gawat. Mood seseorang sangat memengaruhi kinerja otaknya.“Salah. Kalau kata Mbak salah.”“Mbak Fatki, bilang seperti itu pasti karena tidak enak padaku, pasti karena kasihan padaku.”“Salah, kamu salah. Memang kamu tidak bisa membedakan mana yang tulus dan mana yang modus. Tatap mata Mbak, apa Mbak berbohong? San, kalau dunia ini menjadikan yang good looking seg
Assalamualaikum selamat pagi semua bantu follow akunku ya, wajib tinggalkan jejak like dan komentar. Happy reading 💕POV ARMAN.“Arman, kamu tahu gadis yang tjnggal di kos-kosan Haji Rusdi?”“I—ya tahu, Bu, ke—napa?” kataku balik tanya. Apa ibu tahu hubunganku dengan gadis itu. Bisa gawat kalau sampai ibu mengadukannya pada Fatki. Apalagi Fatki sedang hamil muda.“Sejak kapan kamu ada hubungan dengan dia?” cecar ibu. Kalu sudah begini mengelak pun tidak mungkin.“Ibu ngomong apa, sih? Aku tidak ada hubungan apa pun sama dia kok,” elaku.“Kamu itu sudah berani bohong sama ibumu? Ibu itu hampiroir tiap hari lihat kamu ngantar kerja itu cewek. Apa perlu bukti juga?” Tuh, kan, belum apa-apa ibu sudah marah padaku.“Cepat bilang sudah berapa lama?!” bentak ibu.“Bu, jangan kuat-kuat suaranya nanti kedengaran Fatki,” pintaku penuh harap.“Apa kamu tidak mikir, Man, siapa gadis itu? Kerjanya saja di tempat karaoke begitu nemenin om-om laki-laki hidung belang? Mau ditaruh mana muka ibumu ini