Apa ini, Bang?" tanyaku seraya berjalan menghampiri remaja yang beberapa hari lagi usianya genap delapan belas tahun itu, menatap bekas luka yang sudah mulai sembuh kemudian menatap wajah Azriel menuntut jawaban sebenar-benarnya.
"Ini juga perbuatan Pak Haris. Dia menikam saya hanya gara-gara menegur pelakornya!" ungkap si sulung membuat diri ini menggeleng tidak percaya.Mas Haris tega berbuat sekejam itu kepada anak kandungnya?Astaghfirullahaladzim...Aku benar-benar tidak menyangka, hanya karena cinta sesaat dia bisa berbuat seperti itu.Azriel itu darah dagingnya. Orang yang seharusnya mati-matian dilindungi, ini malah berusaha dilenyapkan hanya karena membela orang yang baru dikenal. Keterlaluan.Aku tidak bisa memaafkan kesalahan Mas Haris yang satu ini. Keyakinanku untuk mengakhiri pernikahan kami semakin mantap melihat bukti yang terpampang di depan mata."Azriel, tolong maafin Papa. Papa melakukan itu tanpa seLamat-lamat terdengar suara sang muazin mengumandangkan shalawat tarkhim di masjid terdekat. Aku segera turun dari tempat tidur, mengayunkan kaki menuju kamar mandi lalu membasuh tubuh dan membangunkan Azriel untuk melaksanakan ibadah wajib dua rakaat di masjid terdekat, supaya dia terbiasa melakukan shalat berjamaah dan tidak bermalas-malasan untuk melakukan ibadah.Belum juga aku mengangkat tangan mengetuk pintu biliknya, Azriel sudah terlebih dahulu keluar mengenakan sarung serta koko lengan pendek berwarna hitam, persis seperti yang dikenakan Mas Haris ketika terakhir berada di rumah ini dan mau melakukan ibadah wajib.Tertegun aku memandang wajahnya yang sama persis seperti sang ayah. Bagai pinang dibelah dua, hampir mirip menyerupai Mas Haris."Kenapa Mama liatin Abang terus? Abang ganteng ya?" selorohnya membuat aku tertawa, akan tetapi entah mengapa sudut netra malah memburaikan air mata."Ganteng, tampan dan soleh. Mama bangga sama Abang.
Aku segera turun dari mobil, sementara Azriel memarkirkan kendaraan roda empat milikku di halaman rumah tetangga sesuai instruksi hansip yang berjaga di depan rumah Ibu.Dengan langkah gontai kuayunkan kaki masuk ke dalam, mengucapkan salam dan lekas menghampiri Ibu yang sedang duduk di dekat jenazah Bapak dan langsung menghambur memeluk tubuh Ibu sambil menangis tersedu."Maafin semua kesalahan Bapak ya, Ambar. Karena selama ini kami sudah sering merepotkan kamu, bahkan kami gagal mendidik Haris sampai-sampai dia menyakiti kamu seperti ini," ucap Ibu di sela isak tangis, sambil terus mengusap punggung ini dengan penuh kasih dan sayang."Bapak tidak pernah memiliki kesalahan apa-apa sama Ambar, Bu. Bapak itu sosok panutan buat Ambar, ayah yang selalu ada buat Ambar juga karena dukungan dari Bapak lah Ambar bisa berdiri tegak hingga saat ini. Soal kesalahan Mas Haris, itu murni kesalahan mantan suami Ambar, bukan kesalahan Bapak ataupun Ibu.""Terima kasih, ya, Sayang.""Sama-sama, Bu.
Aku menghela napas berat. Sebenarnya betul juga apa kata Ibu. Mungkin karena akhir-akhir ini Mas Haris terlalu sering mengabaikanku yang selalu mengingatkan untuk melakukan ibadah wajib serta sunah, dan malah mengatai aku cerewet karena sering menanyakan apakah dia sudah shalat atau belum setiap waktunya."Kamu juga jangan terlalu sering melamun, ya, Nak. Nggak bagus. Takut ada syaitan yang menggunakan kesempatan itu untuk mengganggu kamu," pesannya kemudian dan aku jawab dengan anggukan.Kami pun mengakhiri obrolan karena azan ashar sudah berkumandang. ***"Ambar, hari ini ada acara haul almarhumah istrinya Gus Fauzan. Ibu boleh minta tolong anter kue ke pesantren? Soalnya Ibu nggak mungkin pergi ke sana, karena Ibu sedang menjalani masa iddah," titah Ibu dengan intonasi sangat lembut."Iya, Bu. Mana kue yang mau di antar?"Ibu menunjuk beberapa kotak kue yang tergeletak di atas meja. Aku segera memanggil Azriel, memi
Setelah dua orang debt kolektor itu meninggalkan ruangan, aku segera keluar, berniat ke dealer mobil menjual kendaraan satu-satunya yang masih aku miliki. Niatnya uang penjualan mobil itu akan kupakai untuk membayar hutang. Mau menjual apartemen, surat-suratnya masih berada di tangan Devi dan aku tidak tahu perempuan setan itu ada di mana saat ini. Apakah dia sudah tiada, atau masih hidup dan sedang menari-nari di atas lukaku aku tidak tahu. Yang pasti aku sudah meminta pihak dealer untuk menarik mobil sedan yang aku belikan saat terakhir kami bersama, dan soal kabar orangnya aku tidak tahu, karena dia menghilang begitu saja bagai ditelan bumi."Pak!" panggil Safia dan Patrick ketika aku melintas di hadapan mereka.Aku menghentikan langkah, menoleh ke arah kedua karyawan yang masih tersisa, menatap tajam wajah mereka sekaligus ingin tahu apa yang hendak mereka sampaikan."Ada apa?" tanyaku karena bukannya mereka berbicara, tetapi malah saling sik
"Ba--bapak? Kata siapa Bapak sudah meninggal, Mas?" tanyaku dengan suara tergagap sekaligus syok luar biasa."Kemarin saya sekeluarga pulang kampung dan ketemu Azriel sama Mbak Ambar di pesantren, dan mereka bilang kalau Bapak sudah meninggal. Kami sekeluarga juga sempat mampir ngucapin belasungkawa sebelum balik ke Jakarta, karena kebetulan kami pulang juga rombongan dengan Mbak Ambar dan anak-anaknya!" terang Mas Salim kemudian.Aku mengepal tangan di samping tubuh. Teganya mereka menyembunyikan kabar duka seperti ini dariku. Baik Ibu, Ambar juga yang lainnya, kenapa tidak ada yang mau mengabari. Memangnya selama ini aku dianggap apa?"Memangnya Mas Haris tidak tahu kalau Bapak sudah wafat?""Tidak ada yang mengabari saya, Mas. Entahlah. Mungkin mereka sudah tidak menganggap saya atau bagaimana, saya tidak tahu.""Mungkin nggak sempat, Mas. Namanya orang lagi kena musibah kan, terkadang suka lupa dengan orang-or
Aku mencebik bibir."Lilik heran sama kamu, Ris. Sifat kamu itu berubah seratus delapan puluh derajat semenjak menjalin hubungan dengan Devi. Sepertinya kamu harus segera diruqyah, karena sepertinya masih ada aura negatif yang menempel di tubuh kamu. Banyak syaitan yang mengikuti dan menetap di jiwa kamu, mungkin karena pengaruh gendam yang Devi berikan. Sepertinya jiwa kamu harus segera dibersihkan, Haris!""Sudahlah, Lik. Nggak usah mengada-ada. Saya capek, mau istirahat dulu!" Mengayunkan kaki lebar-lebar masuk ke dalam kamar, menghempaskan bobot secara kasar di atas petiduran kemudian segera memejamkan mata menjemput lelap serta mengistirahatkan badan.***Samar-samar terdengar suara berisik orang-orang sedang bercengkrama di ruang tengah. Aku lekas membuka mata, melihat jam di pojok kiri layar ponsel dan ternyata sudah pukul enam pagi.Ah, jam segini suasana di rumah sudah berisik sekali seperti di pasar. Apa
POV Author.Pagi-pagi sekali, selepas subuh seperti biasa Sarni mengikuti kajian di masjid komplek tempat tinggal kakaknya. Kebetulan hari ini pengisi tausiyahnya adalah Gus Fauzan, seorang ulama yang terkenal dermawan juga bisa mengobati penyakit yang berhubungan dengan ilmu hitam.Karena merasa khawatir kepada sang keponakan, Sarni menghampiri guru ngajinya itu setelah dia selesai mengisi tausiyah, menceritakan semua yang menimpa juga keanehan yang ditunjukkan oleh Haris kepada sang kyai dan meminta Guz Fauzan untuk membantu menyembuhkan kemenakannya tersebut."Soalnya setahu saya Haris itu orangnya lemah lembut, sopan, baik, dan tidak pernah berbicara dengan nada meninggi kepada orang yang usianya lebih tua dari dia. Tetapi setelah terkena pengaruh gendam, terlihat sekali banyak perubahan yang dia tunjukkan, Gus. Masuk rumah saja nggak mau mengucapkan salam. Sama saya juga berani membentak!" beber Sarni setelah menceritakan semua yang terjadi.
Mata Gus Fauzan terus terpantik ke wajah Haris yang sudah sembab serta kuyu, membiarkan pria di hadapannya terus menangis dan mengingat segala kesalahan yang telah diperbuat oleh olehnya."Bertaubatlah sebelum semuanya terlambat, Mas Haris," ujarnya kemudian, setelah sekian lama terdiam memandangi pasiennya."Apakah Allah masih mau mengampuni dosa saya, Gus? Saya sudah sering berzina. Saya juga sudah menjadi orang tua durhaka, bahkan pernah hampir melecehkan Ambar, padahal saya sudah menjatuhkan talak kepadanya!" "Allah itu maha pengampun, Mas!""Tetapi dosa saya terlalu banyak. Saya juga sudah melakukan dosa besar yang mungkin sulit sekali untuk diampuni.""Tidak ada yang tahu pasti kadar atau jumlah pahala juga dosa dalam kehidupan manusia, kecuali Allah subhanu wa ta'ala yang Maha Mengetahui segalanya. Tugas manusia hanyalah untuk memahami baik dan buruk sesuatu. Menjalani segala hal baik, dan menjauhi yang buruk serta dilarang oleh a