Aku kembali ke rumah untuk mengemas pakaian dan beberapa peralatan yang dibutuhkan.l. Rencana di puncak entah akan berapa hari belum ditentukan. Yang pasti bawa pakaian lima set cukuplah. Lagipula tak ada agenda pergi ke kantor, jadi tak akan boros juga. Kalau pun kurang, gampanglah bisa beli lagi. Aku juga membawa laptop, kunci brankas, kartu-kartu berharga dan beberapa benda yang diperlukan. Tak lupa meletakkan surat untuk Ela hingga dia tahu kenapa suaminya pergi. Terserah mau berbuat apapun, aku tak peduli. Kalau mau cerai, gugat saja sendiri. Kukatakan pada bi Asih akan pergi beberapa hari. Jika Ela bertanya, serahkan saja surat yang kutitipkan. Perempuan itu tak perlu diperintah dua kali, langsung mengatakan siap melaksanakan. Kulesatkan kendaraan andalan. Mobil ini telah menemani tiga tahun lamanya. Lumayan awet. Bukan tak bisa beli baru, tapi tak minat. Jalanan menuju Puncak biasanya lancar di jalan tol. Kalau sudah keluar, jangan harap bisa ngegas. Yang pasti harus sabar
Kuusap setetes air mata yang jatuh. Namun percuma sebab setelah itu mengalir kembali buliran lainnya. Masa-masa indah bersama Rida dan anak-anak kini tinggal kenangan. Semua kebahagiaan itu kulepas demi mengejar syahwat yang menggila. Benarlah sesal itu muncul di belakang. Dan itu percuma sebab belum tentu dapat kuperbaiki. Sakit yang kutorehkan padanya teramat dalam. Meski sudah tujuh bulan berlalu, pasti nyerinya masih terasa. Aku yakin Rida mudah memaafkan. Tapi untuk mau memberi kesempatan kedua aku tak yakin. Sekiranya aku memohon sambil berlutut pun belum tentu diterima kembali. Wanita punya kemampuan bertahan tanpa pria seumur hidupnya. Sementara pria tak sanggup menjalani kesendirian, meski satu hari saja. “Maaf, maaf, maaf.” Kuusap terus kuusap airmata yang makin deras berjatuhan. Dada ini ikut berdenyut mengingat ketololanku sendiri. Ya, akulah Adnan, manusia paling tolol di muka bumi. “Rida, Azka, Azkia papa rindu, sangat rindu. Di mana kalian, sehatkah, cukupkah ke
Setiap ada orang di jalan, aku sengaja bertanya tentang foto Rida dan anak-anak. Upaya ini terus kulakukan hingga sore datang.Saat magrib, aku sengaja sholat di masjid yang ada di perkampungan. Siapa tahu mereka tinggal di salah satu tempat masjid itu berada.Nama masjid yang sedang kudatangi adalah An Nur. Tempatnya dekat dengan kebun teh dan beberapa villa besar. Milik orang Jakarta katanya.Selepas sholat, aku menyengaja ngobrol dengan jamaah. Tak lupa menyodorkan foto Rida dan anak-anak.“Bapak ini siapanya mereka?” tanya salah seorang pria yang dipanggil Ustaz. Wajahnya terlihat tak bisa menyembunykan kekagetan.“Saya mantan suami wanita ini, dan mereka adalah putra putri saya!”“Jadi, Anda ayahnya Azka?” tanyanya dengan nada benar-benar kaget. “Bapak kenal mereka? Tolong katakan di mana mereka, Pak. Saya mohon!”Aku terkejut mendengar pria paruh baya ini menyebut nama Azka, lalu Azkia juga Rida. Artinya dia kenal dengan orang-orang yang kucari.Tentu saja ini adalah informasi
Kata-kata pria itu lembut, tapi menusuk tepat di jantung hati. Aku tak dapat menyangkal bahwa benar Azka dan Azkia adalah tanggung jawabku. Dan kelak di akherat pasti akan dihisab terkait pengabaian ini. Makin mencengkramlah rasa bersalah dalam diri ini. Kata maaf takkan pernah menghapus kesalahan terbesar dalam hidup. Sungguh, mengapa aku bisa menjadi laki-laki bodoh hanya karena wanita busuk sejenis Ela. Mengapa mudah terpedaya oleh rayuan mautnya. “Saya berdosa Pak ustaz, saya memang jahat. Mungkin inilah sebabnya Allah belum mengizinkan saya bertemu mereka.”Kalaulah tak ingat waktu, aku masih betah di sini. Mendengarkan nasehat yang menyejukkan hati. Seakan-akan hati yang gersang ini tengah disirami oleh embun keberkahan.Aku pamit pada pria yang telah bersedia mendengarkan keluh kesah. Juga memberikan nasehat berharga yang yang menyejukkan jiwa. Inilah hikmah kedatangan ke tempat ini.Selepas pulang dari sana, aku bertekad akan terbang ke Sumatera besok. Ini adalah kesempatan
RIDA “Aku akan urus tiket keberangkatan ke Sumatera pekan depan. Siapkan saja barang yang akan dibawa!” terang mas Afgan sekali lagi Perkataan itu amat serius hingga tak mungkin dibilang bercanda. Lagipula lelaki ini tabiatnya memang serius. Bila memutuskan sesuatu, takkan ditarik balik. “Saya tidak ingin merepotkan Anda. Insya Allah saya bisa sendiri. Anak-anak juga akan aman terkendali,” sanggahku. Ini merupakan penolakan halus agar ia mengurungkan niat untuk mengantar. Tak mungkinlah kami pergi berduaan. Selain tak boleh, juga khawatir ada fitnah. Duh, bagaimana menjelaskannya. “Kita tidak berdua. Ajaklah Nani dan suaminya. Sampaikan pada mereka anggap liburan,” tegasnya. Aku tak merespon ucapannya sebab percuma juga menolak. Pria ini tetap akan menjalankan keputusannya. Apa yang akan dikatakan mama dan kakak-kakakku kalau melihat mas Afgan. Apalagi kisah dengan mas Adnan pun belum aku sampaikan. Bagaimana kalau mereka berpikitan negatif soal kami. Ah, kenapa jadi ribet beg
RIDA Tak selang lima menit, mama masuk ruangan. Ia langsung berlari merengkuhku. Kami pun bertangisan. “Kamu ke mana saja, Nak. Mama takut, mama bingung! Kata Adnan kalian sudah cerai dan kamu pergi!” Aku melepas pelukan mama mendengar ucapannya. Mata ini menatapnya lekat untuk meminta kepastian akan kebenaran ucapan. “Mama sudah tahu, Rida. Mama ke sana bersama bang Rano. Di sana hanya ada Adnan dan istri kurang ajarnya. Benar-benar terkutuk mereka!” Kami kembali berpelukan sambil menangis. Bahu mama sampai terguncang saking keras tangisannya. “Rida!” Bang Rano memelukku setelah mama melepaskan pelukannya. Pria itu mengelus kepala dan punggung ini. Kudengar ia pun terisak. Mungkin sangat haru adiknya kembali dengan selamat. “Sini sama nenek, Sayang!” Mama merengkuh tubuh Azka. Ia menciumi cucunya berulang-ulang. Sedangkan Azkia menolak. Ia memang belum kenal benar dengan neneknya. Setelah acara tangis-tangisan selesai, aku memperkenalkan mas Afgan, Nani dan suaminya. Mama b
ADNAN Aku yakin pria yang bertanya pada Azka adalah Afgan. Meski tak sedang menggunakan pakaian formil, raut wajah dan ketegapan tubuh menjadi bukti paling otentik. Tatapan yang ada di balik kacamata tipis itu tak tajam, tapi menyiratkan kewibawaan. Otak ini sekonyong-konyong dipenuhi banyak pertanyaan. Keadaan itu membuat makin beratlah beban organ otak menampung berbagai pemikiran. Tentang Azka dan Azkia yang seolah tak kenal padaku. Juga betapa mata Rida terang didominasi tatapan kebencian. Pertanyaan yang baru saja terbersit menjadi hilang sebab kedatangan bang Rano. Tentu hal rasional ketika pria yang memakai kaos hitam itu marah. Pastilah di dadanya tersulut api kebencian. Yang siap melumat pria menyebalkan seperti diriku. Bang Rano melesat seperti busur yang dilepaskan dari panahnya. Sekilat tercekal kerah kemejaku yang kancingnya terbuka. Dua kakiku sampai harus berjinjit sebab kerasnya cekalan. Tangannya yang terkepal di udara sudah hampir mendarat di pipi ini. Jika sa
Setelah bermenit-menit dalam kebimbangan, aku memutuskan jalan ke kanan. Ini bukan keputusan berdasarkan pada tujuan tertentu, tapi lebih pada sudah tak bisa tahan dengan sengatan matahari yang sudah mulai menunjukkan sifat aslinya, panas. Saat ada rumah makan di salah satu bagian jalan, aku memutuskan masuk ke sana. Tempatnya tak besar, tapi cukuplah dijadikan tempat perlindungan dari cuaca panas.. Aku memilih duduk di paling pojok. Di sudut ruangan ini bisa bebas melamun. Aku memang butuh menepi.sejeda dari keramaian, menikmati kesendirian. Meski ini tidak membantu menghilangkan masalah, setidaknya dapat meredakan kekacauan. Terlintas kembali kejadian di ruang Rida. Satu per satu sketsanya menyesakkan dada. Tentang kemarahan keluarga Rida, penolakan anak-anak dan tergantikannya kasih sayang mereka. Kutelungkupkan wajah di dua tangan yang disedekapkan, lalu ditaruh di atas meja. Perlahan jatuh air mata yang kini berdesakan di pelupuknya. Sesesak ini rasa yang kini hadir di dada