Aku sama sekali tidak menemukan titik terang di mana Devina berada. Hatiku merasa kita dekat, tetapi tidak kunjung terlihat oleh mata. "Apa yang membuat Bapak gelisah?" Bu Naya membawakan aku makan malam sambil menatapku bingung. "Devina tidak bisa ditemukan, Bi. Aku sudah mencarinya ke rumah kedua temannya, tetapi dia tidak juga ketemu." Aku menatap makanan yang berada di atas meja dengan nanar. Ketika Devina masih ada, dia memasakan makanan kesukaanku tiga kali dalam sehari, dia menemani aku makan, bahkan memaksa menyuapi. Sayangnya aku malah menepis tangannya dan mulutku mengatakan kata-kata yang menyakitkan kalau aku tidak membutuhkannya untuk berada di sisiku. Kini, aku sadar artinya kehilangan. Rumah ini sangat hampa tanpa kehadirannya. Tidak ada lagi yang melemparkan banyak pertanyaan dalam satu waktu. "Mas, mau makan apa?" "Mau mandi atau makan dulu?" "Mas habis dari mana atau mau ke mana?" Mas ini, Mas, itu. Sekarang sudah tidak ada lagi, bahkan diri ini sangat meri
"Aku sudah jatuh cinta kepada wanita lain, jadi, mari kita bercerai, dan setelahnya, jangan ada pertemuan lagi!" hanya beberapa kata yang dikatakan Azril, tapi membuat Devina tak bisa berkutik. Tubuhnya mendadak tidak bisa digerakkan dan pendengaran serta penglihatan seperti tidak berfungsi lagi. Devina terhuyung ke arah sofa, tapi Azril sama sekali tidak melihatnya karena ia sedang berdiri di depan tangga membelakangi Devina. Selama tujuh tahun pernikahan, Devina belum diberikan kepercayaan untuk mempunyai anak, dan ini dijadikan alasan oleh Azril untuk berpisah. Ia sama sekali tidak tahu kalau wanita yang menjadi istrinya itu mencintainya. Bagi Devina, tentu saja cinta itu muncul tiba-tiba dengan seiring berjalannya waktu. Meksipun ia tahu Azril sama sekali tidak pernah mempunyai perasaan sedikit pun padanya, ia selalu percaya kalau pernikahannya akan langgeng sampai maut memisahkan. "Devi! Aku tidak mau mengulangi perkataanku lagi, semuanya sudah cukup sampai di sini." tegas A
"Bukankah hanya dengan ini Ibu masih bisa menjadi istrinya dan selalu ada di samping Pak Azril?" tanya Bu Naya dengan perasaan yang dibuat sesedih mungkin. Devina hanya terdiam, ia berusaha mencerna kata-kata Bu Naya yang menurutnya benar. Namun, apa hatinya akan sanggup jika ia melihat kemesraan suaminya dengan wanita lain? Apa ia tidak akan menitikkan air mata setiap saat? "Bu, saya tahu Ibu sangat mencintai Pak Azril, jadi berusahalah untuk selalu berada di sampingnya. Jika ibu menyerah begitu saja, bukankah pengorbanan ibu selama tujuh tahun ini akan sia-sia?" tanya Bu Naya lagi mencoba mengambil hati Devina yang sedang terombang-ambing. Devina mengusap air mata yang mengalir di wajahnya, menarik napas sedalam-dalamnya, dan mengembuskannya perlahan. "Akan saya pikirkan, Bu." Ia beringsut dan menjauh dari Bu Naya dan masuk ke kamar, bukan kamar yang selama ini menjadi saksi bisu dinginnya Azril, tapi kamar di lantai bawah yang biasa digunakan oleh tamu. Devina menyalakan ponse
"Bagaimana, kau sudah memikirkan apa yang aku katakan semalam?" tanya Azril dingin dan tajam, sama seperti sikapnya selama ini. Berbeda dengan sikap kepada Nafisah, padahal mereka baru kenal. "Ya." jawab Devina sambil tersenyum. Ia bersikap seolah semalam tidak mendengar dan tidak terjadi apapun. "Jangan selalu tersenyum begitu, aku muak!" ucap Azril tajam sambil memindahkan nasi ke piringnya. "Tidak apa-apa, Mas. Maaf, aku sudah terbiasa." Devina tidak mempedulikan perkataan Azril yang bagai torehan sembilu jika dengar oleh seorang istri. Ia malah menganggap perkataan Azril adalah ucapan semangat untuk menjalani hari. "Bodoh!" Azril mengeluarkan kata umpatan setelah mendengar suara wanita yang dibencinya mala selalu berbicara dengan tenang. "Makan yang banyak, Mas." Devina memberikan beberapa lauk kesukaan suaminya, tapi Azril menolak. "Apa motif di balik sikapmu selama ini?" tanya Azril yang selalu merasa kalau Devina selalu punya niat terselubung. Ketika masih bersahabat, me
Laki-laki lain? Kenapa membayangkannya saja membuatku marah? Tidak, mungkin ini karena aku sudah lama bersahabat dengan Devina, jadi aku tidak menginginkan dia bertemu dengan lelaki sembarangan. Ya, pasti begitu. "Benar kau tidak akan marah ketika hal itu terjadi?" Haris kembali melontarkan kata-kata seperti itu, padahal jelas sekali dia tahu jawabannya. "Untuk apa aku marah, aku hanya perlu menyeleksi laki-laki mana yang pantas bersanding dengan Vina!" tegasku tanpa menatapnya. "Menyeleksi pantas atau tidak, itu bukan urusanmu, tapi Devina sendiri. Karena kau juga tidak pantas untuk berada di sampingnya. Masa iya, tidak pantas, tapi menilai orang lain tidak pantas juga." Perkataannya kali ini bagai busur panah yang menusuk tiba-tiba ke arah jantung. Apa selama ini aku sudah memperlakukannya dengan buruk? Padahal aku selalu mencari cara agar bisa menjadi sahabat yang baik, tidak sebagai suami. Rasa jijik ketika dia menerima tawaran Mamaku untuk menjadi menantunya masih terasa. S
"Kau jangan coba-coba menyakiti Devina, ya!" kecam Randi sambil menatapku tajam. "Apaan, sih!" Aku menepis perkataannya. "Kau! Asal kau tahu, ya, memakai kerudung panjang belum tentu dia salehah, karena menutup aurat adalah kewajiban. Kalau Devina, sudah jelas dia istri yang penurut, tubuhnya pun tanpa cacat, tinggal kau bawa untuk dia mau menutup aurat!" jelasnya membuatku muak. Tentu saja aku tahu perbedaan di antara mereka, tetap saja Devina jauh dari lebih buruk. Aku akui, selama ini di antara kita belum pernah ada pertengkaran, tapi itu karena aku yang selalu meninggalkan dia. Entah mengapa, aku tidak ingin berlama-lama untuk terus berada satu ruangan dengannya. Untung saja selama beberapa hari ini dia tinggal di ruang tamu, jadi aku tidak perlu repot-repot untuk menjauh. "Iya, bawel." Daripada berdebat, aku memutuskan untuk diam. Dengan teliti, dia mengecek seluruh anggota tubuh, sayangnya hanya gelengan yang aku dapatkan. "Sebaiknya kau pergi ke dokter kandungan, dari s
Azril hanya bisa terdiam ketika Devina memperkenalkan dirinya. Sementara bagi Devina, saat ini dia hanya mengalah, dan mengalah bukan berarti kalah. Dia hanya menepi sejenak untuk menerima kemenangan yang sesungguhnya. "Jika aku menyerah begitu saja, tandanya aku mengaku kalah. Saat ini, aku ingin bermain sebentar sesuai isi hatiku, Mas. Ada saatnya kau akan menyesal dan memintaku untuk kembali, tapi saat itu tiba, jangankan kembali bersama, aku bahkan enggan untuk menoleh ke arahmu, Mas." batin Devina bermonolog. Bagi Devina, Azril memang segalanya. Tapi ... tapi semuanya hanya masa lalu. Ia bukan perempuan bodoh yang dibutakan cinta dan akan terus bersama orang yang dicintai tapi menyakitinya. Devina adalah gadis cerdas, selama tujuh tahun ini bertahan karena Azril masih setia terhadap pernikahannya. Dia tidak pernah abai terhadapnya, tapi akhir-akhir ini selalu merasa Azril berubah dan ternyata benar, ia kenal wanita lain, bahkan mengaku masih lajang. "Wah, kok ada pembantu ya
PoV Devi Aku meminta Mas Azril untuk menikah secepatnya bukan karena aku tidak punya harga diri atau tidak punya perasaan, tapi karena ingin menunjukkan padanya kalau aku sudah lelah dan menyerah untuk menjadi istrinya. Tidak ada penyesalan sedikit pun setelah menamainya selama tujuh tahun, setidaknya, Allah masih menginginkan aku untuk bahagia. "Maka makananku?" Mas Azril keluar dari kamar mandi dengan masih memakai baju handuk, padahal biasanya tidak pernah seperti ini. "Enggak ada!" jawabku singkat sambil meliriknya sekilas, lalu kembali fokus kepada gawai yang sedang kupegang. Wajahnya mendadak berubah menjadi merah, sudah pasti amarah sedang menghampirinya, tapi aku tidak peduli. Jika yang aku lakukan ini berdosa, maka aku hanya bisa meminta ampunan kepada Allah untuk mengampuni dosa dosaku. "Kamu itu gunanya apa?" protesnya tajam dengan tatapan menusuk. "Aku? Gunanya?" Aku menahan kata-kata yang ingin aku ucapkan dan menghampirinya dengan tatapan yang tenang, aku ingin di