"Azril!" Ketika aku sedang menahan perut dengan kedua tangan karena kelaparan, pintu kamar diketuk beberapa kali dengan disertai suara yang memanggil namaku dengan pelan. "Azril!" panggilnya lagi, kali ini aku bisa mendengarnya dengan jelas. Ini adalah suara Bude Tintin. Aku langsung teringat dengan Jani Bude yang akan mengantarkan makanan ke kamarku pun membuatku langsung membuka pintu. "Eh, Bude, ada apa?" tanyaku basa-basi. Padahal, perutku sudah minta diisi. Melihat Bude yang membawa makanan dia sebuah nampan sedang membuat kedua mataku berbinar. "Masuk, Bude." Aku langsung bersikap seolah tidak terjadi apapun. "Ini, Bude sudah janji akan membawakan makanan untuk kamu." ucapnya sambil menyerahkan nampan itu. "Makan yang banyak, ya, sekalian Bude ada sesuatu yang mau dibicarakan denganmu." ucapnya sambil menutup pintu. Aku mengalihkan tatapan mataku, inginnya makan sendiri di sini. Eh, malah selalu gagal. "Tenang saja, Bude tidak memaksa untuk kamu menanggapi, cukup dengark
"Berhenti membicarakan tentangku, Haris. Aku tidak punya waktu banyak. Banyak uang yang sudah aku keluarkan hanya untuk bisa menemuimu di sini." ucapku kesal. "Banyak uang?" Harus menatapku lekat, ia sepertinya tidak percaya dengan apa yang kukatakan, tapi inilah kebenarannya. "Ya." Aku menghela napas berat. Mau bagaimana lagi, aku harus segera menemukan Devina. "Untuk apa?" tanyanya cuek, pake tanya untuk apa lagi. "Tentu saja untuk mencari Devina, aku harus segera menemukannya." jawabku mantap sambil menghabiskan minuman yang kupesan dua gelas. Bukannya simpati atau apa ke, Harus malah tertawa terbahak-bahak. "Bukankah ini yang kau harapkan? Menjalani hidup hanya berdua dengan orang yang kau cintai, tanpa bayang-bayang Devina. Lalu, kenapa sekarang kau malah mencarinya?" Ia menatapku lekat, bahkan aku merasa kalau tatapannya menyiratkan kebencian. Benar, aku sendiri yang mengatakan hal itu pada diriku sendiri. Namun, entah kenapa aku malah semakin ingin mencarinya. "Tentu sa
Keringat langsung bercucuran dari tubuh Azril, dia tidak bisa berkata apapun dan tidak mungkin juga baginya untuk mengatakan apa yang sebenarnya sudah terjadi. Bukan hanya Azril, Bu Naya pun tidak berani menatap orang yang kini sedang berada di depannya dan juga Azril. "Katakan pada saya, Bu. Ada apa ini sebenarnya?" Bu Ami menatap kedua orang yang ada di hadapannya dengan penuh keheranan. Terlebih lagi ia sudah kehilangan jejak tentang keberadaan Devina, menantu yang sudah dianggap seperti putrinya sendiri. "Em ... anu, anu, itu .... " Bu Naya yang hendak bicara pun ditatap tajam oleh Azril, sehingga tidak berani bicara. "Anu apa, Bu?" Bu Ami kini menatap anaknya, dia yakin kalau Azril melakukan kesalahan yang besar sampai membuatnya tidak bisa menghubungi Devina. "Katakan sama Mama, apa yang sebenarnya terjadi?" Bu Ami memilih untuk duduk di sofa dengan elegan, tapi matanya masih menatap Azril dengan sorot yang mematikan. "Siapa yang menghilang?" "Itu, Ma ... peliharaan Bu Nay
"Apa aku sudah salah dalam mengambil langkah?" Azril merenungi semua rentetan kejadian. Memang benar, semakin ke sini ia semakin curiga kalau Nafis bukan sosok wanita yang kulihat dulu sebelum menikah. Entah apa sebabnya, apa karena dia sering meminta uang, atau karena sifatnya yang dirasa berubah. Nafis beberapa kali menelponnya lagi setelah sambungannya dimatikan, tapi lagi-lagi, Azril langsung menolaknya. Untuk saat ini, dia sangat tidak ingin mendengar suara Nafisah. "Istri barumu sepertinya belum sadar dengan kesalahannya, tapi itu tugasmu sebagai seorang suami." Arif yang melihat Salma yang baru datang seorang diri, langsung memintanya untuk duduk. Sementara mata Azril langsung menatap penuh harap. "Aku mohon, jangan sembunyikan Devina, biarkan aku membawa kembali ke rumah yang dulu hanya dipenuhi dengan kebahagiaan." Salma hanya duduk dengan tenang, ia pun sebenarnya cukup emosi dengan laki-laki seperti Azril yang tidak bisa mengendalikan apa sebenarnya yang benar-benar
Aku sama sekali tidak menemukan titik terang di mana Devina berada. Hatiku merasa kita dekat, tetapi tidak kunjung terlihat oleh mata. "Apa yang membuat Bapak gelisah?" Bu Naya membawakan aku makan malam sambil menatapku bingung. "Devina tidak bisa ditemukan, Bi. Aku sudah mencarinya ke rumah kedua temannya, tetapi dia tidak juga ketemu." Aku menatap makanan yang berada di atas meja dengan nanar. Ketika Devina masih ada, dia memasakan makanan kesukaanku tiga kali dalam sehari, dia menemani aku makan, bahkan memaksa menyuapi. Sayangnya aku malah menepis tangannya dan mulutku mengatakan kata-kata yang menyakitkan kalau aku tidak membutuhkannya untuk berada di sisiku. Kini, aku sadar artinya kehilangan. Rumah ini sangat hampa tanpa kehadirannya. Tidak ada lagi yang melemparkan banyak pertanyaan dalam satu waktu. "Mas, mau makan apa?" "Mau mandi atau makan dulu?" "Mas habis dari mana atau mau ke mana?" Mas ini, Mas, itu. Sekarang sudah tidak ada lagi, bahkan diri ini sangat meri
"Aku sudah jatuh cinta kepada wanita lain, jadi, mari kita bercerai, dan setelahnya, jangan ada pertemuan lagi!" hanya beberapa kata yang dikatakan Azril, tapi membuat Devina tak bisa berkutik. Tubuhnya mendadak tidak bisa digerakkan dan pendengaran serta penglihatan seperti tidak berfungsi lagi. Devina terhuyung ke arah sofa, tapi Azril sama sekali tidak melihatnya karena ia sedang berdiri di depan tangga membelakangi Devina. Selama tujuh tahun pernikahan, Devina belum diberikan kepercayaan untuk mempunyai anak, dan ini dijadikan alasan oleh Azril untuk berpisah. Ia sama sekali tidak tahu kalau wanita yang menjadi istrinya itu mencintainya. Bagi Devina, tentu saja cinta itu muncul tiba-tiba dengan seiring berjalannya waktu. Meksipun ia tahu Azril sama sekali tidak pernah mempunyai perasaan sedikit pun padanya, ia selalu percaya kalau pernikahannya akan langgeng sampai maut memisahkan. "Devi! Aku tidak mau mengulangi perkataanku lagi, semuanya sudah cukup sampai di sini." tegas A
"Bukankah hanya dengan ini Ibu masih bisa menjadi istrinya dan selalu ada di samping Pak Azril?" tanya Bu Naya dengan perasaan yang dibuat sesedih mungkin. Devina hanya terdiam, ia berusaha mencerna kata-kata Bu Naya yang menurutnya benar. Namun, apa hatinya akan sanggup jika ia melihat kemesraan suaminya dengan wanita lain? Apa ia tidak akan menitikkan air mata setiap saat? "Bu, saya tahu Ibu sangat mencintai Pak Azril, jadi berusahalah untuk selalu berada di sampingnya. Jika ibu menyerah begitu saja, bukankah pengorbanan ibu selama tujuh tahun ini akan sia-sia?" tanya Bu Naya lagi mencoba mengambil hati Devina yang sedang terombang-ambing. Devina mengusap air mata yang mengalir di wajahnya, menarik napas sedalam-dalamnya, dan mengembuskannya perlahan. "Akan saya pikirkan, Bu." Ia beringsut dan menjauh dari Bu Naya dan masuk ke kamar, bukan kamar yang selama ini menjadi saksi bisu dinginnya Azril, tapi kamar di lantai bawah yang biasa digunakan oleh tamu. Devina menyalakan ponse
"Bagaimana, kau sudah memikirkan apa yang aku katakan semalam?" tanya Azril dingin dan tajam, sama seperti sikapnya selama ini. Berbeda dengan sikap kepada Nafisah, padahal mereka baru kenal. "Ya." jawab Devina sambil tersenyum. Ia bersikap seolah semalam tidak mendengar dan tidak terjadi apapun. "Jangan selalu tersenyum begitu, aku muak!" ucap Azril tajam sambil memindahkan nasi ke piringnya. "Tidak apa-apa, Mas. Maaf, aku sudah terbiasa." Devina tidak mempedulikan perkataan Azril yang bagai torehan sembilu jika dengar oleh seorang istri. Ia malah menganggap perkataan Azril adalah ucapan semangat untuk menjalani hari. "Bodoh!" Azril mengeluarkan kata umpatan setelah mendengar suara wanita yang dibencinya mala selalu berbicara dengan tenang. "Makan yang banyak, Mas." Devina memberikan beberapa lauk kesukaan suaminya, tapi Azril menolak. "Apa motif di balik sikapmu selama ini?" tanya Azril yang selalu merasa kalau Devina selalu punya niat terselubung. Ketika masih bersahabat, me