Hingga jam sebelas malam, Mas Bagas tak kunjung kembali ke kamar. Aku mulai mengantuk dan sekaligus gelisah, apa saja yang mereka bicarakan hingga selarut ini. Kenapa juga Ibu tidak berusaha memanggil menantunya itu.Dalam kegelisahan, akhirnya aku tertidur juga setelah sebelumnya mengganti lampu kamar dengan lampu tidur yang lebih redup. Apalagi dalam perjalanan kami kemarin aku juga tidak tidur, sampai di rumah hanya tidur sebentar saat siang hari, lalu malam acara langsung diadakan. Tentu saja membuat tubuhku meminta haknya untuk beristirahat. ***Sebuah kecupan kurasakan di pundakku, di sertai hembusan nafas menerpa leherku. Apakah aku mulai bermimpi buruk lagi, mimpi yang kadang suka menganggu tiduriku. Mimpi digagahi oleh suami ibuku. Kali ini aku tidak akan membiarkan dia menyentuhku dalam mimpi sekalipun. Aku mendorong dengan kuat tubuh yang ada disampingku. "Bruukk! Aduh!" Suara benturan dan teriakan itu begitu nyata menyapa indera pendengaranku. Bahkan aku mengenali suar
Kami menghabiskan waktu cutiku dikampung halamanku. Mas Bagas menemaniku mengulang memori-memori indah dan menghapus memori buruk tentang tanah kelahiranku ini. Pergi ke sekolah tempatku belajar dulu, walaupun hanya berhenti pinggir jalannya tanpa keluar dari mobil. Melihat siswa siswi yang berseragam putih abu-abu dari kejauhan, menikmati tawa mereka bersama teman-temannya. Tawa yang tidak aku dapati pada diriku di tahun-tahun terakhir sekolah karena masalah dirumah yang menimpaku. Pergi ke sawah melihat orang yang memanen padi, hanya sekedar untuk ikut merasakan sarapan di saung bersama para petani. Makan diantara hamparan padi yang menguning sambil menikmati aroma batang padi yang ditebang. Memberikan perhatian-perhatian kecil padaku selama di kampung halaman, seakan-akan memberitahu pada tetangga jika kami menikah secara wajar, bukan karena sebuah kecelakaan atau hamil duluan. "Berapa lama Mas Bagas mengenal Mentari sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah?" tanya Mbak Yuni,
"Maafkan aku Nay, semua terjadi dengan sangat cepat. Bahkan aku tidak tahu kenapa bisa seperti ini. Waktu kami pergi bersama itulah terjadinya pernikahan kami. Pernikahan yang tidak kami duga sebelumnya." Aku menceritakan semuanya pada sahabatku itu. Bagaimana bisa kami menikah, lalu akhirnya memutuskan pulang kampung. Tapi aku tidak menceritakan jika Mas Bagas pernah mengabaikan diriku. "Maafkan aku, Nay. Aku tidak bermaksud untuk tidak mengingat dan tidak menganggapmu saat aku bahagia," ucapku mengakhiri ceritaku. Nayla menatap kearahku, diam tidak berkata apa-apa. Aku menatap sekilas padanya lalu menunduk karena rasa bersalah. Tiba-tiba tawa Nayla pecah, memenuhi ruangan kamarnya yang tidak begitu lebar. Aku sampai kebingungan dengannya, tadi marah sekarang malah ketawa-tawa. "Yaa ampun, Ri. Kamu lucu banget kalau ketakutan dan merasa bersalah seperti itu. Aku hanya bercanda, mana mungkin aku akan marah dan membencimu. Aku memang kecewa, tapi untuk marah tidak bisa. Aku ikut s
"Mentari ... Sayang," Panggilan dari Mas Bagas menarikku ke alam nyata.Ah, ternyata tadi aku hanya menghayal saat duduk dipangkuan Mas Bagas dan menggodanya. Mungkinkah suatu saat nanti aku akan berbuat seagresif itu pada suamiku. Mungkin bisa kucoba juga sepertinya. "Ada-ada saja kamu ini Mentari," ucapku dalam hati.Posisiku masih di tengah ruangan tepat di mana tadi aku memikirkan adegan percintaan yang terjadi pertama kali di tempat ini."Kamu melamun?" tanya Mas Bagas menghampiriku. "Hanya mengingat hal-hal yang pernah terjadi disini." "Apa yang paling kamu ingat? Apa saat kita bercinta disini?" tanyanya sambil memelukku dari belakang, menyandarkan dagunya di bahuku.Ah, tahu saja suamiku ini apa yang aku pikirkan. Tapi tentu saja aku tidak akan mengakuinya, walaupun aku lama-lama aku juga bucin padanya tapi tidak akan kutampakkan begitu saja. "Ayo pulang, Mas. Sudah malam nih," ucapku mengalihkan perhatiannya. "Apa kamu tidak rindu padaku? Maksudku, beberapa hari ini kita
Sejak saat itu, mas Bagas terus mengajakku dan mengajariku cara mengelola usahanya. Entah kenapa suamiku itu melakukan hal ini. Apa ini agar aku suatu saat nanti berhenti bekerja dan mengikutinya menjalankan usahanya ini, bisa jadi seperti itu. "Apa kamu ingat jalanan ini?" tanyanya. Hari ini tanggal merah berbarengan dengan weekend, jadi aku libur kerja lumayan lama. Lalu mas Bagas mengajakku untuk pergi keluar kota. "Jalanan yang kita lewati saat pertama kali kita pergi keluar kota," jawabku."Memangnya kita mau kemana?" tanyaku lagi. "Dulu kan kita pergi karena mas ada urusan bisnis, ngecek usaha cafe yang ada di kota itu. Saat ini tempat itu masih milikku, aku akan membawamu kesana. Kamu harus tahu juga tempat itu, tempat itu masih menjadi milikku meskipun aku berpisah dengan Ayu karena usaha itu atas namaku. Aku yang membukanya setelah menikah dengannya dulu," tutur Mas Bagas panjang lebar."Mas, untuk apa sih aku harus tahu segalanya tentang bisnismu. Kamu ingin aku berhenti
Pak Galang semakin dekat denganku. Dan seperti kebanyakan lelaki jika menginginkan wanita dengan paksa, dia akan menarik tangannya dan memeluknya. Saat hal itu dilakukan pria itu padaku, dengan refleks yang aku pelajari, kubanting saja tubuhnya yang lebih besar dari badanku. Sepertinya hal yang aku pelajari selama ini memang sangat berguna untuk membela diri, tidak sia-sia aku meluangkan waktu dan uang untuk mempelajarinya. Lelaki dengan kemeja berwarna merah maroon itu terlihat terkejut dengan posisi masih telentang. "Wow, aku tidak menduga kamu bisa melakukannya. Tapi sepertinya ini akan jauh lebih menyenangkan, daripada wanita yang hanya menangis dan pasrah, aku lebih suka wanita yang melawan. Apa kamu juga sekuat itu di ranjang," ucapnya sambil berdiri. "Tadi aku memang tidak siap dengan apa yang akan kamu lakukan karena kupikir kamu seperti wanita pada umumnya. Sepertinya kamu tidak tahu jika menjadi asisten dan supir pribadi tuan Alex itu harus memiliki skill bela diri juga
POV BagaskaraSiang itu setelah makan siang, aku dan Mentari langsung pergi ke cafe milikku yang di kelola oleh Galang, temanku. Sesampainya disana, Istriku itu pergi lagi ke hotel dengan alasan sakit perut dan mual. Padahal aku hendak mengenalkannya pada Galang. "Nyari siapa sih? kenapa panik begitu?" tanya Galang saat aku keluar lagi dari ruang kerjanya sambil menelpon Mentari dan mencarinya di luar cafe."Kamu lihat tadi wanita yang datang bersamaku? Dia balik lagi ke hotel karena sakit, aku ingin mengantarkannya terlebih dahulu tapi ternyata dia sudah naik taksi," tuturku panjang lebar. "Sudahlah, dia sudah naik taksi. Lagian kan bukan anak kecil, pasti sampai dengan selamat. Banyak yang harus kamu periksa di dalam sana, udah lama banget kamu gak datang kesini," sela Galang.Aku membenarkan perkataan temanku itu, lagi pula Mentari bilang, aku tidak perlu mengkhawatirkannya. Setelah kembali lagi kedalam ruang kerja Galang, temanku itu langsung memberikan setumpuk file yang katany
Segera kudorong pintu kamar mandi yang ternyata tidak dia kunci. "Apa yang kamu lakukan?" tanyaku sambil mematikan shower yang terus mengguyur tubuhnya. Aku perhatikan sejak tadi dia menggosok bagian tubuhnya yang sama dibawah guyuran air. Tidak ada jawaban darinya, tangannya tetap saja menggosok lehernya dengan kasar hingga kulitnya semakin terlihat memerah. "Kalau mandi kenapa bajunya tidak dibuka?" Lagi, aku bertanya sambil menahan tangannya agar tidak melakukan hal yang sama. "Lepaskan aku, mas! Aku sedang berusaha menghilangkan tanda ini dari tubuhku. Aku membencinya," sahutnya dengan berlinang air mata. Hatiku ikut nyeri melihat bulir bening itu meluncur melewati pipinya tanpa henti. "Mas yang akan membantumu menghilangkannya. Ganti bajumu dengan ini. Kamu sudah terlalu lama dikamar mandi," ucapku sambil meraih jubah mandi yang tergantung tidak jauh dari tempat kami berada. "Ini tidak akan hilang bahkan sampai satu minggu. Bagaimana kamu bisa menghilangkannya, aku benci