Gila!
Aku hampir lupa kalau aku sedang berhadapan dengan manusia paling tidak waras di muka bumi saat ini. Ya, Tuan Steven memang benar-benar tidak waras!Apa dia tidak berpikir kalau semua ini butuh waktu barang sejenak? Mengapa lelaki blasteran itu kebelet banget ingin cepat menikah denganku?"Apa tidak bisa diundur beberapa waktu lagi, Bang?" tanyaku berusaha bernegosiasi kepada Bang Hanan, "soalnya aku harus mengurus Bi Eli. Beliau operasi besok!" lanjutku kesal.Sebenarnya hal itu hanya satu dari banyak alasan. Yang paling pasti itu karena aku ... aku belum siap untuk menjadi istri dari seorang pria yang bernama Steven Arnold."Kamu tidak perlu khawatir masalah itu, Nay. Semua akan di-handle oleh orang-orang saya. Kamu ikuti saja rencana dari Tuan Arnold. Semua akan beres," sahut Bang Hanan datar.Beres, beres. Enak aja Bang Hanan bilang beres. Masak mesti secepat ini aku nikah sama si Tuan Otoriter?"Coba Abang huLagi pula momennya tidak tepat seperti ini. Huufftt ...."Manda! Kamu dengan Nanda tunggu saja di rumah sakit. Kalau ada apa-apa, telepon aja Kakak. Oke?"Gadis itu mengangguk.Hari masih sangat pagi, masih pukul 05.35 WIB. Sengaja aku menyuruh mereka pergi pagi-pagi sekali. Jangan sampai mereka bertemu Bang Hanan di sini nanti."Tapi apa nggak kepagian ini, Kak?" tanya Manda yang baru saja mandi dan memakai pakaiannya."Ya, mesti pagi-pagi perginya. Ke kota saja memakan waktu empat puluhan menit, 'kan? Paling tidak, kalau ada sesuatu yang mesti diurus sebelum operasi, kalian sudah stay di tempat!" cerocosku.Mereka diam tidak menjawab sambil terus menyiapkan diri. Mudah-mudahan saja mereka tidak curiga. Aarrgh! Mumet sekali rasanya. Ini gara-gara si Tuan Otoriter kebelet kawin! Keseeeel!Akhirnya Manda dan Nanda pun siap berangkat ke rumah sakit. Mereka lalu mencium punggung tanganku dan pamit, "Kami pergi dulu, Kak!"***Matahari merangkak naik dengan perlahan. Benda langit terbesar
Setelah sekitar setengah jam perjalanan kami pun sampai di halaman Kantor Urusan Agama di desaku, Desa Binar. Selama perjalanan degup jantungku berdebar tak menentu. Aku kembali menepuk-nepuk tisyu ke beberapa bagian wajah, sebab keringat yang sentiasa muncul. Mobil kami diparkir di bawah sebatang pohon. Bang Hanan lalu keluar, kemudian pria itu membukakan pintu mobil untukku. Dengan perlahan aku menjejakkan kaki. Ya Allah ... kakiku rasanya lemas. Hampir saja aku jatuh, jika tidak segera memegang badan mobil tadi. Bang Hanan sampai kaget karena aku terhuyung. Padahal sepatu ini tidak begitu tinggi, tapi mau bagaimana? Lutut ini tiba-tiba saja seakan tidak terasa."Kamu tidak apa-apa, Nay?" tanya Bang Hanan tampak khawatir."I–iya, Bang. Aku nggak pa-pa," jawabku.Bang Hanan dan supir mobil tadi mengiringku menuju sebuah ruangan. Di sana tidak begitu ramai. Aku tidak mengenal siapa saja yang berada di sana.Ketika sampai di muka pintu, aku menghentikan langkah sejenak, memindai ruan
Ya Allah, benarkah apa yang terjadi hari ini? Rasanya aku tidak percaya jika aku baru saja menikah. Bahkan dengan orang yang ... sangat aku benci. Kualihkan pandangan ke arah jendela mobil di samping. Entah mengapa dada ini terasa begitu sempit. Kutarik napas dalam-dalam demi meredakan sesaknya walau sedikit.Drrrt ...! Drrrt ...!Terdengar suara ponsel yang bergetar. Hmm ... itu ponsel miliknya. Kebiasaan kami ternyata sama, tidak suka menyalakan ringtone."Hallo, Sayang ...."Aku menajamkan telinga tanpa menoleh sedikit pun ke arah Tuan Steven yang tengah menerima panggilan telepon tersebut. Siapa yang ia panggil dengan sebutan sayang? Hatiku bertanya-tanya."Iya. Kenapa kok, gak mau kenal dengan Mama baru?"Oh, itu anak perempuan Tuan Steven sepertinya. Tuan Steven memang mempunyai seorang putri dari pernikahannya yang pertama. Aku sudah lama sekali belum pernah melihat anak itu lagi. Seingatku, dulu pernah melihat anak itu ketika ia masih berusia dua atau tiga tahun. Entah di ma
"Mmm ... mungkin Tuan Steven memang baik, Man. Kita aja yang belum tahu." Omongan macam apa itu? Aaah, yang penting ada jawaban untuk Manda sementara ini. Aku pusing mau jawab apa."Hmm, gitu ya?" Manda terdengar ragu.Aku menggaruk kepalaku yang tertutup hijab putih bermahkota ini. "Kakak nggak ke sini?" tanya Manda lagi."Emm ... nanti deh, kakak kasih kabar lagi ke kamu, Man. Kakak masih ada urusan ini. Kamu dengan Nanda jagain ibu dulu," ujarku. "Hmm, iya, Kak," sahut Manda lirih.Aku tidak tahu apakah aku bisa ke rumah sakit hari ini. Nanti saja aku minta izin dengan Tuan ... eh, dengan Steven. "Udah dulu, Man. Assalamualaikum!" Buru-buru aku tutup telepon genggamku. Khawatir Manda semakin banyak tanya.Bagaimana ini? Apa aku harus menginap di hotel ini bersama Steven? Tidak, tidak, tidak! Aku tidak mau. Aku sama sekali belum siap jika lelaki itu menyentuhku lebih jauh. Ya Allah ... aku harus bagaimana?Seusai menelepon Manda, aku langsung meraih handuk berwarna ungu tua yang
Ah, teringat lagi kalau ia telah menjandakan tiga perempuan sebelum aku. Hati kecil ini kembali memperingatkan. Jangan merasa istimewa wahai kamu, Nay ... dia adalah type pria yang mudah bosan. Dan jika sudah bosan, maka akan ia campakkan begitu saja. Huuuft ... ya ya ya, aku harus menjaga hati. Jangan sampai lemah di hadapkan dengan perhatian-perhatian kecil seperti ini. Kamu punya harga diri yang tinggi, Nay!Ah, teringat lagi dengan Mas Wahyu. Pria itulah yang selama ini selalu peduli dan penuh perhatian kepadaku. Akan tetapi, saat ini malah aku telah mengkhianati harapannya. Bahkan ... dari tadi aku tidak ingat lagi kepadanya.Apakah semudah itu hati ini dapat teralihkan? Hanya karena perhatian-perhatian yang tidak seberapa dari seseorang yang ... aah!Seusai makan siang, rasanya perutku sudah kekenyangan. Selain nasi, di situ juga tadi ada buah dan es krim. Sudah kucicipi semua. Kupikir-pikir, untuk apa juga menjaga image di depan lelaki ini. Seumur-umur aku baru merasakan makan
Dua pekan? Dalam waktu dua pekan?Bagaimana aku bisa sempat berpikir jika hanya dalam waktu singkat seperti itu? Tiba-tiba terlintas wajah Mas Wahyu di benakku.Ya, bagaimana juga dengan Mas Wahyu? Apa yang harus aku katakan kepadanya? Aku tahu, betapa besar harapan pria itu terhadapku. Begitu juga diri ini sebenarnya. Tadinya aku sempat berpikir akan berakhir dengan pria berkacamata itu, tapi ... tapi apa yang terjadi sekarang di luar perkiraan. Aku merasa telah mengkhianati cinta dan kepercayaannya. Walaupun kami tidak pernah berkomitmen apa pun tentang hubungan yang berlangsung, tetapi aku tahu niat kami sama. Bahkan Mas Wahyu hampir memperkenalkanku kepada kedua orang tuanya. Aku harus bicara apa tentang pernikahan ini kepada lelaki baik itu jika nanti ia sampai tahu? Ya Allah ... kepalaku sekarang terasa berdenyut keras memikirkannya.Ketika pikiranku tengah menerawang bingung seperti ini, tiba-tiba Steven mendekat dan melepas atasan mukenaku. Aku terkejut dengan apa yang di
"Kamu menggodaku, hmm?" Pria itu bukannya lanjut memakai kemeja yang tadi sudah ia ambil dari koper, malah ia ikut duduk dan menarik tubuhku mendekatinya."Ak–aku tidak menggo ... hmmmp!"Kembali ia memaksa untuk mencium bibir ini. Astaga, aroma tubuhnya segar sekali. "Steve ... aku ...."Pria itu mencumbui diriku. Aku ... aku ... mengapa aku justru terbuai dengan sentuhan darinya?Drrrt ...! Drrrt ...!Mataku yang tadi terpejam menikmati sentuhan Steven, tiba-tiba membulat. "Steve ... telepon!" Kontan aku mendorong dadanya dengan kencang.Ia tampak terkejut."Te–telepon ...," cicitku takut-takut karena melihat sorot matanya yang nanar. Sepertinya ia tidak suka dengan gerak refleksku barusan.Apa ... apa dia marah?Karena gawainya terdengar tidak berhenti bergetar, Steven pun beringsut. "Sh*t!" umpatnya sambil beranjak berdiri, lalu melangkah menuju ke jas hitamnya yang tergantung di sana.Aku menggigiti bibir ini. Masih terasa sensasi sentuhan Steven barusan. Ya Allah, mengapa aku j
"Saya Shela." Belum sempat Nanda menjawab, perempuan itu melangkah maju dan menghampiri. Lalu ia mengulurkan tangan ke arahku."Oh, iya. Aku Nay ...." Aku pun menyambut uluran tangannya. Aku baru ingat, ini yang tadi Manda bilang orangnya Steven yang akan menjaga Bi Eli. Shela tersenyum manis ke arahku. "Saya ke luar dulu, Mbak," pamit gadis itu. Kemudian ia berjalan menuju ke luar ruangan.Aku mengangguk dan tersenyum ke arahnya."Dari pagi Mbak Shela di sini, Kak," ungkap Nanda setelah Shela ke luar."Oh gitu," sahutku singkat."Katanya Mbak Shela itu pernah jadi perawat," lanjut Nanda lagi."Hmmm ...." Aku menganggukkan kepala sembari membenarkan selimut Bi Eli yang agak tersingkap.Aku yakin Steven mengutus orang yang kompeten. Orang perfeksionis seperti dia tidak mungkin mempekerjakan sembarang orang. Kecuali ada maunya—dulu—ketika ia menginginkanku ketika masih menjadi istri dari Bang Rizal. Entah mengapa pria bule itu begitu getol mengeluarkan uang yang banyak hanya untuk bis