***"A-- aku ....""Tenanglah, Sayang. Tenang!" Pak Prabu merengkuh bahu Helena dan menuntunnya perlahan. "Ayo, jangan lepas tangan Papa. Ayo, Ma!"Bu Nela mengusap sudut matanya dan mengangguk lemah. "Ya, ayo!"Tiga manusia beda usia itu berjalan beriringan. Helena menggenggam lengan Pak Prabu sementara tangannya yang satu menyingkap kebaya panjangnya agar tidak menjuntai."Pak!"Pak Prabu mengangguk ketika Danil memanggilnya. Di depan ruang operasi, Danil dan Mamang duduk bersebelahan menanti pintu ruang operasi terbuka."Dan, ke-- kenapa ada di depan ruang operasi? A-- apa Hazel terluka parah?" tanya Bu Nela gagap. "Katakan, Danil!"Danil bangkit. "Bu, Pak Hazel terluka parah di bagian belakang kepalanya jadi ...."Bruk ....Helena terduduk di lantai. Tidak ada tangis di matanya namun pandangannya terlihat kosong. "Len.""Non!""Helena ...."Pak Prabu dan Bu Nela panik. Keduanya membantu Helena berdiri dan membawanya duduk di kursi kosong yang tersedia di depan ruang operasi."Haz
***Di depan ruang ICU, Helena masih bersandar di bahu Pak Prabu dan menggenggam jemari Bu Nela. Bajunya masih sama sekalipun hari mulai menjelang malam. Tak jarang, beberapa pasang mata menatap aneh ke arahnya. Seorang perempuan berada di rumah sakit dengan mengenakan kebaya pengantin. "Non ...."Suara Bik Asih memanggil dari kejauhan. Helena mengangkat kepala, melihat apakah benar yang barusan ia dengar adalah suara Asisten Rumah Tangganya. "Ya Allah, Non Lena," pekik Bik Asih. "Ganti baju dulu ya, Bibik bantu. Ayo!"Helena hanya menatap Bik Asih tanpa ekspresi. Melihat wajah sendu majikannya, Bik Asih sontak saja mengusap sudut matanya yang keriput. Tidak tega. Helena yang biasanya ceria berubah menjadi tanpa gairah."Non ...." Panggilnya ulang. "Bibik bantu," imbuhnya.Helena menggeleng lemah. Dia kembali merebahkan kepalanya di bahu Pak Prabu seakan-akan kehadiran Bik Asih tidak membawa pengaruh apapun dalam hatinya. "Biarkan saja begini, Bik," kata Bu Nela sambil mengangguk.
***"A-- apa yang kamu katakan, Len? Aku ... aku gak paham sama ....""Jangan bermain-main denganku, Adinda!" bentak Helena lantang. Beberapa pasang mata menatap bingung ke arahnya. "Katakan siapa dalang dibalik kecelakaan Hazel. Jawab!""Bu, tolong jangan bikin keributan di Rumah Sakit," tegur salah satu suster yang sedang berjaga. "Pasien ingin istirahat dengan tenang, jadi jangan mengeraskan suara kecuali jika anda berada di luar Rumah Sakit."Helena terpaku di tempatnya sambil menatap tajam ke arah Adinda. "Maafkan anak saya, Sus," kata Pak Prabu mendekat. "Len, ayo!""Aku yakin sekali dia ada kaitannya dengan kecelakaan Hazel, Pa," tutur Helena menahan marah. "Telingaku masih berfungsi dengan jelas. Dia ... bersekongkol dengan seseorang. Siapa, Din, katakan! Apa Mas Andra?"Adinda menoleh dengan cepat. Wajahnya tiba-tiba pias, namun sedetik kemudian perempuan masa lalu Hazel itu tertawa lirih dan menepuk bahu Helena seolah sedang menegaskan bahwa ia prihatin dengan kondisi Helena
***"Din ...."Tubuh Helena menegang. Persendiannya terasa lemas ketika kedua telinganya menangkap dengar nama "Adinda" dari bibir Hazel.Bu Nela dan Pak Prabu saling pandang. "Hazel, Helena ....""Adinda," ucap Hazel lagi. Suaranya yang lirih membuat hati Helena berdenyut nyeri. Apalagi nama Adinda lagi-lagi keluar dari bibir Hazel, membuat dada Helena semakin sesak. "Din ...."Helena membuang muka. Tangannya mencengkeram erat pinggiran kebaya putih yang sampai detik ini masih ia kenakan.Bik Asih seakan paham dengan kondisi hati Sang Majikan. Wanita paruh baya itu mendekat dan menggenggam jemari Helena erat. Matanya menganak sungai, bibirnya bergetar melihat tatapan penuh luka dari kedua mata Helena."Non, kita pulang?" Ajak Bik Asih ragu. "Setidaknya ganti baju dulu, ayo, Non!"Helena bergeming. Kesadaran Hazel adalah hal yang paling dia tunggu, tapi ... siapa sangka jika calon suaminya justru mengingat nama perempuan lain. Dan Bu Nela serta Pak Prabu bahkan hanya bisa diam tanpa
***"Len, kamu keterlaluan!" desis Adinda berpura-pura marah. "Hazel sedang sakit, bukannya pengertian dan berbesar hati tapi kamu justru mengkambinghitamkan aku disini?"Helena tertawa sumbang. Malas sekali menatap wajah Adinda yang sedang memainkan perannya. Pipinya basah, namun bibirnya terus tertawa sambil menatap Adinda tajam. "Seharusnya, sebagai calon istri yang baik, kamu mendukung Hazel selama dia sakit, Helena. Tidak perduli siapa yang dia ingat saat dia membuka mata, asalkan Hazel masih bernapas sampai detik ini. Aku tidak menyangka, Len, kamu ... egois sekali dengan perasaanmu sendiri." Adinda geleng-geleng sambil terus berbicara seakan-akan dia peduli pada kondisi Hazel saat ini. "Aku memang orang di masa lalu, Hazel. Tapi aku tahu, kamu adalah calon istrinya dan Hazel butuh bantuan dariku karena hanya aku yang dia ingat. Kau pikir aku akan meracuni otaknya agar membencimu, begitu?"Helena semakin muak. Melihat wajah Bu Nela dan Pak Prabu yang mengiba membuatnya semakin
***"Hai, Len. Sudah lama?"Helena menggeleng lemah sembari melempar senyum tipis ke hadapan Danil. "Barusan banget. Duduk, Dan!"Danil menurut. Dia memanggil waiters dan memesan dua minuman dengan beda jenis dan rasa. Helena memilih jus alpukat sementara Danil memesan minuman bersoda."Kamu benar, Len." Kata-kata Danil membuat jantung Helena berdegup kencang. Perempuan itu tahu kemana arah pembicaraan Danil siang ini karena sebelumnya dialah yang meminta Danil memeriksa mobil Hazel yang saat ini masih berada di Kantor Polisi. "Pihak Kepolisian belum menyentuh sama sekali mobil Pak Hazel, Len. Mereka menunggu pihak keluarga memutuskan. Apakah kecelakaan yang menimpa Hazel adalah murni kecelakaan atau ada hal yang ingin diselidiki.""Lalu?" "Pak Prabu belum memutuskan apapun. Sepertinya beliau masih fokus dengan kesembuhan Pak Hazel," sahut Danil pada akhirnya. "Apa rencana kamu?"Helena menyandarkan punggungnya di kursi. Jemarinya yang lentik terlihat mengetuk-ngetuk meja sambil s
***"Hazel." Bu Nela terpaku di ambang pintu ketika melihat Hazel memeluk Adinda begitu erat. Keduanya terlihat sangat intim membuat Bu Nela buru-buru membuang pandangannya ke arah lain. "Ah, Mama," kata Hazel seraya melepaskan pelukan. Adinda membetulkan anak rambutnya dan tersenyum menatap Bu Nela yang justru mencebik melihatnya. "Bawa baju yang aku minta?" tanya Hazel berusaha mencairkan suasana."Ya. Mama bawa beberapa stel baju," jawab Bu Nela ketus. "Mama tidak mau ada orang asing di ruangan ini saat kamu sendirian. Lain kali jangan memberi ijin orang lain untuk masuk ke sini. Mama tidak mau ada fitnah nantinya."Hazel menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia nyengir sambil mengangguk patuh mendapat petuah Bu Nela. Beda Hazel, beda Adinda. Perempuan itu mencebik dan melengos ketika Bu Nela menyebutnya sebagai orang asing."Makan siang dulu, mau Mama suapi?" Hazel menggeleng cepat. "Aku bisa makan sendiri, Ma."Bu Nela terpaksa mengangguk. Wanita paruh baya itu mengeluarkan s
***"Selamat siang ...." Helena memasuki kamar Hazel setelah mengetuk pintu dan mendengar suara Bu Nela mempersilahkan dia masuk. "Apa kabar, Hazel?" tanya Helena lirih. Bibirnya terus tersenyum namun hatinya menangis melihat Hazel hanya memberikan respon datar ke arahnya."Apa kabar, Len?" Bu Nela menyambut Helena dengan hangat. "Mama rindu sekali, Sayang."Helena mengulas senyum. Mustahil jika dirinya tidak merindukan kebersamaan yang sempat tercipta antara dirinya dan keluarga Hazel. Namun melihat sorot mata Hazel yang tanpa ekspresi membuat nyali Helena tetiba menciut. Senyumnya terlihat kecut. "Aku baik, Ma," jawab Helena sendu. "Oh ya, aku bawakan buah buat ... Hazel." Suara Helena hampir tidak terdengar ketika di atas nakas matanya melihat keranjang buah yang bahkan belum terbuka. "Kenapa kamu repot-repot sekali, Len. Kamu datang kesini saja Mama sudah senang.""Aku ingin istirahat, Ma." Kata-kata Hazel bagai petir di telinga Helena. "Tolong jangan temu kangen disini, aku ing