"Kenapa ada orang yang begitu kepo, sih, sama rumah tangga orang lain? Dia siapa? Baru juga mimpin yayasan ini belum lama. Memangnya kalau dia atasan, aku gak berani?" Hana kesal dan geram karena ulah Marvin. "Ngapain ngomel-ngomel gak jelas gitu, Han?" tanya Luna yang sejak Hana masuk ruangan terus memperhatikan. "Itu Kepala Yayasan kamu yang sok kecakepan buat ulah! Ngapain coba nyuruh aku ninggalin Mas Adam hanya gara-gara aku dipoligami? G*la itu orang!" celetuk Hana saat itu. Beruntung di dalam ruangan itu hanya ada mereka berdua. "Pak Marvin maksudmu, Han?" Hana mengangguk sambil membereskan kertas-kertas yang berserakan di mejanya. "Apa jangan-jangan dia suka sama kamu, Han? Tapi, ucapannya itu ada benarnya juga lho, Ha. Kenapa kamu gak tinggalin suamimu itu?" terka Luna sambil menarik tangan Hana agar mereka bisa saling berpandangan."Apa, sih, kamu, Lun? Gak usah ngaco! Gak usah ikut-ikutan! Bukankah dia tahu aku sudah menikah? Kenapa gak sukanya sama kamu aja! Aku setuju
Hana kembali lagi ke dalam rumah dan berbaur kembali karena acara belum selesai. Masih banyak tamu undangan yang datang silih berganti termasuk teman-teman dari Hana sendiri. "Wah selamat, Pak Adam, anaknya tampan sekali. Tapi, kok gak ada mirip-miripnya sama Pak Adam, ya?" celetuk salah satu ibu-ibu yang melihat bayi Keenan. "Kalau ngomong itu dijaga, Bu! Jangan asal jeplak begitu saja," timpal Alya yang tidak suka. "Maaf, Bu, bukan begitu. Tapi, biasanya, kan, ada lah mirip-miripnya walaupun cuma hidung. He ... he ... he ..." Ibu-ibu itu tidak mau kalah karena memang beda jauh dengan Adam maupun Alya. "Maaf, ya, ibu-ibu saya potong ucapannya. Mungkin memang belum kelihatan, Bu. Mari saya antar untuk ambil makanan!" ucap Hana menengahi. Hana tak ingin jika acara itu menjadi rusak karena ulah segelintir orang. Adam merasa lega karena Hana mengerti situasi. Luna terlihat datang bersama dengan Marvin. Mereka berdua sama-sama datang dengan wajah yang kurang bersahabat. Jika bukan k
Hana benar-benar terkejut ketika dia menyenggol pot bunga. Dengan cepat dia pergi dari tempatnya berdiri karena takut ketahuan oleh Alya. Hana segera pergi ke kamarnya dan beruntung dia tidak ketahuan oleh Alya. "Alhamdulillah aku gak ketahuan. Tapi, ucapan mereka tadi apa maksudnya? Kenapa Alya dan laki-laki itu bicara begitu? Apa jangan-jangan —?" Pikiran Hana langsung mengarah ke Keenan yang diakui sebagai anak suaminya bersama dengan Alya. "Ya Allah, Mas Adam! Kalau memang benar kata mereka, berarti Mas Adam bukan ayah dari anak itu. Dan berarti Alya berbohong? Benarkah itu? Aku harus selidiki ini. Harus! Jika memang benar begitu, aku gak boleh tinggal diam! Aku harus membuktikan kepada Mas Adam kalau dia dibohongi dan dijebak oleh Alya. Ya, aku harus bertahan di rumah ini!"Tekat besar dalam diri Hana membuatnya kini lebih mantap untuk tinggal lebih lama di sana. Dia ingin sekali mengungkap kebenaran soal ayah kandung Keenan. Setelah hatinya sudah tenang, Hana kembali lagi be
Hana menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia sama sekali tidak melakukan perbuatan itu. "Tidak, Mas, bukan aku. Buat apa aku melakukan itu kepada bayi kecil yang tak berdosa? Jangankan mencubit, Hana hendak menyentuh Keenan saja tidak boleh sama Alya," sanggah Hana cepat. "Gak usah ngeles atau beralasan, Mbak! Jelas-jelas ini perbuatan Mbak Hana, kan? Bukankah tadi aku sudah peringatkan Mbak Hana untuk tidak masuk ke sini? Kenapa Mbak Hana nekat? Pasti karena ingin melakukan ini, kan? Iya, kan?" Alya terus saja mengintimidasi Hana tanpa ampun. "Gak, Mas! Bohong itu, Mas. Aku hanya —""Sudah ... Sudah! Aku pusing mendengar kalian berdebat! Alya, cepat tenangkan Keenan dulu. Hana, kamu bisa keluar dari kamar ini, kan?" potong Adam sebelum Hana selesai bicara. "Aku kecewa sama kamu, Mas!" ucap Hana sebelum meninggalkan kamar Alya. Tentu saja Alya puas dan bisa tersenyum senang, walaupun dia harus mengorbankan bayi kecilnya. Ya, sebenarnya Alya sendirilah yang mencubit bayi itu saat Adam
Setelah selesai sholat subuh, Abah Hasan berpamitan untuk pulang karena ada hal yang harus Beliau kerjakan. Ayah Tri yang sejatinya akan berangkat bersama dirinya saat subuh tidak jadi karena Ayah Tri semalam setelah selesai mengobrol langsung pulang karena ada satu dan lain hal. "Abah pamit dulu, ya, Nduk. Ingat, yang akur sama Alya." Sebuah nasehat yang sudah pasti terlontar dari mulut Beliau. "Nggih, Bah. Hati-hati, ya, Bah! Kabari Hana kalau sudah sampai," jawab Hana."Adam, jaga dua istrimu baik-baik. Jika memang kamu sudah tidak sanggup dengan keduanya, kembalikan Hana pada Abah." Ucapan yang sangat mengena di hati Adam. Kali ini Adam hanya merespon dengan anggukan. Setelah berpamitan, Abah Hasan diantar oleh Adam ke terminal. Tak ada obrolan yang berarti diantara keduanya karena Adam agak canggung. "Hati-hati, Bah! Terima kasih sudah berkenan datang," ucap Adam ketika Abah Hasan hendak masuk ke dalam bus. "Sama-sama. Abah titip Hana, ya, Dam. Jaga dia dan ingatkan dia jika
Hana tertawa kecil dan menertawakan kondisinya ini. Sungguh tidak menyangka jika dia mempunyai madu bermuka dua dan pandai bersilat lidah. Jangankan menggendong Keenan, masuk ke kamar Alya saja tidak. Dia tahu diri setelah Alya melarangnya untuk dekat-dekat dengan Keenan. Dia paham betul rasanya menjadi ibu baru dan ibu muda. "Apa yang harus saya jelaskan untuk hal yang tidak aku lakukan, Mas? Aku sangat menghargai permintaan Alya untuk tidak menggendong Keenan. Aku juga pernah menjadi Ibu, Mas."Adam pun sangat paham sifat Hana. Tentu saja yang dikatakan oleh Hana tidak mungkin bohong. Tapi dia juga tidak mungkin langsung menuduh Alya berbohong. Dia harus memikirkan perasaan kedua istrinya. Jangan sampai mereka berpikir kalau Adam hanya berpihak pada salah satunya. "Iya aku paham. Alya, kenapa kamu begini? Jangan lakukan ini lagi. Kita semua sekarang keluarga. Tolong dengan sangat bantu aku berlayar dalam kapal ini. Jangan sampai kapal ini karam karena sesuatu yang sebenarnya tidak
Setelah kejadian itu, Alya jadi lebih banyak diam dan selalu menghindar ketika bertemu dengan Hana. Tapi itu tak membuat Hana terganggu. Dia semakin enjoy menjalani hari-harinya. Hingga suatu malam, Adam bicara empat mata dengan Alya mengenai hal ini. Karena dia merasa tidak nyaman ketika kedua istrinya tidak saling tegur padahal satu rumah. "Al, boleh aku masuk?" Adam mengintip dari balik pintu sebelum dia masuk."Masuk aja, Mas, ngapain pakai izin segala?" jawab Alya yang tengah memberikan ASI kepada Keenan. Hana mengetahui suaminya masuk ke kamar Alya dan dia sudah terbiasa dengan itu. Tak ingin terlalu penasaran dengan urusan keduanya, Hana memilih duduk di teras sambil menikmati udara malam yang terasa sangat dingin. Lima belas di teras, tiba-tiba Alya menyusulnya dan langsung duduk di sebelah Hana. Tak ada kata apapun yang keluar dari mulutnya. Dia diam seribu bahasa tanpa menatap atau menoleh ke arah Hana. Karena hatinya tengah tenang, Hana pun tidak keberatan jika Alya dud
Hana senang bukan main karena sekarang hati Alya mulai melunak. Dia dan Alya sering bergantian menjaga Keenan. Keduanya tampak akur hingga membuat Adam merasa senang. "Alhamdulillah, Ya Allah. Semoga mereka berdua bisa akur seterusnya seperti ini. Aamiin!" Teriring doa dan harapan dari Adam ketika melihat keduanya secara bergantian menjaga Keenan. Tak terasa Adam menitikkan air mata. Air mata bahagia karena Hana dan Alya sudah jarang berselisih paham. Tak ingin kedua istrinya tahu dia menangis, Adam segera menghapusnya dan mulai menghampiri mereka. "Wah seperti lagi asyik, nih! Sampai Mas dilupakan," celetuk Adam dengan gaya bercanda. "Eh, Mas Adam. Iya, ini, Mas, habisnya Keenan lagi lucu-lucunya, Mas. Mas Adam gak ke gudang?" tanya Hana. "Nanti saja, Sayang. Mas masih mau menikmati kebahagiaan ini bersama kalian," jawab Adam sembari tersenyum. "Al, terima kasih karena kamu sudah bisa berubah. Terima kasih juga sudah mengizinkan Hana ikut merawat Keenan. Mas harap kondisi ini a