Mata Adam tidak bisa beralih dari Marvin yang sudah naik ke bus. Tempat duduk Marvin tepat berada dibelakang Hana dan tentu saja itu membuat Adam khawatir. [Hati-hati dengan orang yang duduk di belakangmu, Sayang. Ingat itu!] Sebuah pesan di kirim Adam ke ponsel istrinya. Ketika membuka pesan itu, Hana tersenyum dan melihat ke arah Adam. Dia mengangguk pelan sebagai jawaban atas pesan dari Adam. Hana juga melambaikan tangan pada Adam. Jika ditanya apakah Hana tidak khawatir meninggalkan Adam sendirian dengan Alya? Tentu saja tidak. Ada Bi Imah yang sudah siap melaporkan apapun yang terjadi di rumah. "Han, memangnya kamu gak takut pergi jauh?" tanya Luna dengan berbisik. "Takut? Maksudnya takut apa, Lun?" tanya Hana balik dengan menoleh sebentar ke arah Luna. "Kamu gak tahu apa pura-pura gak tahu? Kan, kamu ninggalin suamimu bareng istri keduanya. Mereka jadi bisa punya banyak waktu berduaan, dong, Han. Iya gak?" Alis mata Luna naik-turun dan bibirnya tersenyum lebar. "Lha meman
Dalam pesannya, Adam marah-marah dan meminta Hana untuk segera pulang padahal Hana baru saja sampai lokasi dan mereka belum melakukan kunjungan. Karena ingin tahu masalah yang sebenarnya, Hana langsung menelepon Adam untuk membicarakan hal ini. "Ass—""Pokoknya aku gak mau tahu, kamu harus pulang! Jika perlu, aku akan menjemputmu!" Belum selesai Hana mengucap salam, Adam sudah mengomel. Hana menghela nafas panjang. Jika diladeni, pasti akan terjadi perang dunia. Dia memilih tak menanggapi ancaman dari Adam itu. "Assalamualaikum, Mas." Hana mengulangi ucapan salamnya. Hening. Adam tak menjawab salam dari Hana. "Menjawab salam dari orang itu wajib hukumnya, lho, Mas," sindir Hana. "Waalaikumsalam," jawab Adam ketus. "Ya Allah, Mas, kamu itu kenapa, sih? Bukannya kemarin Mas sudah mengizinkan? Aku sudah sampai lho, Mas. Dan pagi ini kami serombongan akan berkunjung ke yayasan yang lain. Memangnya ada apa, sih, Mas? Hana benar-benar gak ngerti," ujar Hana panjang lebar. Ya, Hana t
Hana terlihat menangis. Dia terduduk lemas dengan ponsel masih dia genggam. Ucapan Ibu Tuti membuat tubuh Hana limbung. "Ya Allah, Abah ...." lirih Hana. Air matanya langsung mengalir begitu derasnya. Menyadari ada yang salah dengan Hana, Luna dan Marvin segera menghampirinya. "Han, kamu kenapa?" tanya Luna. Hana menatap Luna dengan mata yang penuh dengan air mata. "Aku harus gimana, Lun? Abah, Lun. Abah!" "Abah? Memangnya Abah kenapa, Han? Bicara jangan setengah-setengah," timpal Luna. Marvin yang tak tahu arah pembicaraan mereka hanya diam sampai semuanya jelas. Jika dilihat dari ekspresi Hana, jelas ada sesuatu buruk yang baru saja dia dengar. "Abah kecelakaan dan sekarang kritis di rumah sakit, Lun. Aku harus bagaimana, Lun? Jarak kota ini dengan kota Abah berkali-kali lipat. Sedangkan di sini juga masih ada acara yang harus kita selesaikan. Aku harus bagaimana, Luna?" Hana sesenggukan karena menahan agar dia tidak menangis dengan kencang. Luna mencoba untuk menenangkan Han
"Ada apa, Bu Hana? Suami kamu marah?" tanya Marvin karena dia mendengar sedikit suara Adam saat berbicara kencang. Hana tersenyum dan menggelengkan kepala. "Tak usah dipikirkan, Pak. Saat ini fokusku hanya gimana caranya sampai di rumah Abah," kata Hana tanpa menjawab pertanyaan Marvin. Marvin mengangguk dan paham. Dia sudah tak berani bertanya lagi dan memilih fokus melihat ke depan. Perjalanan mereka masih sangatlah jauh. Karena sudah hampir gelap, Marvin menawarkan diri kepada Hana untuk makan terlebih dahulu. "Maaf, Pak, saya tidak lapar," tolak Hana halus. Jangankan untuk makan, minum saja Hana tak mampu menelannya. Hanya ada Abah Hasan dalam pikiran Hana, tak ada yang lain selain itu. Bahkan ketika Adam terus-menerus menghubunginya saja, Hana mengabaikannya. Hana tahu kalau Adam akan mengatakan apa jika dia mengangkatnya. Jadi, biarlah Adam berasumsi dengan pikiran dia sendiri. "Kalau kamu tidak makan, nanti kamu sakit, Hana. Kalau kamu sakit, siapa yang akan merawat ayah
Melihat Marvin, ingin rasanya Adam memberi pelajaran kepada laki-laki yang merupakan atasan dari Hana itu. Tapi, dia juga tahu waktu. Saat ini Abah Hasan dalam kondisi kritis dan istrinya sedang syok. Jadi, Adam lebih memilih menenangkan Hana daripada mencari ribut. "Kondisi Abah gimana, Mas? Apa Mas Adam sudah bertemu dengan dokter yang merawat Abah?" tanya Hana yang sudah jauh lebih tenang. "Sudah. Kata dokter, Abah mengalami pendarahan di otak akibat benturan yang keras. Kita berdoa saja semoga Abah segera melewati masa kritisnya, ya, Sayang," jawab Adam dengan mencium kening Hana. Adam sengaja melakukan itu agar dilihat oleh Marvin yang tak kunjung pergi. Dia ingin Marvin sadar jika Hana itu adalah miliknya. Dia adalah suami Hana yang sah. "Ya Allah. Kenapa bisa begini, Mas? Memangnya Abah kecelakaan gimana, Mas?" Hana kembali lagi tak kuasa menahan air mata. "Menurut penuturan Pak RT, Abah ditabrak orang tak dikenal ketika Abah hendak pulang dari beli bahan bakar motor, Han.
Hana menatap mata laki-laki yang sudah menemaninya beberapa tahun itu. Ternyata menikah itu memang tidaklah mudah. Jelas-jelas Adam sendiri yang sudah mengkhianati dirinya. Tapi kini, dirinya malah dipojokkan dengan tuduhan-tuduhan Adam yang tidak mendasar. "Apa aku salah cemburu dengan istriku sendiri? Dia sudah jelas menyukaimu, Han! Bahkan dia pernah memintaku untuk melepasmu. Salahkah aku?" kata Adam tanpa bersalah sedikitpun. Hana tertawa kecil. Dia tak menyangka kalimat itu keluar dari mulut suaminya. Hana memilih duduk bersandar di kursi sembari menunggu dokter selesai menangani abahnya. "Han! Kamu dengar aku tidak? Jauhi dia, Han!" pinta Adam lagi. "Kamu serius bicara seperti itu, Mas? Apa Mas Adam gak sadar dengan perbuatan Mas Adam sendiri?" timpal Hana yang berusaha menahan emosi. "Maksud kamu apa, Han?" tanya Adam. Laki-laki itu ikut duduk di samping Hana. "Sudahlah, Mas, aku capek! Yang penting buatku saat ini adalah kesembuhan Abah. Tolong mengertilah!" kata Hana l
Hana tertawa kecil. Pertanyaan macam apa yang diajukan oleh Adam kali ini? Tak sadarkah Adam jika situasinya saat ini tidak tepat?"Jawab aku, Han! Kamu bahagia bersamaku?" Pertanyaan yang sama diulangi oleh Adam. "Kamu mau tahu jawabannya? Beneran mau tahu, Mas?" tanya Hana sebelum menjawabnya. "Iya, aku mau tahu." Tatapan mata Adam tak pernah lepas memandang Hana. "Iya aku bahagia. Tapi —" Hana sengaja menggantung kalimatnya. "Tapi apa, Han? Katakan saja tidak usah takut." Sangat percaya diri sekali Adam berucap. Sikapnya membuat Hana semakin sakit. Ternyata suaminya tidak sadar secara penuh kalau sudah sangat menyakiti hati Hana. "Aku memang bahagia hidup bersamamu. Tapi, sebelum Alya masuk dalam rumah tangga kita. Dengan singkat, kamu menghancurkan semuanya, Mas! Kamu gak sadar itu?" ucap Hana setenang mungkin. "Aku, kan, sudah katakan alasannya ke kamu, Han! Tolong mengertilah!" Adam tetap kekeuh kalau dia hanya ingin bertanggung jawab atas kehamilan Alya. "Kamu benar-ben
Adam sangat bingung hendak menjelaskan bagaimana. Dia sendiri sebenarnya tidak tahu pasti kejadiannya benar terjadi atau tidak. Hanya berbekal pengakuan Alya dan juga foto-foto mereka yang tanpa busana. "Adam juga kurang yakin, Bah. Tapi, saat itu Adam —" Malu rasanya jika harus menceritakan kalau dia menyentuh miras kembali karena depresi kehilangan anaknya. "Tapi, apa, Dam? Ceritakan semua saja. Abah gak akan marah karena itu semua sudah terjadi," ucap Abah Hasan. Ada beberapa ganjalan di hati Abah Hasan. Beberapa hari ini, Beliau selalu saja mimpi buruk. Hal itu pula yang membuat pikiran Abah Hasan tidak fokus dan terjadi kecelakaan. "Jujur saja, Dam. Beberapa hari ini, Abah mimpi buruk tentang kalian semua. Abah melihat Hana tengah kesakitan dan Alya tertawa tanpa mempedulikan kondisi Hana. Abah tak melihatmu. Kamu tidak ada di sana dan meninggalkan Hana sendirian. Abah takut kamu membuang Hana begitu saja. Umur Abah tinggal sebentar lagi. Siapa yang akan menjaganya jika Abah