Hana tertawa kecil dan menertawakan kondisinya ini. Sungguh tidak menyangka jika dia mempunyai madu bermuka dua dan pandai bersilat lidah. Jangankan menggendong Keenan, masuk ke kamar Alya saja tidak. Dia tahu diri setelah Alya melarangnya untuk dekat-dekat dengan Keenan. Dia paham betul rasanya menjadi ibu baru dan ibu muda. "Apa yang harus saya jelaskan untuk hal yang tidak aku lakukan, Mas? Aku sangat menghargai permintaan Alya untuk tidak menggendong Keenan. Aku juga pernah menjadi Ibu, Mas."Adam pun sangat paham sifat Hana. Tentu saja yang dikatakan oleh Hana tidak mungkin bohong. Tapi dia juga tidak mungkin langsung menuduh Alya berbohong. Dia harus memikirkan perasaan kedua istrinya. Jangan sampai mereka berpikir kalau Adam hanya berpihak pada salah satunya. "Iya aku paham. Alya, kenapa kamu begini? Jangan lakukan ini lagi. Kita semua sekarang keluarga. Tolong dengan sangat bantu aku berlayar dalam kapal ini. Jangan sampai kapal ini karam karena sesuatu yang sebenarnya tidak
Setelah kejadian itu, Alya jadi lebih banyak diam dan selalu menghindar ketika bertemu dengan Hana. Tapi itu tak membuat Hana terganggu. Dia semakin enjoy menjalani hari-harinya. Hingga suatu malam, Adam bicara empat mata dengan Alya mengenai hal ini. Karena dia merasa tidak nyaman ketika kedua istrinya tidak saling tegur padahal satu rumah. "Al, boleh aku masuk?" Adam mengintip dari balik pintu sebelum dia masuk."Masuk aja, Mas, ngapain pakai izin segala?" jawab Alya yang tengah memberikan ASI kepada Keenan. Hana mengetahui suaminya masuk ke kamar Alya dan dia sudah terbiasa dengan itu. Tak ingin terlalu penasaran dengan urusan keduanya, Hana memilih duduk di teras sambil menikmati udara malam yang terasa sangat dingin. Lima belas di teras, tiba-tiba Alya menyusulnya dan langsung duduk di sebelah Hana. Tak ada kata apapun yang keluar dari mulutnya. Dia diam seribu bahasa tanpa menatap atau menoleh ke arah Hana. Karena hatinya tengah tenang, Hana pun tidak keberatan jika Alya dud
Hana senang bukan main karena sekarang hati Alya mulai melunak. Dia dan Alya sering bergantian menjaga Keenan. Keduanya tampak akur hingga membuat Adam merasa senang. "Alhamdulillah, Ya Allah. Semoga mereka berdua bisa akur seterusnya seperti ini. Aamiin!" Teriring doa dan harapan dari Adam ketika melihat keduanya secara bergantian menjaga Keenan. Tak terasa Adam menitikkan air mata. Air mata bahagia karena Hana dan Alya sudah jarang berselisih paham. Tak ingin kedua istrinya tahu dia menangis, Adam segera menghapusnya dan mulai menghampiri mereka. "Wah seperti lagi asyik, nih! Sampai Mas dilupakan," celetuk Adam dengan gaya bercanda. "Eh, Mas Adam. Iya, ini, Mas, habisnya Keenan lagi lucu-lucunya, Mas. Mas Adam gak ke gudang?" tanya Hana. "Nanti saja, Sayang. Mas masih mau menikmati kebahagiaan ini bersama kalian," jawab Adam sembari tersenyum. "Al, terima kasih karena kamu sudah bisa berubah. Terima kasih juga sudah mengizinkan Hana ikut merawat Keenan. Mas harap kondisi ini a
Mata Adam tidak bisa beralih dari Marvin yang sudah naik ke bus. Tempat duduk Marvin tepat berada dibelakang Hana dan tentu saja itu membuat Adam khawatir. [Hati-hati dengan orang yang duduk di belakangmu, Sayang. Ingat itu!] Sebuah pesan di kirim Adam ke ponsel istrinya. Ketika membuka pesan itu, Hana tersenyum dan melihat ke arah Adam. Dia mengangguk pelan sebagai jawaban atas pesan dari Adam. Hana juga melambaikan tangan pada Adam. Jika ditanya apakah Hana tidak khawatir meninggalkan Adam sendirian dengan Alya? Tentu saja tidak. Ada Bi Imah yang sudah siap melaporkan apapun yang terjadi di rumah. "Han, memangnya kamu gak takut pergi jauh?" tanya Luna dengan berbisik. "Takut? Maksudnya takut apa, Lun?" tanya Hana balik dengan menoleh sebentar ke arah Luna. "Kamu gak tahu apa pura-pura gak tahu? Kan, kamu ninggalin suamimu bareng istri keduanya. Mereka jadi bisa punya banyak waktu berduaan, dong, Han. Iya gak?" Alis mata Luna naik-turun dan bibirnya tersenyum lebar. "Lha meman
Dalam pesannya, Adam marah-marah dan meminta Hana untuk segera pulang padahal Hana baru saja sampai lokasi dan mereka belum melakukan kunjungan. Karena ingin tahu masalah yang sebenarnya, Hana langsung menelepon Adam untuk membicarakan hal ini. "Ass—""Pokoknya aku gak mau tahu, kamu harus pulang! Jika perlu, aku akan menjemputmu!" Belum selesai Hana mengucap salam, Adam sudah mengomel. Hana menghela nafas panjang. Jika diladeni, pasti akan terjadi perang dunia. Dia memilih tak menanggapi ancaman dari Adam itu. "Assalamualaikum, Mas." Hana mengulangi ucapan salamnya. Hening. Adam tak menjawab salam dari Hana. "Menjawab salam dari orang itu wajib hukumnya, lho, Mas," sindir Hana. "Waalaikumsalam," jawab Adam ketus. "Ya Allah, Mas, kamu itu kenapa, sih? Bukannya kemarin Mas sudah mengizinkan? Aku sudah sampai lho, Mas. Dan pagi ini kami serombongan akan berkunjung ke yayasan yang lain. Memangnya ada apa, sih, Mas? Hana benar-benar gak ngerti," ujar Hana panjang lebar. Ya, Hana t
Hana terlihat menangis. Dia terduduk lemas dengan ponsel masih dia genggam. Ucapan Ibu Tuti membuat tubuh Hana limbung. "Ya Allah, Abah ...." lirih Hana. Air matanya langsung mengalir begitu derasnya. Menyadari ada yang salah dengan Hana, Luna dan Marvin segera menghampirinya. "Han, kamu kenapa?" tanya Luna. Hana menatap Luna dengan mata yang penuh dengan air mata. "Aku harus gimana, Lun? Abah, Lun. Abah!" "Abah? Memangnya Abah kenapa, Han? Bicara jangan setengah-setengah," timpal Luna. Marvin yang tak tahu arah pembicaraan mereka hanya diam sampai semuanya jelas. Jika dilihat dari ekspresi Hana, jelas ada sesuatu buruk yang baru saja dia dengar. "Abah kecelakaan dan sekarang kritis di rumah sakit, Lun. Aku harus bagaimana, Lun? Jarak kota ini dengan kota Abah berkali-kali lipat. Sedangkan di sini juga masih ada acara yang harus kita selesaikan. Aku harus bagaimana, Luna?" Hana sesenggukan karena menahan agar dia tidak menangis dengan kencang. Luna mencoba untuk menenangkan Han
"Ada apa, Bu Hana? Suami kamu marah?" tanya Marvin karena dia mendengar sedikit suara Adam saat berbicara kencang. Hana tersenyum dan menggelengkan kepala. "Tak usah dipikirkan, Pak. Saat ini fokusku hanya gimana caranya sampai di rumah Abah," kata Hana tanpa menjawab pertanyaan Marvin. Marvin mengangguk dan paham. Dia sudah tak berani bertanya lagi dan memilih fokus melihat ke depan. Perjalanan mereka masih sangatlah jauh. Karena sudah hampir gelap, Marvin menawarkan diri kepada Hana untuk makan terlebih dahulu. "Maaf, Pak, saya tidak lapar," tolak Hana halus. Jangankan untuk makan, minum saja Hana tak mampu menelannya. Hanya ada Abah Hasan dalam pikiran Hana, tak ada yang lain selain itu. Bahkan ketika Adam terus-menerus menghubunginya saja, Hana mengabaikannya. Hana tahu kalau Adam akan mengatakan apa jika dia mengangkatnya. Jadi, biarlah Adam berasumsi dengan pikiran dia sendiri. "Kalau kamu tidak makan, nanti kamu sakit, Hana. Kalau kamu sakit, siapa yang akan merawat ayah
Melihat Marvin, ingin rasanya Adam memberi pelajaran kepada laki-laki yang merupakan atasan dari Hana itu. Tapi, dia juga tahu waktu. Saat ini Abah Hasan dalam kondisi kritis dan istrinya sedang syok. Jadi, Adam lebih memilih menenangkan Hana daripada mencari ribut. "Kondisi Abah gimana, Mas? Apa Mas Adam sudah bertemu dengan dokter yang merawat Abah?" tanya Hana yang sudah jauh lebih tenang. "Sudah. Kata dokter, Abah mengalami pendarahan di otak akibat benturan yang keras. Kita berdoa saja semoga Abah segera melewati masa kritisnya, ya, Sayang," jawab Adam dengan mencium kening Hana. Adam sengaja melakukan itu agar dilihat oleh Marvin yang tak kunjung pergi. Dia ingin Marvin sadar jika Hana itu adalah miliknya. Dia adalah suami Hana yang sah. "Ya Allah. Kenapa bisa begini, Mas? Memangnya Abah kecelakaan gimana, Mas?" Hana kembali lagi tak kuasa menahan air mata. "Menurut penuturan Pak RT, Abah ditabrak orang tak dikenal ketika Abah hendak pulang dari beli bahan bakar motor, Han.