Kedua remaja itu terlihat berbincang serius di toko di mana Andira bekerja separuh hari, karena paginya gadis itu harus bersekolah. Toko tempat dia bekerja adalah milik sang paman. Perkenalan Hasan dan Andira terjadi, saat kedunya pulang menaiki angkutan umum yang sama. Rumah mereka yang berdekatan pun membuat pertemanan keduanya semakin erat, ditambah lagi, Hasan membuka bengkel motor kecil di seberang toko tempat Andira bekerja."Kamu mau 'kan?"Andira tampak berpikir sejenak. Dia ragu apakah bisa memenuhi permintaan lelaki itu. Hasan memintanya mengorek alasan sebenarnya Nazeela menerima pernikahan itu."Kamu tau 'kan, Kak Zee itu agak tertutup untuk masalah pribadi. Mana mau dia cerita, apalagi sama aku."Hasan tersenyum. "Ya, jangan terlalu kentara. Pura-pura nanya aja. Apa kek, aku yakin kamu pasti bisa."Andira pun mengangguk. "Aku coba, tapi ngga janji juga.""Oke, makasih, ya. Kamu emang temen terbaiklah," puji Hasan membuat mata gadis itu menyipit dengan sudut bibir berkedut
Dru meremas rambutnya yang mulai memanjang. Setelah perdebatan di rumah Nazeela, pria itu memilih menenangkan diri ke villa yang berada di daerah pegunungan. Dia berharap udara segar sekitar bisa menjernihkan pikirannya yang kacau balau.Tak pernah pria itu merasa sehancur itu. Setiap perkataan Nazeela selalu terngiang menghantam gendang telinganya. Gadis itu tanpa tendeng aling membandingkan dirinya dengan Fairuz. Menganggap pria itu lebih baik darinya. Tak kuat menahan sesak di dada, Dru meraih sarung tinju yang tergantung di dinding kamar. Amarahnya perlu pelampiasan dan.pria itu memilih menyalurkan emosinya lewat olah raga. Setidaknya, hal itu bisa membantu melupakan masalahnya sejenak.Lima belas menit menghajar samsak yang tergantung di kamar, tubuh pria yang sangat atletis itu bercucuran peluh, napasnya pun terengah-engah. Hanya dering ponsel yang mampu menjeda aktifitasnya itu. Dahi Dru berkerut ketika membaca nama pemanggil yang tampil di layar benda canggih tersebut.Dru mel
Fairuz tak memedulikan Kinaya yang terus mengoceh di depannya. Wanita itu mencecarnya dengan pertanyaan. Sejak Kinaya tahu bahwa dia akan menikahi Nazeela, wanita itu tak berhenti mengganggu. Membujuk Fairuz untuk membatalkan niatnya. Sempat kedua orang itu berdebat yang diakhiri deraian air mata dari wanita tersebut. Akan tetapi, tak sejengkal pun pria itu mundur. Bagi Fairuz, menikahi Nazeela adalah lambang kemenangannya atas Dru. Dia akan membuat pria itu kehilangan untuk yang kedua kali dan dia pastikan akan lebih sakit. Caranya? Tentu saja menciptakan neraka pernikahan untuk gadis itu. Melihat orang yang kita cintai hidup menderita, tetapi tak bisa menolongnya, adalah siksaan yang paling berat. Apalagi Nazeela tipe gadis yang memegang janji. Dia tidak akan berkhianat pada janji pernikahan, meski tersakiti. "Fai, lihat aku ...."Suara Kinaya yang lirih membuyarkan lamunan Fairuz tentang Nazeela dan Dru. Wajah wanita itu terlihat kuyu dengan lingkar hitam di bawah matanya. Sejak
Dru menimbang flashdisk yang ada di tangannya. Jantung pria itu berdegup dua kali lebih cepat dari seharusnya. Harapan besar tersemat pada benda kecil tersebut. Dia berharap semua tuduhan yang dilayangkan Fairuz bisa terbantahkan, sekaligus menjawab rasa penasarannya tentang sesuatu. Penjelasan Fairuz beberapa waktu yang lalu, mau tidak mau memantik rasa ingin tahunya. Jika benar keadaan Farah baik-baik saja beberapa jam sebelum dia tinggalkan, tidak mungkin wanita itu sesak napas secara tiba-tiba. Dru memejamkan mata, mencoba menggali ingatannya di hari terakhir menemui Farah. Masih teringat jelas di ruang mata bagaimana wanita tersebut menggapai sesuatu. Dru yang cemas gegas mendekat. Alih-alih Farah malah mencengkeram tangan sang pria dengan bibir komat-kamit ingin mengatakan sesuatu. Jika, memang murni karena komplikasi, tidak mungkin ekspresi Farah seperti orang ketakutan. Dru yang saat itu tak bisa berpikir jernih, tak menaruh curiga pada kata-kata terakhir Farah. Hempasan dau
Seorang gadis menatap pantulan diri di dalam cermin. Dengan tinggi semampai, sedang mengenakan baju pengantin berwarna putih tulang, terlihat sangat indah melekat di tubuhnya. Hijab yang dia kenakan pun menambah anggunnya pesona seorang Nazeela Sahara.Harusnya hari ini adalah momentum di mana seorang gadis akan menangis bahagia. Karena purna sudah menempuh perjalanan sendirian. Seorang pria akan mengambil tanggung jawab atas dirinya. Menuntun dan menjadi pelindung hingga ajal menjemput. Nyatanya, malah kesedihan menusuk dada yang dirasakan Nazeela. Air matanya tak berhenti berderai sejak tadi. Pria gemulai yang menjadi penata riasnya berkali-kali berdecak kesal karena harus memperbaiki riasan gadis tersebut. Namun, Nazeela tak memedulikan. Biar saja bulir bening itu keluar. Bukankah dia sendiri yang telah memutuskan jalan ini? Bukankah dia telah mengikhlaskan hati menerima garis takdir yang tak sesuai dengan kehendaknya? Dan dia tidak akan pernah menyesali keputusannya. Tangis itu
Para tamu undangan memenuhi ballroom hotel yang telah disulap menjadi tempat resepsi pernikahan Fairuz. Kebanyakan dari mereka adalah pengusaha, sosialita, dan para selebriti yang memang berada dalam naungan perusahaan pria tersebut.Aneka bunga warna-warni yang sengaja dipesan dari luar negeri terlihat mendominasi sudut ruangan. Alunan musik dari grup terkenal turut menyemarakkan resepsi itu. Tampak di atas pelaminan dua orang yang baru saja menikah menerima ucapan selamat dari para tamu. Wajah yang pengantin wanita terlihat sangat ceria. Seolah purnama telah pindah cahayanya ke sana. Berbanding terbalik dengan raut sang pengantin pria. Ekspresinya begitu datar, sesekali senyum palsu dia ukir di bibir saat bersalam dengan tamu undangan.Mata pria itu liar menyapu sesisi ruangan. Akan tetapi, manik matanya tak menangkap sosok yang dia cari. Entah mengapa ada resah yang tiba-tiba menusuk dadanya. Semacam perasaan bersalah yang teramat dalam. Mungkin saat ini almarhum Farah tengah mengu
Nazeela menunduk ketika Fairuz berjalan mendekatinya. Gadis itu meremas jemari di pangkuan dengan perasaan gugup memenuhi rongga dadanya. Benak gadis yang masih mengenakan hijab itu bertanya-tanya, ada apa gerangan pria itu mendatanginya. Bukankah seharusnya dia bersama Kinaya?"Kamu tau siapa yang datang kepernikahanku?" Fairuz berdiri menjulang di hadapan Nazeela. Gadis itu menggeleng pelan, membuat Fairuz gemas sendiri. "Aku bicara padamu, Nazeela Sahara," ujarnya dengan nada ketus.Nazeela terpaksa mengangkat pandangannya, hingga sorot keduanya bertemu. Manik berselaput bening itu memaku mata Fairuz. Ada gelegar asing yang merayap pelan di dinding hati, membuat dada pria itu berdebar-debar. Harus Fairuz akui dia mulai terpengaruh dengan kehadiran Nazeela. Gadis itu dengan kesederhanaan dan ketegarannya, justru membuat hatinya perlahan terpikat."Wajah Bang Fairuz kenapa?" Pertanyaan Nazeela membuyarkan lamunan Fairuz. Pria itu menyentuh pipinya yang terasa sakit karena pukulan D
Nazeela baru saja menyimpan mukenanya ke dalam lemari. Dia kemudian membuka jendela kamar dan menghirup udara segar di pagi hari. Bibir gadis itu mengulas senyum. Matanya dimanjakan warna hijau yang terhampar luas dibawah sana. Kamarnya yang berada di lantai dua, membuatnya bebas mengamati apa saja yang bisa ditangkap oleh mata. Sisa hujan semalam menggantung di ujung daun bunga-bunga krisan. Mendung masih setia bergelayut di langit. Dia tak hirau dengan sang surya yang mulai merangkak naik.Puas mengamati menatap keluar kamar, Nazeela memilih membersihkan diri agar pikirannya kembali tenang. Semalam gadis itu tak bisa memejamkan mata. Satu minggu setelah pernikahannya, ucapan Fairuz menggema di gendang telinganya. Benarkah pria itu bertengkar dengan Dru? Tapi kenapa? Apakah ...?Nazeela tersenyum getir dengan pemikirannya sendiri. Mana mungkin pria yang sudah dia sakiti itu bertengkar karenanya. Siapalah dia, hanya seorang gadis yang tidak beruntung, yang pasrah menjalani takdir yang