"Apa karena kami hanya anak tiri, jadi Bunda tak mau lagi mengurus kami?" tanya Arsyi pelan tapi seolah bagai bom yang diledakkan tepat di atas kepalanya.
Dina termangu matanya menatap nanar dua orang anak tirinya, otaknya seketika blank, tak bisa memikirkan satu kata pun yang bisa dia ucapkan.Anak-anak itu memang bukan lahir dari rahimnya tapi Dina bersumpah kalau dia menyayangi keduanya seperti dia menyayangi Ara, putrinya sendiri.Angga yang mendengar pertanyaan kedua anaknya pada Dina menoleh terkejut, dia memandang sang istri yang sudah bermuka pucat dan bibir gemetar, seketika perasaan bersalah menggerogoti jiwanya, dia tak berpikir panjang saat akan menikahi Keira dulu, dia hanya berpikir untuk bertanggung jawab pada hidup gadis itu.Angga lupa dia sendiri juga punya tanggung jawab yang harus dia prioritaskan, bukan hanya diberi uang dan kemewahan."Bunda memang hanya ibu tiri kalian tapi kalian harus taAngga yang sadar sang istri enggan menerima sentuhannya menghentikan kegiatannya tanpa kata dia membersihkan tubuh mereka berdua, dan mengeringkannya dengan handuk.Dina masih diam, dia hanya masih enggan menatap suaminya, bahkan saat mereka sudah keluar dari kamar mandi dan duduk di ranjang dengan hanya menggunakan jubah mandi."Kamu kenapa, Din?" tanya Angga pelan."Kenapa, Mas di sini bukankah Mas seharusnya Bersama Keira?""Kamu juga istriku, dan sudah seminggu kita tak bertemu."Dina berdiri, membuka pintu lemari dan mengambil pakaian untuk mereka berdua, dan menyerahkan salah satunya pada Angga."Mau ke mana?" tanya Angga menggenggam tangan Dina saat wanita itu akan berlalu dari hadapannya."Ganti baju di kamar mandi.""Kenapa tidak ganti di sini biasanya juga begitu?" Angga memandang Dina tajam seolah tak rela sang istri hilang dari pandangannya."Mung
Dina menelungkupkan kepalanya saat sang suami dengan kesal pergi dari kamar ini dan mengatakan tidak akan ada yang berubah.Dina tak tahu apa yang tidak berubah, nyatanya rumah tangga mereka sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Terbiasa ditinggalkan dan kesepian membuat Dina begitu takut, takut kehilangan suami dan anak-anak yang begitu dia sayang. Dina kembali menangis, bahunya bergetar hebat, dia tak tahu bagaimana nasibnya nanti? Dia bukan takut kehilangan harta dan kemewahan yang selama ini dia dapatkan saat menjadi istri Angga, sekali lagi dia hanya takut kehilangan orang yang dia sayang dan sendirian.Ditatapnya wajah yang terpantul dari dalam cermin terlihat mengerikan.Lama Dina menatap wajahnya di cermin, mungkin bila wajahnya cantik dia tak akan ditinggalkan, pikirnya. Lelah dengan semua pemikiran yang silih berganti melintas dalam benaknya, Dina merebahkan kepala di meja rias, sekedar mengistirahat
"Oh, ya sudah, Bi, saya ke kamar dulu."Tanpa menoleh lagi Dina segera melangkah ke kamarnya. Tapi betapa terkejutnya dia saat mendapati Keira ada di kamarnya. "Apa yang kamu lakukan di sini?" desisnya.Dina melihat wanita itu hanya diam, tangannya yang tadi membolak balik sebuah map di atas nakas terlihat kaku, yang entah sejak kapan ada di sana.Dina melangkah ke ranjang dan melemparkan tas tangannya di sana dengan masih menatap Keira tajam yang membuat wanita itu salah tingkah."Mas Angga minta tolong mengambilkan dokumennya yang tertinggal, jadi aku masuk ke sini," katanya sambil menunduk.Dina mengangkat alisnya."Mas Angga bilang nggak bisa menghubungi Mbak Dina jadi--""Sudah ketemu? Jika sudah silahkan pergi." Tak ingin lama-lama berdrama Dina segera memotong ucapan Keira."Eh belum, Mbak." Dina menyipitkan matanya dan mengambil tas yang tadi di
Malam sudah semakin larut, Dina mengakhiri cerita yang dia bacakan saat melihat Ara sudah meringkuk nyaman di sampingnya. Diciumnya kening sang putri dengan sayang, kalau nanti dia terpaksa berpisah dengan Angga hanya Ara yang dia punya, tidak mungkin dia membawa serta Aksa dan Arsyi merski dia juga menyayangi anak-anak itu sama besarnya dengan Ara. Dia segera meninggalkan Ara setelah memastikan anak itu aman di bawah selimutnya dan bersiap untuk pergi.“Bunda mau ke mana?” Aksa tiba-tiba berdiri di belakangnya. “Oh, Bunda ada perlu sebentar. Kenapa belum tidur besok ke siangan, lho?” “Ini mau tidur, ambil minum dulu haus, Bun.” Dina tertawa dan mengacak rambut anak laki-laki yang beranjak remaja itu. “Ya sudah, segera tidur Bunda keluar sebentar.” “Dengan Papa?” tanya Aksa lagi saat Dina sudah berjalan menjauh. “Iya nanti ketemu Papa di sana.” “Mau kencan ya, Bun?”
“Senang mengetahui ada satu hal yang kamu suka dariku,” sahut Dina sambil lalu, yang membuat Angga terdiam. “Din, bukan maksudku–““Aku tahu,” potong Dina cepat. “Sejak awal aku memang bukan pilihanmu, jadi aku tahu diri, tapi itu tidak penting ada hal yang lebih mendesak ingin aku bicarakan terlebih dahulu.” Dina memandang suaminya tajam, yang dibalas Angga dengan tajam pula. “Dan hal mendesak itu adalah?” Dina sudah siap membuka mulutnya saat pelayan yang mengantarkan pesanan mereka datang. “Terima kasih, Mbak,” Dina tersenyum manis pada pelayan itu. “Makan dulu, Mas.” Dina menyerahkan semangkuk salad yang terlihat lezat pada Angga. Dia sendiri menikmati cangkir kedua coklatnya. “Coklat lagi? barusan bukannya minum coklat?” “Iya, coklat di sini enak aku suka.” Dina memandang secangkir coklat di hadapannya dengan berbinar-binar, membuat Angga ta
Hari-hari Dina berjalan dengan cepat, kini hubungannya dengan Keira mulai agak melunak, dia sudah sedikit berhasil membujuk hatinya untuk baik-baik saja meski ada wanita lain yang harus mendapatkan perhatian yang sama dari sang suami bahkan mungkin lebih, Dina hanya ingin fokus pada anak-anaknya. Dia tak ingin anak-anak mengetahui kisruh rumah tangga orang tuanya. Mereka belum cukup mengerti akan permasalahan orang dewasa, dan Dina sama sekali tak ingin mereka tumbuh dewasa sebelum waktunya. Pembicaraan dengan Angga malam itu memang membuahkan hasil, setidaknya Keira tak pernah berani lagi masuk ke kamar yang biasa ditempati Dina dan Angga, begitu pun Dina tak pernah sekali pun bertandang ke paviliun yang ditempati oleh Keira. Mereka seolah terpisah jarak yang sangat jauh meski sejatinya mereka berada dalam satu rumah.Angga pun cukup bijak untuk tidak memaksa Dina mengurusi Keira lagi, dia mempekerjakan seorang perawat khusus yang akan me
“Boleh pinjam ponselnya, Mbak aku akan telepon Mas Angga sendiri, dia pasti akan langsung datang.” Dina mengerutkan kening apa Keira lupa kalau kemarin Angga ke luar kota dan akan kembali besok, setelah meeting. Bahkan kalau pun ingin Angga tak punya sayap untuk terbang kemari, pesawat akan ada jadwal penerbangan esok hari dan dia tidak memiliki heli seperti bos-bos pada umumnya. Tak ingin berpikir lebih jauh, Dina hanya memberikan ponselnya pada Keira. “Pakai nama apa, Mbak?” “Nama biasa aku manggil,” jawab Dina yang tau maksud Keira. “Mbak kok nggak romantis, sih, aku aja ngasih nama Mas Angga, Honey di ponselku.”Wanita ini sedang ngomongin apa sebenarnya? Nggak penting banget, sia-sia dia khawatir tadi. sudah bisa menyebalkan pasti sudah sembuh. “Terserah kamu, itu ponselmu,” jawab Dina gondok luar biasa. Sebenarnya suaminya ini menikahi anak umur berapa tahun?
Sungguh Dina tak ingin menangis, dia sangat jarang melakukan itu, semuanya tak bisa berubah hanya dengan air mata, tapi kali ini air mata itu jatuh tanpa permisi, meninggalkan jejak lara di hati, digigitnya bibir kuat-kuat mencegah isak yang lebih nyaring lolos dari mulutnya, dia masih membungkuk, saat dilihatnya sepasang sepatu mengkilap yang sangat dia kenali ada di hadapannya. “Ada apa, Din? Keira baik-baik saja, kan?” Dina mengangkat kepalanya, benar saja, Angga sudah berdiri di depannya, terlihat lelah. Sepertinya langsung ke mari setelah dari bandara. Sejenak Dina mengamati laki-laki yang sudah lima tahun menikahinya itu. Angga masih setampan lima tahun lalu saat mereka bertemu untuk pertama kali pada acara ulang tahun mamanya. Bahkan dia seolah tak menua dengan berjalannya usia. Rambutnya masih sehitam malam dan badannya ramping berotot, pantas saja gadis berusia awal dua puluhan seperti Keira mau menikah dengannya,