Dalam hidupnya Dina bisa dikatakan belum pernah merasakan sakitnya penghianatan, masa muda Dina hanya dihabiskan untuk belajar, bekerja dan membantu Bu Rahmi di panti asuhan. Hidupnya memang beredar seputar itu, bukan Dina tak menarik. Bukan. Beberapa orang pernah menyatakan cinta pada Dina dulu saat dia masih di sekolah maupun kuliah. Tapi Dina selalu menolaknya dengan halus. Dia berpendapat pacaran di saat sekolah atau kuliah hanya akan menghambat pendidikannya, padahal dia harus selalu mendapat nilai bagus agar bisa mendapatkan beasiswa dan bisa terus sekolah. Hanya itu yang ada di pikirannya, dia tak mau seperti teman sekolahnya yang kebanyakan berangkat sekolah dengan mata sembab karena putus dengan pacarnya. Meski tak jarang Dina juga merasa iri saat malam minggu tiba dan teman-temannya kebanyakan akan nonton film atau sekedar jalan-jalan dengan pacar mereka, tapi Dina hanya bisa duduk di pojok kamarnya dengan bertemankan buku pelajaran. Kedua orang tuanyapun tak tentu
Dina tertawa haru, dia bersyukur masih ada orang yang mau menghiburnya meski dengan cara yang tidak biasa. “Kenapa kamu malah makan sendiri di sini, Din, bukankah seharusnya menemani Keira?” Dina mendongak menatap laki-laki yang sudah sangat dikenalnya. “Aku lapar jadi ingin makan, ada yang salah?” jawab Dina enteng. “Bukan begitu, aku lihat dari tadi kamu hanya tertawa-tawa di telepon sambil mengaduk makananmu, jadi siapa yang barusan bicara denganmu?” Dina menyingkirkan sotonya yang tidak lagi menggugah seleranya, lalu menatap laki-laki di depannya tajam. Minimnya pengalaman Dina dengan laki-laki membuatnya begitu naif dan buta, dia baru tahu ada laki-laki model begini, yang bisa memanfaatkan orang sebisanya dan mungkin akan membuangnya saat sudah tidak berguna dan menggantinya dengan yang baru. Salahnya juga yang begitu percaya dengan semua cerita manisnya. Terbuai dengan segala kenyamanan yang ditawarkan, sampai Dina lupa suatu hari dia juga harus kembali menghadapi kenyataa
Kesunyian yang mencekam memenuhi mobil yang melaju kencang itu, sang sopir berkali-kali melirik ke arah dua orang penumpangnya yang menurutnya sangat aneh. Yang wanita duduk dengan acuh di sudut kanan sedangkan yang laki-laki meski masih dengan muka datarnya duduk miring dan mencondongkan diri pada wanita itu dan sesekali tangannya meraih tangan sang wanita tapi ditepis dengan kasar membuat laki-laki itu begitu frustasi. Pengemudi mobil itu berusaha menyembunyikan tawa, dia seperti sedang menonton drama kesukaan istrinya di rumah bedanya kali ini tak ada kaca yang membatasi, dia bisa menonton langsung, mungkin ini juga yang membuat banyak orang rela jauh-jauh datang ke lokasi syuting sebuah film. Apalagi penampilan pasangan penumpangnya ini memang di atas rata-rata, yang wanita cantik sekali sedangkan yang laki-laki tampan dan berkarisma, cocok memang mereka kalau jadi bintang film, atau memang mereka sedang syuting film. Batinnya geli. Dina masih diam
“Dia tidak pernah mencintai saya, Bi, dia yang mengatakan sendiri, hanya almarhumah Mbak Laras yang masih dia cintai tapi mungkin sekarang sudah terisi dengan Keira,” jawab Dina sendu, bahkan dia tak dapat menahan air matanya, ini kali pertama dia menangis di depan orang lain selain Bu Rahmi. “Itu tidak benar percayalah pada saya, Dia mencintai Nyonya. Mungkin dia memang sangat memperhatikan Non Keira, tapi Bibi yakin Tuan tidak memiliki rasa cinta untuknya. Percayalah. Nyonya harus bertahan karena tempat Nyonya di sini di sisi tuan.” “Tapi itu sudah tidak berguna, Bi, nyatanya Mas Angga sudah berkhianat di belakang saya.” “Bibi tahu Nyonya, ini sulit tapi cobalah untuk bertahan demi anak-anak juga, saya yakin semuanya akan kembali baik-baik saja. Tolong pertimbangkanlah kembali.” Dina hanya menghela nafasnya, Dia tahu Bibi sangat menyayanginya juga Angga, tapi dia tidak akan mau terkurung pada sebuah pernikahan yang sama-s
Benar saja semalaman Dina hampir tidak tidur, wanita itu hanya duduk diam saja di ranjangnya. Dina sendiri juga bingung kenapa dia mau saja memikirkan kerumitan keluarga ini, bukankah akan lebih mudah kalau dia pergi saja, dan melepaskan semua beban, Aksa dan Arsyi bukan tanggung jawabnya lagi jika dia berpisah dengan Angga. Tapi jika itu yang terjadi, Dina sangat yakin seumur hidup dia akan hidup dalam penyesalan. Menyesal karena tidak memperjuangkan Angga, juga menyesal karena tidak bisa membantu seorang anak yang sangat membutuhkan bantuannya. Hidup Dina memang sudah sulit dari kecil karena itu dia tidak ingin menambah kesulitan itu dengan rasa bersalah karena mengabaikan seorang anak. Karena dia tahu benar bagaimana rasanya. Hari mulai beranjak pagi, tidak ada lagi waktu untuk tidur lagi. Dina butuh mandi, mungkin air dingin bisa membuat tubuhnya lebih segar, banyak hal yang harus di hadapinya pagi ini, terutama suaminya yang pasti akan menemuinya dengan berbagai hal yang membu
Dina memandang mereka bergantian, Aksa yang begitu marah memandang Papa dan ibu tirinya, sedangkan di sana sang Papa masih tertawa bahagia bersama istri barunya. Hati Dina sakit tentu saja, sampai sesak rasanya tapi dia tahu kalau sakit hatinya belum ada apa-apanya dibandingkan rasa sakit yang dirasakan oleh Aksa putranya.“Aksa, Bukunya sudah disiapkan semua, Sayang?” tanya Dina mencoba mengalihkan perhatian Aksa agar tidak selalu memandang mereka yang sedang tertawa bahagia. Dina rasanya ingin menangis melihat semua ini, di sana Angga sedang tertawa bahagia menyambut kehadiran calon anggota baru keluarganya, sedangkan di sini putranya sedang menahan sakit hati dan kecewa pada papanya. Tidakkah Angga memiliki sedikit empati padanya dan juga anak-anak. Mengapa mereka tak lewat pintu samping saja agar tak perlu menyakiti mereka semua. Aksa mengalihkan pandangannya dari kedua orang itu dan menatap Dina, dengan senyum yang jela
Dina membuka pounch make upnya mengambil sebuah kaca kecil yang tersimpan di sana, wajahnya masih terlihat pucat dan kuyu, efek kurang tidur memang membuat penampilannya berantakan. Sejenak dia menimbang sebentar, haruskah dia memakai lipstik warna merah supaya wajahnya terlihat lebih segar? Selama ini dia hanya menggunakan warna lipstik nude saja itupun hanya dia aplikasikan tipis saja. “Baiklah apa salahnya mencoba,” gumamnya pelan, lalu mengaplikasikan lipstik merah ke bibirnya. Sekarang dia akan menutupi kantung matanya, Dina akan memoleskan concelar. Sejenak Dina mengamati wajahnya sendiri, sudah cukup sepertinya, bawangan hitam di bawah matanya telah menghilang dan mukanya terlihat lebih segar, efek make up memang luar biasa. Syukurlah Pak Amin mengemudikan mobilnya dengan tenang jadi dia bisa berdandan dalam mobil dengan baik, seharusnya memang lebih baik berdandan di rumah, tapi Dina begitu malas mendengar koment
Mengikuti Brian ke gedung milik yayasan, artinya Dina harus bersiap-siap kakinya serasa patah. Laki-laki itu tipe pekerja keras dan perfeksionis, jadi dia akan dengan teliti mengecek satu per satu fasilitas yang ada dengan mata kepalanya sendiri. Jadi tidak mengherankan kalau Brian berkeliling semua gedung untuk melakukan pengecekan.Untuk sekolah luar biasa saja, mereka harus mengecek lima puluh ruangan yang kesemuanya memiliki fasilitas yang tidak sedikit, belum lagi kalau mereka harus menanyai penanggung jawab masing-masing ruangan dan menanyakan apa saja yang mereka butuhkan dan apa saja barang yeng tidak perlu ada. Tak jarang kabar yang beredar Pak Brian akan menanyai anak-anak langsung apa yang mereka butuhkan. Lalu Dina nanti juga harus membuat laporan barang apa saja yang memang benar-benar diperlukan dan sesuai dengan buget yang ada. Yang Dina syukuri adalah hari ini dia tidak memakai sepatu dengan hak tinggi, hanya sebuah flat shoes berwarna krem yang membungkus kakinya.