“Kasihan pada Keira karena anak hasil perselingkuhan Kalian tidak akan diakui, begitu?”
“Aku tidak pernah selingkuh, Din, kehamilan Keira itu tidak seperti, suatu hari aku akan jelaskan, tapi tidak sekarang.”“Kenapa tidak sekarang?” tantang Dina.Alih-alih menanggapi Dina, Angga malah mengeluarkan tiga buah ponselnya.“Aku sudah matikan ponsel untuk Keira supaya dia tidak bisa menelepon, dan dua ponselku lainnya kamu yang pegang saja, kamu yang akan menentukan itu penting atau tidak.”Dina memandang heran suaminya yang bisa mengantongi tiga buah ponsel ke mana-mana, dia saja yang hanya menggunakan satu ponsel kadang lupa membalas pesan apalagi tiga. Dina segera menggelengkan kepalanya menghalau semua pikiran tak penting yang masuk dalam kepalanya.“Dan kamu akan menyalahkanku kalau ada telepon yang kamu anggap penting aku abaikan?”“Ya Tuhan, aku janji tidak akan melakukannya bukankah aMalam itu Angga mengemudikan mobilnya dalam perjalanan pulang dengan tenang, di sebelahnya Dina sesekali menghadap ke belakang untuk memantau anak-anak yang bernyanyi riang di bangku belakang, tepatnya Arsyi dan Ara yang sedang bernyanyi sedangkan Aksa hanya duduk diam memandangi kedua adeknya itu, meski begitu dapat terlihat sinar kebahagiaan terpancar di matanya. “Mas Aksa nggak ikut nyanyi?” tanya Dina iseng. “Aksa sudah gede masak nyanyi balonku Bunda,” katanya dengan wajah cemberut.“Jadi mau nyanyi apa?” “Aksa mau jadi pendengar saja, biar mereka yang nyanyi,” jawab Aksa ngeles. “Mas Aksa suara jelek Bunda makanya nggak mau nyanyi.” “Enak saja.” “Ok kalau begitu Arsyi dan Ara nyanyi lagi, apa perlu kita putar lagu?”“Boleh Bunda.” Mereka lalu berebut mengatakan lagu apa yang ingin di putar, dan baru berhenti saat Dina memutuskan akan memutar lagu
Angin dingin menerpa tubuhnya membuatnya sedikit menggigil, Dina juga heran sendiri dari mana datangnya angin itu, padahal tadi saat dia masih di luar tidak terasa dingin. Ah mungkin karena aku barusan mandi, batin Dina menenangkan. Dari tempatnya berdiri Dina bisa melihat Mama mertuanya itu sedang bicara dengan marah pada dua orang yang sedang menunduk di depanya, bahkan sesekali telunjuknya mengarah pada dua orang itu dengan garang, Dina mempercepat langkahnya ingin tahu apa yang terjadi. “Ada apa kenapa semua diam? Apa aku mengganggu?” tanya Dina, yang mendapati keadaan berubah menjadi sunyi saat kakinya melangkah memasuki bangunan ini. Dina memandang wajah-wajah di hadapannya dengan penasaran ada apa lagi kejutan yang akan terjadi di rumah ini. Akhir-akhir ini rumah tempatnya tinggal ini memang banyak memberikan kejutan yang membuatnya terkejut luar biasa, untung saja jantungnya begitu kuat masih mau berdetak pada tempatnya. Dina masih memandang lekat-lekat wajah-wajah di dep
Dina berusaha meregangkan tubuhnya, tapi sebuah tangan memeluk pinggangnya erat. Berkali-kali dia berusaha melepaskan tangan itu tapi tak ada hasilnya tangan itu makin erat melilit pinggangnya. Dengan kesal Dina menghempaskan tangan itu kasar, membuat emounya tangan terbangun dengan geragapan. “Kamu sudah bangun, Din?” tanya Angga menatap dalam istrinya itu. “Kenapa kamu di sini, Mas?” “Memangnya aku harus ke mana ini kamarku juga.” Dina hanya menghembusakan nafasnya saja, percuma berdebat dengan pria ini hanya akan membuatnya makin kesal dan sakit hati. Dina membasuh wajahnya di wastafel, tubuhnya terasa lebih segar setelah tidur nyenyak sepanjang malam. Dia sendiri juga heran bagaimana dia bisa tidur saat sedang berdebat dengan orang-orang itu, entah karena dia terlalu lelah atau apa sehingga tak mau tahu keadaan sekitar, yang dia tahu hanya kegelapan yang menyergapnya ketika dia sudah memasrahkan semuanya
“Kamu berharap aku percaya bualanmu ini? Sedangkan kalau kamu lupa buktinya ada di paviliun belakang dengan sebuah nyawa baru tak berdosa yang mulai tumbuh,” bentak Dina dengan berang. “Itu hanya kesalahan, dan aku sangat menyesali keputusanku waktu itu dengan menikahi Keira, tapi sekarang dia istriku juga, aku hanya akan bertanggung jawab padanya sebagai sesama manusia hanya itu yang bisa aku katakan untuk saat ini.” “Sesama manusia yang mempunyai hasrat dan ketertarikan satu sama lain lalu melakukan hubungan terlarang, itu maksudmu dengan kesalahan?” ejek Dina. Angga memandang Dina frustasi. “Bukan, kami tidak pernah melakukan hubungan terlarang,” teriak Angga kesal. “Lalu apa yang kalian lakukan, main dakon sampai menghasilkan bayi?” “Itu bukan bayiku, Din!” teriak Angga lagi. Kali ini Dina benar-benar meradang, “Dan berapa banyak kebohongan lagi yang akan kamu katakan!” kata Dina dengan suara t
Kesibukan karena dihajar pekerjaan yang bertubi-tubi membuat Dina tak memikirkan lagi keanehan yang terjadi padanya pagi tadi. Dina dituntut untuk konsentrasi seratus persen pada apa yang dia kerjakan, belum lagi sebulan lagi beberapa tingkatan sekolah yang dibawahi oleh yayasan ini akan mengajukan akreditasi ulang dan secara khusus Brian meminta dia dan Sasa membantunya mempersiapkan semua. Dan dilanjutkan akan dibukanya sekolah internasional untuk jenjang pre school untuk pertama kalinya.Dina bahkan tidak bisa membayangkan kesibukan yang akan dia lakukan. dia hanya berharap tak mengorbankan waktunya untuk anak-anak, karena bagaimanapun dia masih seorang ibu yang harus mengurus anaknya dengan baik.Pukul sepuluh pagi, Sasa menghubunginya dan menyampaikan pesan Brian untuk ke ruangannya.“Ada apa, Mbak?” tanya Dina saat sampai di depan meja kerja Sasa yang memang berada tepat di depan ruangan Brian. “Kurang tahu juga, Pak Brian hanya memintamu datang ke ruangannya. Udah gih sana ke
“Din…Dina, Kamu kenapa, Din?” Sasa sedikit berteriak saat Dina melewatinya dengan agak tergesa. “Kayak baru lihat setan saja, padahal terakhir aku masuk penghuninya ganteng kebangetan,” gerutu Sasa, yang melihat Dina hanya menoleh sekilas tanpa mau menghampiri meja kerjanya. “Karena mahluk yang di dalam gantengnya kebangetan, Mbak aku jadi takut khilaf,” jawab Dina seenaknya. “Bukannya takut ditambahin kerjaan ya,” ejek Sasa. Dina berjalan mendekati meja Sasa, dan dengan pelan berbisik. “Jangan cemburu gitu Mbak, aku nggak bakal bantuin kerjaan Mbak Sasa kok,” katanya sambil nyengir iseng, kemudian meninggalkan Sasa yang melongo memandang kepergiannya.“Kamu kalau menyebalkan gini, memang minta dijitak, Din.” “Siapa yang menyebalkan, Sa?”Tiba-tiba sosok Brian sudah berdiri di depan meja kerjanya, Sasa meringis, kapan coba bosnya ini keluar kandang, tiba-tiba sudah nongol, nggak k
Dina semakin gugup saat suaminya sudah berjalan semakin dekat. Kepercayaan dirinya tadi yang sengaja dia pupuk dan mulai bersemi hilang sudah tak berbekas digantikan gugup luar biasa yang membuat tangannya menjadi dingin.Ya Tuhan menghadapi suaminya sendiri saja Dina tidak mampu ini malah sok sokan ingin bicara di depan rapat bersama para bos besar yang jelas-jelas tak dia kenal sama sekali. Dina bingung harus bagaimana sekarang? Apa dia lari saja tak mempedulikan perintah atasannya, tapi Dina bukan pengecut dia tak pernah lari dari masalah serumit apapun. “Selamat sore, Pak Angga.” Brian menyapa Angga dengan sopan dan formal, tentu saja mereka rekan bisnis yang akan bermitra untuk mendapatkan sebuah keuntungan. Yang disambut suaminya itu dengan formal juga. Dina sedikit tersenyum saat sang suami memandang ke arahnya, dan berjalan ke sampingnya. “Saya tidak tahu jika Pak Brian mengajak serta istri saya di rapat kali ini.”
Prestasi yang hari ini Dina dapatkan di tempat kerja sepertinya berbanding terbalik dengan prestasinya di rumah sebagai seorang istri dan juga ibu. Mobil yang mereka tumpangi berhenti tepat di sebelah sebuah sedan hitam milik ibu mertuanya. Dina menghela nafas pelan, dia sudah berkali-kali mencoba untuk berdamai dengan kondisi rumah tangganya sekarang, dia juga tak mau terlalu menghakimi suaminya dan juga Keira, Dina sadar ini juga kesalahannya yang tak mampu menggenggam hati suaminya, sehingga ada celah di hati suaminya untuk memasukkan orang lain dalam kehidupan mereka. Dina melirik suaminya yang juga terdiam di tempatnya, laki-laki itu hanya memandang kosong ke depan, kontras sekali dengan senyum yang dia pamerkan tadi saat di kantor. Bahkan Angga seolah tak peduli dengan gunjingan orang lain, tapi ketika sampai di rumah mungkin suaminya merasakan hal yang sama dengannya. Perasaan tak nyaman. Apalagi ada sang mama yang berkunjung kemari. Dina bukannya tidak suka dengan kehadira