Hari berlalu dengan sangat cepat. Bapak, sudah berada di Jakarta. Dirinya lebih memilih mengontrak di daerah Sunter. Tidak bersama dengan aku dan Ibu.
Selama itu juga, Aldi terus menemaniku, menuruti segala kemauanku. Sesuatu yang telah terjadi di antara kami tidak menggoyahkan persahabatan kami. Karena, beginilah persahabatan kami.
Hari ini aku tidak berkerja, bapak sudah menelpon akan menemuiku siang ini di kontrakan Ibu. Aku menunggunya dengan gelisah, karena apa yang bapak ucapkan adalah mutlak. Cepat atau lambat, perjodohan ini akan aku jalani dan pastilah akan berujung ke pernikahan.
Tok! Tok! Tok!
“Assalamu'alaikum,” aku semakin gugup tak karuan kala mendengar suara yang sedari tadi mengganggu pikiranku. Bapak!
“Wa'alaikumussalam, Pak!” jawabku seraya membuka pintu berwarna cokelat kehitaman.
Mataku bertemu pandang dengan seorang lelaki berkulit kecoklatan, berambut ikal dan
Aldi memandangku dengan kening berkerut. Aku gelagapan saat ketahuan mengumpat di depannya menyumpah serapahkan pacarnya berkali-kali.“Kenapa, Rena?” tanyanya, suaranya khas seperti orang bangun tidur.“I-itu, Di. Tadi cewekmu nelpon, aku angkat. Eh, dia marah-marahin aku!” aduku sambil mengerucutkan bibir tebalku ke arahnya. Untunglah aku sudah menghapus SMSnya, jadi aku aman!“Hm, dia paling cemburu. Nggak pa-pa, nanti aku yang bilang ke dia. Ini masih malem, lho, Lan. Kenapa nggak tidur lagi?” ucapnya seraya menjauh dari kasur dan meletakkan selimut berwarna cokelat di lantai dekat pintu.“Maaf, ya. Tadi aku ketiduran, kamu tidur aja di kasur. Biar aku yang di sini.” bibir tipisnya membentuk lengkungan, kemudian lelaki itu mengambil posisi nyaman dan kembali tidur.‘Hufh, untunglah!’ batinku.Keesokan harinya, aku langsung menuju kamar mandi y
“Lan, kayaknya aku harus pergi bentar deh. Kamu mau ikut nggak?” tawarnya.Tapi aku menggeleng, karena kalau terlalu jauh aku bepergian. Aku takut ketahuan ada di sini oleh bapak dan Fais. Ibu saja sudah berpuluh kali telfon dan memintaku pulang.Ah, aku lebih baik ke kamar saja. Menyalakan musik yang keras sambil berselancar di sosial media berlogo F.Aku merasa bosan, sudah sejam Aldi pergi dan belum juga pulang. Tidak tahu apa, aku lagi nunggu!“Lan! Lan!” panggilnya dari suara yang sangat kukenal. Aldi!“Ini buat kamu,” dia menyodorkan boneka panda berukuran kecil padaku. Sungguh! Aku menyukainya.“Kamu ... Pergi beli ini?” tanyaku dengan mata berbinar.Dia mengangguk, “aku liat boneka ini lucu. Buat kenang-kenangan, kalo nanti kamu jauh dari aku, kamu bisa peluk boneka ini untuk pengganti aku.&rdqu
“Bapak?” lirih Wulan, kemudian lari ke dalam rumah setelah sebelumnya membanting pintu.Sedangkan, Aldi, lebih memilih pergi dari kekacauan di depannya. Karena percuma saja jika berkata pun orang tua Wulan tidak akan percaya begitu saja.Dua hari berlalu, dan selama itu juga pikiran Wulan berkecamuk. Ia belum siap meninggalkan semua yang ada di sini, belum siap hidup tanpa Aldi, dan belum siap kembali berkutat dengan orang-orang yang memiliki pandangan berbeda dalam memandang hidup.[Di, kapan kamu kesini?]Wulan mengetikkan SMS pada lelaki itu, dan ternyata Aldi justru sudah berada di depannya. Menyalakan klakson, matanya menyiratkan perih saat memandang wanita di depannya.Selama dua hari itu pula, makanan tidak masuk kedalam perutnya. Padahal saat putus dengan pacarnya, dia masih bisa tertawa karena kehadiran wanita berumur 20 tahun itu.Saat sekarang, tidak ada yang bisa ia harapkan lagi. Ia kema
Dari kejadian malam itu, lahirlah seorang anak laki-laki yang ia beri nama ‘Kresnaldi Pramudia Wardana’. Wanita itu memang sengaja memberi nama yang sama persis dengan nama sahabatnya. Walau sebelumnya terjadi perdebatan cukup sengit dengan suaminya, bahkan tidak mempercayai yang ia lahirkan adalah anaknya.‘yeah, terserahlah.’ wanita itu tidak ambil pusing.Kabar tentang nama yang wanita itu berikan di unggah kedalam sosial medianya berlogo F.[Yang melintas kala membuat nama my baby, adalah kamu. Kresnaldi Pramudia Wardana.] Unggahnya serta dengan foto bayinya yang berusia empat puluh hari.Tak berselang lama, orang yang dituju langsung mengirim di kolom komentar.‘Kok, nama aku 'sih?’‘Nggak pa-pa 'kan, Di? Biar unik kayak kamu...’Dan seterusnya yang dilanjutkan nostalgia dengan masalalu mereka.Kini, Aldi kecil sudah berusia lima tahun, dan
“Cukup, Mas! Kamu boleh menghinaku, tapi aku tidak terima kamu menghina anakku!”Lalu wanita itu bangkit dari peraduan menuju ruang tamu sederhana mereka. Meletakkan bantal yang ia bawa lalu berbaring beralaskan karpet tipis.Sudut matanya mengeluarkan bulir bening, dengan kecepatan kilat dia langsung menghapusnya.“Jelas-jelas Kresna adalah anaknya!” wanita itu bergumam.Dadanya bergemuruh. Pikirannya menuju istri sahabatnya, mengingat mereka baru saja bertemu dengan lelaki itu.Esoknya, wanita itu menitipkan kembali anaknya pada tetangga kontrakan di sebelah rumahnya. Meski janda itu mengomel saat dititipi, tapi tak urung juga dia menerima menjaga Kresna hingga wanita itu pulang.Sekarang, yang wanita itu tuju adalah Restoran tempat suaminya bekerja. Setidaknya kalau tidak bertemu dengan Rena, ia bertemu dengan seorang lelaki bernama Adisana.Dengan tekad penuh, wanit
[Kak, pecat Pak Fais sekarang.]Aku mengirimkan sebuah pesan di aplikasi hijau pada Kak Adi. Aku ingin membuat wanita itu jera karena tingkahnya.‘kenapa lagi, Ren? Yang salah itu istrinya, bukan Fais. Kamu nggak boleh egois begitu, pentingkan anaknya yang harus diberi makan,’ kak Adi ceramah diujung telfon ketika aku baru saja mengangkatnya.“Tadi mereka kemari, Kak. Mereka ribut lagi, kakak tau 'kan?” diujung sana terdengar helaan napas kak Adi.“Dan Mas Aldi malah menenangkan gundiknya dari pada langsung pulang kayak janji yang dia bilang ke aku!”Perlahan-lahan bulir embun seketika menggenang di pelupuk mata. Sakitnya di hianati yang ia rasakan sendiri.Klik!Kak Adi memutus sambungan telfon. Aku hanya bisa memeluk lutut sembari mengasihani diri.[Kakak di depan rumahmu, keluarlah.]Cukup lama aku berada diposisi ini. Aku terperanjat kala ponselk
Sudah seminggu ini, Rena tidak pulang ke rumahnya sendiri. Sedangkan Aldi, lelaki itu seperti orang depresi mencari kesana kemari tapi tetap nihil.Lelaki itu kira, istrinya ada di rumah sahabatnya. Tapi saat Aldi memaksakan diri menghampiri rumah sahabat istrinya.“Ngapain lo kesini,” pertanyaan ketus meluncur dari bibir tipis Mita yang sedang berdiri di ambang pintu.“Jangan sembunyiin istri gue, Mit. Lo 'kan yang sembunyiin bini gue?”Netra Mita membelalak, “apa yang terjadi sama, Rena? Lo apain lagi sahabat gue, brengs*k!”“Gak cukup apa, selama ini lo cuma jadi beban dia doang. Nyadar dong, Di, lo punya apa! Gak ada. Kaya kaga tapi kelakuan minus.” sengit wanita berambut ikal di hadapan lelaki itu.“Gue mau berubah, Mit. Tolong kasih tau di mana bini gue,” lelaki itu tetap mengiba di hadapan Mita. Gadis itu memandangnya malas.“G
Kini, kedua sahabat itu tengah berjalan-jalan di antara kebun teh. Pemandangan langka saat mereka ada di Ibu Kota. Memandangi hamparan kebun yang menenangkan.Semilir angin membuat rambut kedua wanita itu bergoyang. Mita merentangkan kedua tangannya, hidungnya bangirnya menghirup dalam-dalam udara segar di sekitarnya.Dari kejauhan, Aldi sedang duduk di kursi kayu, tengah menatap Rena yang sedang tersenyum memandangi hamparan teh di depannya. Aldi menatap istrinya dari balik daun teh, sedangkan badannya sedikit merunduk agar tidak ketahuan.“Kira-kira, berapa usia janin yang ada di perut lu?” tanya Mita, gadis itu tengah menghadap sahabatnya, membuat lelaki di kejauhan sana sedikit terhalang pandangannya.“Sekitar dua bulanan,” jawab Rena singkat.Pikirannya menerawang pada tiga hari yang lalu. Saat wanita itu melajukan roda empatnya menuju Taman bunga nusantara, saat setengah perjalanan, tenggo