[Kak, pecat Pak Fais sekarang.]
Aku mengirimkan sebuah pesan di aplikasi hijau pada Kak Adi. Aku ingin membuat wanita itu jera karena tingkahnya.
‘kenapa lagi, Ren? Yang salah itu istrinya, bukan Fais. Kamu nggak boleh egois begitu, pentingkan anaknya yang harus diberi makan,’ kak Adi ceramah diujung telfon ketika aku baru saja mengangkatnya.
“Tadi mereka kemari, Kak. Mereka ribut lagi, kakak tau 'kan?” diujung sana terdengar helaan napas kak Adi.
“Dan Mas Aldi malah menenangkan gundiknya dari pada langsung pulang kayak janji yang dia bilang ke aku!”
Perlahan-lahan bulir embun seketika menggenang di pelupuk mata. Sakitnya di hianati yang ia rasakan sendiri.
Klik!
Kak Adi memutus sambungan telfon. Aku hanya bisa memeluk lutut sembari mengasihani diri.
[Kakak di depan rumahmu, keluarlah.]
Cukup lama aku berada diposisi ini. Aku terperanjat kala ponselk
Sudah seminggu ini, Rena tidak pulang ke rumahnya sendiri. Sedangkan Aldi, lelaki itu seperti orang depresi mencari kesana kemari tapi tetap nihil.Lelaki itu kira, istrinya ada di rumah sahabatnya. Tapi saat Aldi memaksakan diri menghampiri rumah sahabat istrinya.“Ngapain lo kesini,” pertanyaan ketus meluncur dari bibir tipis Mita yang sedang berdiri di ambang pintu.“Jangan sembunyiin istri gue, Mit. Lo 'kan yang sembunyiin bini gue?”Netra Mita membelalak, “apa yang terjadi sama, Rena? Lo apain lagi sahabat gue, brengs*k!”“Gak cukup apa, selama ini lo cuma jadi beban dia doang. Nyadar dong, Di, lo punya apa! Gak ada. Kaya kaga tapi kelakuan minus.” sengit wanita berambut ikal di hadapan lelaki itu.“Gue mau berubah, Mit. Tolong kasih tau di mana bini gue,” lelaki itu tetap mengiba di hadapan Mita. Gadis itu memandangnya malas.“G
Kini, kedua sahabat itu tengah berjalan-jalan di antara kebun teh. Pemandangan langka saat mereka ada di Ibu Kota. Memandangi hamparan kebun yang menenangkan.Semilir angin membuat rambut kedua wanita itu bergoyang. Mita merentangkan kedua tangannya, hidungnya bangirnya menghirup dalam-dalam udara segar di sekitarnya.Dari kejauhan, Aldi sedang duduk di kursi kayu, tengah menatap Rena yang sedang tersenyum memandangi hamparan teh di depannya. Aldi menatap istrinya dari balik daun teh, sedangkan badannya sedikit merunduk agar tidak ketahuan.“Kira-kira, berapa usia janin yang ada di perut lu?” tanya Mita, gadis itu tengah menghadap sahabatnya, membuat lelaki di kejauhan sana sedikit terhalang pandangannya.“Sekitar dua bulanan,” jawab Rena singkat.Pikirannya menerawang pada tiga hari yang lalu. Saat wanita itu melajukan roda empatnya menuju Taman bunga nusantara, saat setengah perjalanan, tenggo
Seorang wanita berambut hitam legam tengah menatap Aldi. Sorot matanya penuh luka saat memandang lelaki itu. Ternyata, kaleng bekas minuman bersoda itu tak sengaja mengenai lengan istrinya.Aldi terbelalak, tak menyangka akan ketahuan oleh Rena. Sedangkan Mita memandang suami sahabatnya dengan pandangan menghunus.“Lo ngikutin gue?” todong Mita seraya mendorong tubuh Aldi.Tapi lelaki itu tidak menjawab, matanya tak lepas dari wajah istrinya yang kini tengah mengalihkan pandangan ke arah monyet liar yang sesekali turun ke sisi jalan.“Kita balik ke Hotel, Mit.” ucap Rena dingin. Langkahnya mendekati mobil putih milik Mita.Aldi terus berlari, kaki jenjangnya sesekali menginjak bebatuan yang membuat langkahnya tergelincir. Hingga akhirnya dia sampai tepat di depan Rena.“Rena, maafkan aku ...” ucapnya sambil berusaha meraih tangan Rena yang terus saja wanita itu lepaskan.
Cahaya matahari memaksa masuk dari balik tirai berwarna krem. Tubuh Rena yang lelah hilang karena tidurnya yang nyenyak. Wanita cantik itu langsung turun dari ranjang kemudian menuju kamar mandi.Setelah selesai, masih mengenakan jubah mandi dan handuk yang melilit di kepala, Rena berjalan pelan menuju meja riasnya seraya mengambil hairdryer untuk mengeringkan rambutnya yang basah.Pandangannya menyipit kala melihat suaminya dari kaca rias, ternyata Aldi masih meringkuk dibalik selimut tebal berwarna putih itu. Wanita itu berjalan pelan ke arah suaminya mengurungkan niat untuk menyalakan pengering rambut.Ragu, itulah yang dirasakan Rena. Mungkin, dulu, kalau dirinya melihat suaminya seperti ini wanita itu akan menghambur ke belakang tubuh suaminya untuk membangunkan tidurnya. Tapi sekarang, untuk menyentuh suaminya saja Rena merasa enggan.Wanita yang kini tengah berbadan dua itu hanya melihat wajah Aldi.
Rena mematung saat melihat seseorang di ruangan yang dimaksud Lexy. Seorang wanita yang kini menatap bengis kearah Rena yang masih berdiri diambang pintu. Bukan, wanita itu bukan Mita melainkan Wulan Arianda.“Apa-apaan. Mit, kenapa dia di sini!” tanyanya geram.Ya. Wulan sedang bersantai ditemani beberapa pelayan Mita yang sedang memberi perawatan untuk sekujur tubuhnya. Wanita itu bahkan terlihat sangat menikmati saat wajahnya dipoles berbagai macam brand make up terkenal pada kulitnya.“Mita udah nggak butuh lu, pergi deh.” ucap Wulan, tatapannya masih sama terlihat dari kaca rias di depannya.Rena melirik kearah Mita yang tetap menggigit apelnya, tak perduli padanya. Diamnya seakan membenarkan apa yang dikatakan istri dari Fais itu.“Baiklah kalau pertemanan kita sampe sini. Makasih ya, Mit. Gue pamit!”Wanita berbadan dua itu memilih pergi dari kediaman Mita. Airmat
Wanita mungkin di takdirkan menunggu. Sebagian besar wanita bisa sabar, sampai akhirnya apa yang diinginkan menjadi milik mereka. Entah sampai berapa lama. Sumber penulis : Rasa dan Asa. 🌺🌺🌺🌺🌺🌺 Sudah beberapa hari ini, Rena hanya diam di rumah. Mengerjakan pekerjaannya melalui laptop, dan sama sekali tidak mengunjungi Restoran dan juga Supermarketnya. Bosan. Wanita cantik itu bosan dengan rutinitasnya. Aldi sering bertanya mengapa istrinya selalu di rumah, dan hanya dijawab dengan sebuah gelengan kepala. Aldi merasa istrinya semakin jauh, meski seatap dengannya, tapi istrinya seperti tidak mengindahkan kehadirannya. Untuk mengusir rasa sedihnya di hati, Rena memilih berkutat di dapur mencoba membuat aneka kue. Wanita itu merasa sangat senang, saat bolu yang ia buat mengembang sempurna. Tak henti-hentinya wanita itu tersenyum senang, dan berkali-kali meminta
Aku menikmati masa-masa kehamilanku. Yah, meskipun aku merasa menjalani masa-masa penting ini sendirian. Kehamilanku menginjak usia lima bulan, itu artinya sebentar lagi aku akan resmi menjadi seorang ibu.Dari awal, saat aku baru saja tahu aku tengah mengandung. Aku memilih mempercayakan semua pekerjaanku pada orang-orang kepercayaanku. Aku ingin memberi yang terbaik untuk anakku.Ah, ya. Selama hamil, aku jadi suka sekali membuat berbagai macam kue. Ada rasa bahagia tersendiri, bohong juga sih, sebenarnya itu semua untuk mengusir rasa sepi dan menjauhkan diri agar tidak lebih lama satu ruang dengan mas Aldi.Moodku sangat berantakan sebenarnya. Aku takut akan berimbas buruk pada calon bayiku.Aku sudah bertekad akan menganggap mas Aldi seperti tidak ada di rumah. Aku berhenti memasak dan menyiapkan baju kerjanya. Aku malas untuk berdebat lagi, karena untuk merasakan sakit hatiku saja perutku jadi sering kram.Untungn
Sejak kejadian dua hari yang lalu, Mas Aldi menyuruhku diam saja di kamar, tapi tetap tidak aku gubris. Aku tetap menganggapnya tidak ada, bahkan suara yang keluar dari mulutnya, kuanggap hanya sebuah angin lalu.Aku memilih menyiram tanaman di pot kecil yang kuletakkan didekat garasi. Sambil bersenandung lirih, aku menyiraminya sampai semua tanamananku basah.“Oooh, pantes aja, Aldi nggak pernah mau diajak ketemu, ternyata bocahnya sedang hamil, tooh!”Mataku celingukan mencari sumber suara yang ternyata berasal dari seorang wanita berambut merah menyala tak jauh dari tempatku berdiri. Aku memutar bola mata malas dan berbalik hendak masuk kedalam rumah. Malas rasanya untuk meladeni.“Sadar diri, dong! Lu, tuh, cuma benalu di persahabatan gue sama Aldi,” teriaknya, membuat beberapa tetangga komplek menoleh kearahnya.Bahkan beberapa tetanggaku mengajak anak mereka m