Seorang wanita berambut hitam legam tengah menatap Aldi. Sorot matanya penuh luka saat memandang lelaki itu. Ternyata, kaleng bekas minuman bersoda itu tak sengaja mengenai lengan istrinya.
Aldi terbelalak, tak menyangka akan ketahuan oleh Rena. Sedangkan Mita memandang suami sahabatnya dengan pandangan menghunus.
“Lo ngikutin gue?” todong Mita seraya mendorong tubuh Aldi.
Tapi lelaki itu tidak menjawab, matanya tak lepas dari wajah istrinya yang kini tengah mengalihkan pandangan ke arah monyet liar yang sesekali turun ke sisi jalan.
“Kita balik ke Hotel, Mit.” ucap Rena dingin. Langkahnya mendekati mobil putih milik Mita.
Aldi terus berlari, kaki jenjangnya sesekali menginjak bebatuan yang membuat langkahnya tergelincir. Hingga akhirnya dia sampai tepat di depan Rena.
“Rena, maafkan aku ...” ucapnya sambil berusaha meraih tangan Rena yang terus saja wanita itu lepaskan.
Cahaya matahari memaksa masuk dari balik tirai berwarna krem. Tubuh Rena yang lelah hilang karena tidurnya yang nyenyak. Wanita cantik itu langsung turun dari ranjang kemudian menuju kamar mandi.Setelah selesai, masih mengenakan jubah mandi dan handuk yang melilit di kepala, Rena berjalan pelan menuju meja riasnya seraya mengambil hairdryer untuk mengeringkan rambutnya yang basah.Pandangannya menyipit kala melihat suaminya dari kaca rias, ternyata Aldi masih meringkuk dibalik selimut tebal berwarna putih itu. Wanita itu berjalan pelan ke arah suaminya mengurungkan niat untuk menyalakan pengering rambut.Ragu, itulah yang dirasakan Rena. Mungkin, dulu, kalau dirinya melihat suaminya seperti ini wanita itu akan menghambur ke belakang tubuh suaminya untuk membangunkan tidurnya. Tapi sekarang, untuk menyentuh suaminya saja Rena merasa enggan.Wanita yang kini tengah berbadan dua itu hanya melihat wajah Aldi.
Rena mematung saat melihat seseorang di ruangan yang dimaksud Lexy. Seorang wanita yang kini menatap bengis kearah Rena yang masih berdiri diambang pintu. Bukan, wanita itu bukan Mita melainkan Wulan Arianda.“Apa-apaan. Mit, kenapa dia di sini!” tanyanya geram.Ya. Wulan sedang bersantai ditemani beberapa pelayan Mita yang sedang memberi perawatan untuk sekujur tubuhnya. Wanita itu bahkan terlihat sangat menikmati saat wajahnya dipoles berbagai macam brand make up terkenal pada kulitnya.“Mita udah nggak butuh lu, pergi deh.” ucap Wulan, tatapannya masih sama terlihat dari kaca rias di depannya.Rena melirik kearah Mita yang tetap menggigit apelnya, tak perduli padanya. Diamnya seakan membenarkan apa yang dikatakan istri dari Fais itu.“Baiklah kalau pertemanan kita sampe sini. Makasih ya, Mit. Gue pamit!”Wanita berbadan dua itu memilih pergi dari kediaman Mita. Airmat
Wanita mungkin di takdirkan menunggu. Sebagian besar wanita bisa sabar, sampai akhirnya apa yang diinginkan menjadi milik mereka. Entah sampai berapa lama. Sumber penulis : Rasa dan Asa. 🌺🌺🌺🌺🌺🌺 Sudah beberapa hari ini, Rena hanya diam di rumah. Mengerjakan pekerjaannya melalui laptop, dan sama sekali tidak mengunjungi Restoran dan juga Supermarketnya. Bosan. Wanita cantik itu bosan dengan rutinitasnya. Aldi sering bertanya mengapa istrinya selalu di rumah, dan hanya dijawab dengan sebuah gelengan kepala. Aldi merasa istrinya semakin jauh, meski seatap dengannya, tapi istrinya seperti tidak mengindahkan kehadirannya. Untuk mengusir rasa sedihnya di hati, Rena memilih berkutat di dapur mencoba membuat aneka kue. Wanita itu merasa sangat senang, saat bolu yang ia buat mengembang sempurna. Tak henti-hentinya wanita itu tersenyum senang, dan berkali-kali meminta
Aku menikmati masa-masa kehamilanku. Yah, meskipun aku merasa menjalani masa-masa penting ini sendirian. Kehamilanku menginjak usia lima bulan, itu artinya sebentar lagi aku akan resmi menjadi seorang ibu.Dari awal, saat aku baru saja tahu aku tengah mengandung. Aku memilih mempercayakan semua pekerjaanku pada orang-orang kepercayaanku. Aku ingin memberi yang terbaik untuk anakku.Ah, ya. Selama hamil, aku jadi suka sekali membuat berbagai macam kue. Ada rasa bahagia tersendiri, bohong juga sih, sebenarnya itu semua untuk mengusir rasa sepi dan menjauhkan diri agar tidak lebih lama satu ruang dengan mas Aldi.Moodku sangat berantakan sebenarnya. Aku takut akan berimbas buruk pada calon bayiku.Aku sudah bertekad akan menganggap mas Aldi seperti tidak ada di rumah. Aku berhenti memasak dan menyiapkan baju kerjanya. Aku malas untuk berdebat lagi, karena untuk merasakan sakit hatiku saja perutku jadi sering kram.Untungn
Sejak kejadian dua hari yang lalu, Mas Aldi menyuruhku diam saja di kamar, tapi tetap tidak aku gubris. Aku tetap menganggapnya tidak ada, bahkan suara yang keluar dari mulutnya, kuanggap hanya sebuah angin lalu.Aku memilih menyiram tanaman di pot kecil yang kuletakkan didekat garasi. Sambil bersenandung lirih, aku menyiraminya sampai semua tanamananku basah.“Oooh, pantes aja, Aldi nggak pernah mau diajak ketemu, ternyata bocahnya sedang hamil, tooh!”Mataku celingukan mencari sumber suara yang ternyata berasal dari seorang wanita berambut merah menyala tak jauh dari tempatku berdiri. Aku memutar bola mata malas dan berbalik hendak masuk kedalam rumah. Malas rasanya untuk meladeni.“Sadar diri, dong! Lu, tuh, cuma benalu di persahabatan gue sama Aldi,” teriaknya, membuat beberapa tetangga komplek menoleh kearahnya.Bahkan beberapa tetanggaku mengajak anak mereka m
Dulu, aku sangat menginginkan ini terjadi. Tapi setelah apa yang kudengar tadi ... Apakah salah aku meminta secercah harapan untuk kembali merajut tali kasih kami berdua?Aku memandang nanar tirai berwarna abu-abu. Terdengar suara petir bergemuruh dan hujan angin. Di mana mas Aldi akan tinggal? Ah, iya, aku ingat suamiku itu punya kakak laki-lakinya yang berkerja sebagai supir pribadi di daerah sumur batu. Mungkin suamiku akan ke sana.Di sisi lain hatiku, aku ingin sekali menanyakan dirinya kini ada di mana dan apa dirinya sudah makan? Namun gengsiku terlalu tinggi hingga merobohkan nuraniku.Tok! Tok! Tok!“Sebentar, Mbok,” sahutku setengah teriak, kemudian bergegas membuka pintu. Sesampainya di sana dan memutar kenopnya, aku tertegun. Di hadapanku, ada seorang wanita berambut ikal yang sangat aku kenali.Air mataku langsung merebak saat melihatnya, sesak di dada pun semakin terasa, aku takut, ini hanya h
Netraku terbelalak kala menatap layar ponsel Mita yang dia serahkan padaku. Kali ini, aku harus benar-benar mengambil keputusan dan membulatkan tekadku.“Lebih baik kita kesana sekarang, Mit.”Sahabatku mengangguk mengerti. Kami pun langsung bergegas membuka pintu, menuruni tangga dan tak lupa pula berpamitan dengan Mbok Nah.Wanita tua itu nampak khawatir padaku, terlihat dari sorot matanya yang sendu. Mungkin dia khawatir padaku, dalam kondisi hamil dan sudah larut malam malah keluar rumah, apa lagi di luar sedang hujan.Biarlah, kali ini aku akan menangkap basah mereka berdua. Aku mendesahkan napas berat, teringat dari story WhatsApp dari nomor gundik itu, mereka tengah berdansa disalah satu Cafe cukup mewah dan aku tahu itu di mana.Jarak pandang mereka berdua begitu dekat, hingga tersekat oleh hembusan napas mereka saja, begitulah yang kulihat. Sedangkan netra mereka berdua nampak hanyut dalam musik yang men
Rena, ya ampuun! Lu, tuh, gue cariin dari tadiiii .... Ternyata malah di sini! Ayo, ikut gue. Lu harus liat ada Ji Chang Wook KW yang lagi berantem sama calon mantan laki lu!”Aku menghentikan langkah yang diseret paksa oleh Mita. Aku baru ingat Risjad sudah tidak di sini. Hatiku tak karuan saat kembali berjalan menyusuri lorong bernuansa serba cokelat dengan lampu hias dikanan-kirinya, mempercantik suasana lorong Cafe.Dengan langkah ragu, aku melangkah kembali menuju pintu masuk Cafe, tapi sebelum masuk ke dalam bahkan baru saja sampai diambang pintu, aku dikejutkan oleh dua orang lelaki yang tengah berkelahi.Mataku terbuka lebar saat tinju beruntun yang di layangkan dari tangan Risjad.”Brengsek Lo!” teriak Risjad dengan tatapan nyalang menatap bengis lelaki di hadapannya.Aku hanya mematung saat tangan putih Risjad memegang kuat kerah kemeja Mas Aldi,