”Nolong sampai harus digendong begini?!” Rena membanting ponselnya ke kasur dan menatap nyalang suaminya.(”Pel4cur! Pel4cur! Pel4cur!”) Suara seorang gadis yang berada di rekaman video ini memperlihatkan Wulan yang tengah di tampar. Rena mengambil kembali ponselnya dan melihat video itu sampai habis. Dadanya naik turun karena emosi.”Aku nolong dia atas dasar kemanusiaan aja, Re. Sesalah apapun dia, nggak seharusnya dia diperlakukan seperti itu. Sekarang dia ada di Klinik Pelita,” papar Haris. ”Kamu boleh benci orang, tapi jangan tutup hati kamu juga, Yang. Lagipula, kamu sama Aldi sudah cerai, buat apa kamu masih mendam dendam begini?” Haris mencoba menasehati.”Aku begini karena takut ular berbisa itu rebut kamu, Ris! Kamu paham nggak sih?!”Haris memeluk Rena mencoba meyakinkan jika dirinya tidak seperti Aldi. Sebenarnya Haris sudah tahu perihal video itu karena grup kantor miliknya pun ramai membahas perlakuan Haris pada Wulan. Bahkan beberapa pesan WA masuk ke ponsel Rena, tapi
Wulan merasakan panas karena ada beberapa cabai halus masuk ke hidung. Seluruh wajahnya memerah dan terasa panas. Fais segera melompat dari kursinya untuk menyelamatkan Wulan karena dari belakang Rena sudah bersiap akan menjambak rambut pirang mantan istrinya.Haris segera memegangi kedua tangan istrinya karena berusaha mencakar wajah Wulan yang tengah meraba-raba mencari air tanpa mengindahkannya ucapan Fais. Rena segera berdiri dan menyiram wajah Wulan dengan jeruk hangat yang dipesan olehnya tepat ke wajah Wulan.”Panas! Panas!” Wulan berjingkat beberapa kali dan berhenti sambil mengusap wajahnya dengan kaos yang ia pakai.Haris mencoba menenangkan Rena, tapi sepertinya tidak mempan karena terlihat napas Rena begitu memburu dengan tatapan tajam masih mengarah ke Wulan yang sedang digiring oleh Fais ke motor.Jari tengah Wulan mengacung ke arah Rena dan berteriak, ”Gue nggak akan tinggal diam, Anj1ng!”Sedangkan semua orang berbisik-bisik, ada yang menggunjing Rena adalah istri sah
Keesokan harinya, Rena terbangun dengan mata sedikit bengkak karena menangis semalam. Saat Haris pergi bahkan tidak mengatakan apapun akan ke mana, Rena merasa diabaikan. Dengan langkah sempoyongan, Rena menuju kamar mandi masih tidak menyadari di sekelilingnya.Bahkan Rena masih terkantuk-kantuk saat memutar kenop pintu kamar mandi. Ia hanya merasakan kakinya ada sesuatu yang ia tabrak tapi enggan untuk melihat. Ia mengira mungkin selimut yang jatuh. Sedangkan Haris yang sudah bangun dari pagi buta hanya gregetan karena suprise yang ia buat belum terlihat.Begitu di kamar mandi Rena menyalakan water heater, matanya mulai terbuka saat guyuran air membasahi wajah. ”Bentar ... kok ada yang aneh? Kenapa lampu kamar mandi gue remang-remang?” gumamnya. Rena mengitari kamar mandi dengan kening berkerut. Kemudian membekap mulut karena kamar mandi miliknya sekarang sudah berubah menjadi kebun bunga mawar yang sangat indah disertai kerlip lampu dan lilin aromaterapi.”Risjaaad!” Rena segera
”Apa nggak bisa gitu sehari gue bahagia tanpa ada yang bikin onar?!” sungut Rena setelah mendengar pekerjanya mengatakan ada yang mengamuk di restoran. Mobil yang hendak melaju ke supermarket, kini bertolak ke restoran. Di perjalanan, dari kaca mobilnya Rena melihat Rose tengah menyeka keringat di dahi Aldi. Hatinya ikut senang jika Rose benar-benar menyukai mantan suaminya. 10 menit kemudian, Rena sudah memarkir mobil dan terkejut melihat mobil Mita sudah ada di sana.Begitu ke dalam, semuanya tidak ada bekas kekacauan, bahkan rapi dan bersih seperti biasanya. Rena memanggil semua karyawan untuk berdiri di depannya dan menanyai apa maksud ucapan di telepon.”Tadi ada mantannya Pak Fais kemari, Bu.” Salah-seorang dari mereka angkat bicara.”Sekarang di mana dia,” tanya Rena lantang. Hatinya bak disiram timah panas lagi-lagi Wulan menyalakan genderang perang padanya.”Nggak usah diurusin. Udah diurus sama Lexy,” timpal Mita.”Ya udah, kalian kembali bekerja.”Semua pelayan dan koki se
Mita benar-benar berdebar karena Adisana tengah di antar kemari oleh beberapa pelayan. Tak begitu jauh, telinganya sudah mendengar derak langkah secara beramai-ramai. Mita menggenggam tangan sahabatnya, sedangkan Wulan terbahak melihat wajah Mita yang semula mengintimidasi kini berubah seperti kucing peliharaan.”Dasar orang kaya sin ting,” maki Wulan sambil meludah.Rena memiringkan kepala, mengangkat sebelah alisnya sambil menatap Wulan. ”Sekarang lo bisa ketawa, tunggu sebentar lagi,” ucap Rena pelan kemudian menyeringai.”Dia sudah datang, kan, Lex?” tanya Rena pada Lexy. Lelaki tampan dengan tubuh tegap itu mengangguk. Di saat itu, pintu terbuka membuat mata Wulan melotot dan berusaha melepas tali yang menjerat, bahkan ia pun menggigitnya.Saat sepasang sepatu heels itu mendekat, Wulan semakin frustasi memikirkan bagaimana ia nanti. Kemungkinan-kemungkinan terburuk saling berlalu lalang di kepalanya seperti kaset rusak. Kedua pemilik heels itu berdiri di depan Wulan sambil bersed
”Aku nggak boleh mati konyol di sini,” gumam Wulan. Kini wanita itu tengah duduk di kasur tipis kostnya. Dari kemarin setelah pulang dari rumah Mita, Wulan benar-benar memikirkan ucapan Adisana yang memintanya pulang kembali ke Jawa. Clara pasti akan mencari Wulan terlebih ia pun tahu bagaimana Clara yang sebenarnya.Tidak ingin mati konyol, itu yang membuat motivasinya untuk kembali ke Jawa. Di perjalanan pulang kemarin pun Wulan meminta maaf pada Fais, dan meminta ingin menemui Kresnaldi. Fais mengizinkan dan mempersilahkan mantan istrinya itu agar mengunjungi rumahnya di desa.Ada secarik rasa sedih di hati Fais kala itu, merasa ini adalah pertemuan terakhirnya dengan Wulan meski ia tahu jika mantan istrinya itu hanya akan diam saja di desa. Benar bagi Adisana, lebih baik Wulan ke kampung halamannya saja dari pada harus di kota dengan kemungkinan bahaya lain dari Clara.Wulan merapikan kembali baju-bajunya dan menaruh ke dalam koper, ia juga sempat menulis surat untuk Fais karena t
Fais segera menaiki bus untuk menuju rumah sakit. Butuh waktu 3 jam untuk sampai ke sana. Ada sedikit kesal karena permintaan cutinya diabaikan oleh atasannya itu. Padahal jelas-jelas ia sudah mengatakan alasannya. Fais mencengkram keras ponselnya yang terdapat foto Wulan mengenakan dress pink tua tanpa lengan. Wulan masih terlihat polos dengan sendal jepit warna hitam. Latar belakang foto itu adalah kebun singkong. Fais tersenyum teringat saat mengambil foto itu saat mereka berdua masih SMK. Bahkan Wulan terlihat kaku saat berpose dengan tangan menyangga dagu. Wulan samasekali tak tersenyum di sana. Wulan dengan ekspresi datarnya dengan Fais yang sudah jatuh cinta saat itu. Pertemuan kedua saat di Jakarta saat itu bagai membuainya kembali untuk mengingat kali pertama saat mereka berdua masih berteman, hanya saja Wulan tidak mengingatnya.3 jam terlewati, bus berhenti dengan supir yang berteriak kencang agar penumpang yang tertidur bisa bangun mendengarnya. Fais tersadar dari romans
Rena dan Aldi saling pandang, kemudian ditengahi oleh Fais yang tengah menatap tajam keduanya secara bergantian.”Kematian nggak ada yang tau, Pak Aldi.” Fais angkat bicara. ”Wulan memang salah, tapi bukankah sekarang yang Wulan harapkan adalah kata maaf dari kita? Nggak ada lagi keluarganya yang hadir.”Adisana kembali ke ruang mayat, ”Administrasi sudah saya urus,” ujarnya diikuti 2 orang perawat laki-laki yang mendekat ke arah peti, kemudian menutupnya. Air mata Fais kembali lolos.”Apa kata polisi?” tanya Rena pada Fais.Fais menggeleng, ”Belum diketahui. Mungkin memang hanya tabrakan dan supir mengantuk.” Kemudian lelaki itu mengikuti arah 2 perawat tadi yang tengah meminta bantuan perawat lain untuk menaruh peti ke mobil ambulan. Setelah siap, Fais masuk ke ambulan. Sebelum si perawat menutupnya, Rena menghampiri.”Kita semua ikut ke kampung Wulan,” ujarnya, setelah Fais mengangguk Rena menghampiri suaminya dan berjalan ke arah mobil. Aldi mengetatkan rahang, melihat kondisi Wu