Fais menarik lengan istrinya dengan kasar menuju pintu keluar, menerobos paksa kerumunan orang yang penasaran terhadap kami. Lelaki itu tidak mengindahkan jeritan istrinya yang meminta dilepaskan.
Aku tentu khawatir kalau Fais benar-benar menalak wanita itu, pasti dia malah sangat senang menerimanya dan lebih leluasa mendekati suamiku.
Aku ingin mencoba menyelamatkan rumah tanggaku, setelah nanti apa yang ada di pikiranku terjawab salah, aku ingin memperbaiki seperti semula.
Aku melirik Mita yang kini sedang menerima telfon seraya menjauh dariku. Sedangkan Mas Aldi terus menatap pintu Cafe yang sudah kembali tertutup. Ah, mungkin dia tengah merasa bersalah pada sahabatnya.
“Ren, gue pulang ya' nyokap gue baru aja balik.” ujar Mita pamit, dan aku mengangguk.
Aku memilih kembali duduk, tak menghiraukan Mas Aldi yang terus berdiri menatap kaca Cafe. Di luar sana, memang masih terlihat perdebatan yang cukup sengit.
Pelayan menghampiri meja, menawarkan berbagai menu yang menggugah selera. Aku baru ingat, dari kemarin perutku belum terisi.
Aku memesan spaghetti dan chicken wings untuk mengganjal perut. Sembari menunggu pesananku datang, aku berfoto ria kemudian menguploadnya ke aplikasi efbe dengan caption.
‘Jika mau bermain. Pastikan lawanmu melebihi dirimu.’ kemudian memencet tulisan unggah.
Aku harus memastikan lelaki itu tidak menggugat cerai istrinya. Di sampingku, Mas Aldi duduk menatapku enggan, hingga tak berapa lama ada pelayan datang membawa menu yang ku pesan.
“Saat suamimu mendapat masalah begini, kamu malah merayakannya dengan makanan sebanyak ini? Are u crazy?” sentak Mas Aldi.
“Itu masalahmu dengannya, Mas. Salah sendiri mendekati istri orang. Mau jadi pebinor?” sahutku seraya memasukkan spaghetti ke dalam mulut.
Dia mengambil dua chicken wings dan melahapnya sekaligus. Cih!
Setelah semuanya habis, aku meninggalkan Mas Aldi yang menatapku bengong karena tidak memesankan apapun untuknya. Batinku tertawa lebar melihat ekspresinya.
Saat aku baru saja sampai di depan pintu keluar, lelaki itu menghampiriku dengan tergopoh.
“Pulang sama aku!” titahnya sambil menarik tanganku.
Aku tidak membantah, karena memang sudah tidak ada urusan lagi di sini. Lagi pula' aku ingin seharian di rumah untuk saat ini, mengingat Supermarket sudah ada yang mengurus. Aku terima beres saja.
Saat aku memandangi area parkir khusus motor, kedua suami-istri itu sudah tidak ada. Aku jadi penasaran, bagaimana kelanjutan mereka setelah ini.
Mobil Harrier Mas Aldi berhenti tepat di depanku. Yah, dengan anggun aku masuk ke dalam. Aku baru sadar, Jakarta sudah mulai gelap.
Di sepanjang perjalanan, Mas Aldi hanya diam. Tapi aku tahu, diamnya suamiku ini pikirannya selalu berkerja. Ya, apa lagi. Pasti memikirkan gundiknya 'lah!
Aku melihat tempat yang biasa dulu kami habiskan bersama. Pikiranku melayang. Dulu, Mas Aldi sering mengajakku kemari. Katanya, makanan minang di Kramat Raya, yang ada di sisi jalan ini enak. Aku penasaran mengingat aku sangat menyukai masakan berbumbu kuat.
Aku hanya memandangi tempat itu dari kaca, apa mungkin kenangan ku dengannya akan terulang kembali?
“Aku bingung, kenapa kamu terus aja ngungkit masalalu kalian yang udah berkali-kali di obrolin?” tanyaku akhirnya.
“Jawab, Mas!!” sentakku, karena di samping, Mas Aldi hanya diam.
“Kamu cinta 'kan sama gundik it--”
“Rena Theressia! Dia hanya teman lamaku, te-man la-ma! Bukan gundik seperti yang kamu bilang. Dia adalah orang yang sangat baik, yang bahkan tidak kamu tau!” ucap lelaki itu, wajahnya merah padam.
“Kebaikan apa yang membuatmu sampai begini, hah! Aku memberimu mobil, kekayaan, apa itu tidak cukup untuk kamu nilai baik?!” mataku berkilat-kilat marah.
Dia menatapku, “itulah kamu, Ren. Selalu mengukur semuanya dengan uang.” ujarnya mendengkus.
“Realistis saja, Mas. Apa kamu tau? Wanita yang kamu puja-puja itu selalu meminta uang lebih ke suaminya, karena selalu merasa kekurangan. Kalau nanti kalian bersama, di kasih makan apa dia dengan nafkah yang hanya li-ma ra-tus ri-bu?” cerocosku penuh penekanan.
Mulut lelaki itu terkatup rapat. Sepertinya dia sangat kesal oleh ocehanku. Mungkin dia baru tahu, kucing yang lugu dan baik hati kini menunjukkan taringnya.
“Aku sudah memberimu waktu hampir 10 tahun, Mas. Aku berharap, jangan buat aku marah karena ketika aku sudah benar-benar marah, aku bisa berbuat apapun yang aku mau terhadap, Wulan!” aku menatap bengis dirinya.
🌺🌺🌺🌺🌺
Aku berkutat dengan berbagai macam peralatan masak. Aku ingin membuat cumi saos tiram dan menumis sawi putih. Aku cekatan dalam hal memasak, karena ini hobiku.
Ada kebahagiaan tersendiri bila apa yang kumasak dipuji enak oleh orang yang memakannya. Asisten rumah tanggaku sudah datang kemarin malam. Tapi aku tetap ingin memasak di saat moodku benar-benar bagus.
Kini aku tengah membersihkan cumi besar yang ku ambil dari kulkas. Saat di dapur, pikiranku akan lebih positif karena hanya tertuju pada satu tujuan.
Aku melirik ke arah tangga, ada Mas Aldi di sana menatapku hangat. Aku langsung menyuruhnya duduk karena semua menu sudah selesai. Aku melihat penampilannya yang sudah siap untuk ke kantor.
Kami makan dalam diam, menyusuri isi kepala masing-masing. Semalam, sepulangnya dari Cafe Morino. Mas Aldi membuatku melunak untuk sementara ini.
“Mas nggak ada hubungan apa-apa sama dia, Ren...” ucapnya berlutut di hadapanku yang tengah duduk di sofa single.
“Kalo Mas mau bermain api di belakangmu, tentu aku yang merugi, meninggalkan Istri yang hebat hanya demi sahabat.” lanjutnya.
Aku menghindari tatapan matanya, pikiranku begitu berkecamuk. Emosi yang aku rasakan bisa meledak kapan saja.
“Apa yang bisa aku percayai dari kata-kata Mas kali ini?”
“Aku nggak akan pergi lagi dengannya, tanpa izin dari kamu.” ucapnya lembut.
“Aku nggak akan pernah memberi izin!” ucapku ketus.
“Ya, berarti Mas nggak usah ketemu lagi.” ujarnya menenangkanku.
“Aku sudah sering kamu bohongi, Mas. Kalo kali ini kamu berbohong, aku nggak tau lagi akan berbuat apa ke suami gundikmu!” kemudian aku beranjak menapaki tangga.
Ternyata Mas Aldi mengekor di belakangku. Menatap mataku dalam hingga aku membeku di hadapannya, lalu menarikku dalam pelukan yang selalu tidak bisa kutolak.
Parfumnya menguar saat aku bersandar di dada bidangnya, nafas suamiku memburu kala tangannya mencoba mengangkat wajahku dan melumat bibir mungilku.
Aku merasa kikuk, karena sudah lama sekali, aku tidak mendapat hak ku. Kami berciuman dengan panas, di iringi alunan musik klasik dari piringan hitam.
Kemeja yang dipakai Mas Aldi ia lucuti paksa, memperlihatkan perutnya yang six pack menggoda. Aku di baringkan olehnya di atas kasur berwarna putih, kemudian melanjutkan pergumulan di atas peraduan.
“Dimakan dong, sayang.” ucapan Mas Aldi mengembalikan aku dari lamunan panjang.
“Maaf ya, sudah mengabaikan kamu terlalu lama. Nanti aku pulang tepat waktu.”
Mas Aldi beranjak ke arah pintu, setelah aku mencium tangannya dan dibalas kecupan di kening. Aku memang wanita lemah, hanya dengan rayuannya saja aku memilih menapaki bahtera rumah tangga kembali dengannya. Aku hanya berharap semoga kali ini dia tidak berbohong.
Mobil hitam suamiku sudah tidak terlihat, aku kembali masuk dan menutup pintu.
Suara John Mayer dari ponsel, tertera nama Kak Adi menelpon.
‘Ren, Fais minta nomermu. Katanya ada hal penting yang mau dia sampein langsung, hari ini dia minta cuti.’ ucap lelaki itu di seberang telpon.
“Kasih saja, Kak. Aku tau apa yang mau dia bicarain.”
Setelah berbasa-basi sedikit, aku memutuskan sambungan dan beranjak ke lantai atas untuk mandi.
Aku membuka lemari, mengambil kaos berwarna putih dan celana pendek berwarna senada. Lalu mengeringkan rambut setelahnya aku bersolek tipis saja.
Aku memilih membaca novel karya Ika Natassa, aku penggemarnya, karena novel yang dia rilis selalu membuatku berdecak kagum.
Aku menuruni tangga, memilih berselonjor di sofa sambil menikmati secangkir kopi buatan asisten rumah tanggaku dan beberapa makanan ringan di sampingnya.
Suara John Mayer kembali mengalun indah dari ponsel keluaran terbaruku, tertera nomor tanpa nama. Pasti itu Fais, supervisorku.
‘Halo, Non. Bisa menemui saya sebentar?’
“Ke rumahku saja, aku males bepergian.” titahku.
‘Baik, Non. Kirimkan saja alamatnya.’ kemudian sambungan telpon mati.
Hampir dua jam aku menunggu kedatangan Fais, akhirnya dia muncul juga.
Mataku menyipit kala melihat lelaki itu membawa serta istrinya yang kurang adab itu. Jika saja mataku berlaser, sudah pasti tatapanku sudah membelah wanita itu.
Mereka duduk di ruang kerja di lantai atas, setelah sebelumnya aku meminta Mbok Nah membuat minuman dingin dan membawa makanan ringan ke ruanganku.
Aku menatap wanita itu yang kini tengah memilin ujung kaosnya. Mengingat dirinya lah orang yang sangat aku benci dalam hidup, ingin sekali aku memakannya. Hih! Aku benci. Untuk menyebut namanya saja aku mulas.
“Kedatangan kami ke sini untuk meminta maaf, Non,” ucap suami wanita itu.
“Aku dan suamimu cuma teman. Dan selama berteman dengannya, kami memang terbiasa untuk kesana kemari bareng,” terang wanita itu.
Aku menghembuskan nafas dalam-dalam. Mencerna setiap perkataannya.
“Apa kamu sadar, sahabatmu sudah menjadi suamiku? Jika memang kamu sahabat, apa kamu rela suamimu di perlakukan sama dengan sahabatnya seperti kamu dengan suamiku?” kataku ketus.
Tok! Tok! Tok!
“Sayang, berkas aku ketingga--” Semua orang memandang lelaki yang kini berdiri memegangi handle pintu. Tatapannya menatap ke arah Wulan dan Fais bergantian. Sedetik kemudian, raut wajah yang tadi bingung berubah seperti biasa lagi. “Ternyata ada tamu,” ucapnya, lalu masuk mencari berkas yang dicari. “Mas,” cegahku saat Mas Aldi sampai di pintu. Lelaki itu menoleh menghentikan tangannya memutar kenop. “Katanya ada yang mau kamu omongin. Nih, ada Pak Fais.” “Ta-tapi...” ucap Mas Aldi gugup. Aku jadi meragukan dirinya, padahal baru semalam dia berjanji padaku. Ku perhatikan dirinya yang perlahan duduk di sampingku. Tatapan Wulan terus mengarah ke Mas Aldi, hingga suaminya menyenggol lengan wanita itu, lalu menunduk. “Teruskan, Pak Fais, tentang pembicaraan kita. S
Kali ini hujan turun lagi, aku duduk memandangi hujan yang terbawa angin dengan sesekali cipratannya mengenai kaca. Sweater merah muda membalut tubuhku, aku menikmati hujan di balik jendela kaca dengan secangkir teh manis panas.Kugosok hidungku yang terasa gatal, kemudian mengusap kedua tanganku agar lebih hangat, aku menangkupkan kedua tanganku di pipi dengan mata terus memandang hujan.“Lan,”Aku menoleh, ternyata Bapak. Mungkin dia baru saja pulang dari ladang, karena bajunya yang basah, pasti dia baru saja pulang kehujanan.“Kenapa, Pak? Mandi dulu aja, Pak.” sahutku, lalu melangkah ke dapur hendak membuatkan lelaki tua itu teh panas tawar, karena Bapak tidak suka manis.Dari tirai dapur, aku dapat melihat Bapak menuruti ucapanku melangkah menuju kamar mandi. Aku baru saja ingat, ada pisang tanduk di lemari makanan.‘mending pisangnya ku goreng saja.” aku bergumam.&
Aldi terus menghiburku, bahkan dirinya selalu menemuiku setelah pulang kerja. Memastikan perutku sudah terisi, dan tentunya aku suka dengan perhatiannya.Kini, kami sedang menikmati mie ayam langganan kami. Makanan favorit kami. Sambil menunggu pesanan kami datang, aku mencoba membuka efbe di ponsel mungilku.“Loh, Di! Kok, akun aku kamu blokir 'sih?” gerutuku.“Cewekku nggak suka sama komentar kamu, Lan. Dia marah-marah semalem,” ucapnya sembari menyeruput kopinya.“Cemburuan amat, sih! Harusnya kalo dia mau jadi pacar kamu, ya harus mau terima aku!” sahutku jengkel. “coba, gimana sih pacarmu?”Aldi mengeluarkan ponsel yang cukup bermerk, mengetikkan beberapa huruf di kolom pencarian lalu mengkliknya saat yang dicari ketemu.Aku menatap foto wanita yang mungkin usianya masih belasan. Ku tebak, dia pasti masih SMA! Cih
Hari berlalu dengan sangat cepat. Bapak, sudah berada di Jakarta. Dirinya lebih memilih mengontrak di daerah Sunter. Tidak bersama dengan aku dan Ibu.Selama itu juga, Aldi terus menemaniku, menuruti segala kemauanku. Sesuatu yang telah terjadi di antara kami tidak menggoyahkan persahabatan kami. Karena, beginilah persahabatan kami.Hari ini aku tidak berkerja, bapak sudah menelpon akan menemuiku siang ini di kontrakan Ibu. Aku menunggunya dengan gelisah, karena apa yang bapak ucapkan adalah mutlak. Cepat atau lambat, perjodohan ini akan aku jalani dan pastilah akan berujung ke pernikahan.Tok! Tok! Tok!“Assalamu'alaikum,” aku semakin gugup tak karuan kala mendengar suara yang sedari tadi mengganggu pikiranku. Bapak!“Wa'alaikumussalam, Pak!” jawabku seraya membuka pintu berwarna cokelat kehitaman.Mataku bertemu pandang dengan seorang lelaki berkulit kecoklatan, berambut ikal dan
Aldi memandangku dengan kening berkerut. Aku gelagapan saat ketahuan mengumpat di depannya menyumpah serapahkan pacarnya berkali-kali.“Kenapa, Rena?” tanyanya, suaranya khas seperti orang bangun tidur.“I-itu, Di. Tadi cewekmu nelpon, aku angkat. Eh, dia marah-marahin aku!” aduku sambil mengerucutkan bibir tebalku ke arahnya. Untunglah aku sudah menghapus SMSnya, jadi aku aman!“Hm, dia paling cemburu. Nggak pa-pa, nanti aku yang bilang ke dia. Ini masih malem, lho, Lan. Kenapa nggak tidur lagi?” ucapnya seraya menjauh dari kasur dan meletakkan selimut berwarna cokelat di lantai dekat pintu.“Maaf, ya. Tadi aku ketiduran, kamu tidur aja di kasur. Biar aku yang di sini.” bibir tipisnya membentuk lengkungan, kemudian lelaki itu mengambil posisi nyaman dan kembali tidur.‘Hufh, untunglah!’ batinku.Keesokan harinya, aku langsung menuju kamar mandi y
“Lan, kayaknya aku harus pergi bentar deh. Kamu mau ikut nggak?” tawarnya.Tapi aku menggeleng, karena kalau terlalu jauh aku bepergian. Aku takut ketahuan ada di sini oleh bapak dan Fais. Ibu saja sudah berpuluh kali telfon dan memintaku pulang.Ah, aku lebih baik ke kamar saja. Menyalakan musik yang keras sambil berselancar di sosial media berlogo F.Aku merasa bosan, sudah sejam Aldi pergi dan belum juga pulang. Tidak tahu apa, aku lagi nunggu!“Lan! Lan!” panggilnya dari suara yang sangat kukenal. Aldi!“Ini buat kamu,” dia menyodorkan boneka panda berukuran kecil padaku. Sungguh! Aku menyukainya.“Kamu ... Pergi beli ini?” tanyaku dengan mata berbinar.Dia mengangguk, “aku liat boneka ini lucu. Buat kenang-kenangan, kalo nanti kamu jauh dari aku, kamu bisa peluk boneka ini untuk pengganti aku.&rdqu
“Bapak?” lirih Wulan, kemudian lari ke dalam rumah setelah sebelumnya membanting pintu.Sedangkan, Aldi, lebih memilih pergi dari kekacauan di depannya. Karena percuma saja jika berkata pun orang tua Wulan tidak akan percaya begitu saja.Dua hari berlalu, dan selama itu juga pikiran Wulan berkecamuk. Ia belum siap meninggalkan semua yang ada di sini, belum siap hidup tanpa Aldi, dan belum siap kembali berkutat dengan orang-orang yang memiliki pandangan berbeda dalam memandang hidup.[Di, kapan kamu kesini?]Wulan mengetikkan SMS pada lelaki itu, dan ternyata Aldi justru sudah berada di depannya. Menyalakan klakson, matanya menyiratkan perih saat memandang wanita di depannya.Selama dua hari itu pula, makanan tidak masuk kedalam perutnya. Padahal saat putus dengan pacarnya, dia masih bisa tertawa karena kehadiran wanita berumur 20 tahun itu.Saat sekarang, tidak ada yang bisa ia harapkan lagi. Ia kema
Dari kejadian malam itu, lahirlah seorang anak laki-laki yang ia beri nama ‘Kresnaldi Pramudia Wardana’. Wanita itu memang sengaja memberi nama yang sama persis dengan nama sahabatnya. Walau sebelumnya terjadi perdebatan cukup sengit dengan suaminya, bahkan tidak mempercayai yang ia lahirkan adalah anaknya.‘yeah, terserahlah.’ wanita itu tidak ambil pusing.Kabar tentang nama yang wanita itu berikan di unggah kedalam sosial medianya berlogo F.[Yang melintas kala membuat nama my baby, adalah kamu. Kresnaldi Pramudia Wardana.] Unggahnya serta dengan foto bayinya yang berusia empat puluh hari.Tak berselang lama, orang yang dituju langsung mengirim di kolom komentar.‘Kok, nama aku 'sih?’‘Nggak pa-pa 'kan, Di? Biar unik kayak kamu...’Dan seterusnya yang dilanjutkan nostalgia dengan masalalu mereka.Kini, Aldi kecil sudah berusia lima tahun, dan