Share

6. Pertemuan

Fais menarik lengan istrinya dengan kasar menuju pintu keluar, menerobos paksa kerumunan orang yang penasaran terhadap kami. Lelaki itu tidak mengindahkan jeritan istrinya yang meminta dilepaskan. 

Aku tentu khawatir kalau Fais benar-benar menalak wanita itu, pasti dia malah sangat senang menerimanya dan lebih leluasa mendekati suamiku. 

Aku ingin mencoba menyelamatkan rumah tanggaku, setelah nanti apa yang ada di pikiranku terjawab salah, aku ingin memperbaiki seperti semula. 

Aku melirik Mita yang kini sedang menerima telfon seraya menjauh dariku. Sedangkan Mas Aldi terus menatap pintu Cafe yang sudah kembali tertutup. Ah, mungkin dia tengah merasa bersalah pada sahabatnya. 

“Ren, gue pulang ya' nyokap gue baru aja balik.” ujar Mita pamit, dan aku mengangguk. 

Aku memilih kembali duduk, tak menghiraukan Mas Aldi yang terus berdiri menatap kaca Cafe. Di luar sana, memang masih terlihat perdebatan yang cukup sengit. 

Pelayan menghampiri meja, menawarkan berbagai menu yang menggugah selera. Aku baru ingat, dari kemarin perutku belum terisi. 

Aku memesan spaghetti dan chicken wings untuk mengganjal perut. Sembari menunggu pesananku datang, aku berfoto ria kemudian menguploadnya ke aplikasi efbe dengan caption. 

‘Jika mau bermain. Pastikan lawanmu melebihi dirimu.’ kemudian memencet tulisan unggah. 

Aku harus memastikan lelaki itu tidak menggugat cerai istrinya. Di sampingku, Mas Aldi duduk menatapku enggan, hingga tak berapa lama ada pelayan datang membawa menu yang ku pesan. 

“Saat suamimu mendapat masalah begini, kamu malah merayakannya dengan makanan sebanyak ini? Are u crazy?” sentak Mas Aldi. 

“Itu masalahmu dengannya, Mas. Salah sendiri mendekati istri orang. Mau jadi pebinor?” sahutku seraya memasukkan spaghetti ke dalam mulut. 

Dia mengambil dua chicken wings dan melahapnya sekaligus. Cih! 

Setelah semuanya habis, aku meninggalkan Mas Aldi yang menatapku bengong karena tidak memesankan apapun untuknya. Batinku tertawa lebar melihat ekspresinya. 

Saat aku baru saja sampai di depan pintu keluar, lelaki itu menghampiriku dengan tergopoh. 

“Pulang sama aku!” titahnya sambil menarik tanganku. 

Aku tidak membantah, karena memang sudah tidak ada urusan lagi di sini. Lagi pula' aku ingin seharian di rumah untuk saat ini, mengingat Supermarket sudah ada yang mengurus. Aku terima beres saja. 

Saat aku memandangi area parkir khusus motor, kedua suami-istri itu sudah tidak ada. Aku jadi penasaran, bagaimana kelanjutan mereka setelah ini. 

Mobil Harrier Mas Aldi berhenti tepat di depanku. Yah, dengan anggun aku masuk ke dalam. Aku baru sadar, Jakarta sudah mulai gelap. 

Di sepanjang perjalanan, Mas Aldi hanya diam. Tapi aku tahu, diamnya suamiku ini pikirannya selalu berkerja. Ya, apa lagi. Pasti memikirkan gundiknya 'lah! 

Aku melihat tempat yang biasa dulu kami habiskan bersama. Pikiranku melayang. Dulu, Mas Aldi sering mengajakku kemari. Katanya, makanan minang di Kramat Raya, yang ada di sisi jalan ini enak. Aku penasaran mengingat aku sangat menyukai masakan berbumbu kuat. 

Aku hanya memandangi tempat itu dari kaca, apa mungkin kenangan ku dengannya akan terulang kembali? 

“Aku bingung, kenapa kamu terus aja ngungkit masalalu kalian yang udah berkali-kali di obrolin?” tanyaku akhirnya. 

“Jawab, Mas!!” sentakku, karena di samping, Mas Aldi hanya diam. 

“Kamu cinta 'kan sama gundik it--”

“Rena Theressia! Dia hanya teman lamaku, te-man la-ma! Bukan gundik seperti yang kamu bilang. Dia adalah orang yang sangat baik, yang bahkan tidak kamu tau!” ucap lelaki itu, wajahnya merah padam. 

“Kebaikan apa yang membuatmu sampai begini, hah! Aku memberimu mobil, kekayaan, apa itu tidak cukup untuk kamu nilai baik?!” mataku berkilat-kilat marah. 

Dia menatapku, “itulah kamu, Ren. Selalu mengukur semuanya dengan uang.” ujarnya mendengkus. 

“Realistis saja, Mas. Apa kamu tau? Wanita yang kamu puja-puja itu selalu meminta uang lebih ke suaminya, karena selalu merasa kekurangan. Kalau nanti kalian bersama, di kasih makan apa dia dengan nafkah yang hanya li-ma ra-tus ri-bu?” cerocosku penuh penekanan. 

Mulut lelaki itu terkatup rapat. Sepertinya dia sangat kesal oleh ocehanku. Mungkin dia baru tahu, kucing yang lugu dan baik hati kini menunjukkan taringnya. 

“Aku sudah memberimu waktu hampir 10 tahun, Mas. Aku berharap, jangan buat aku marah karena ketika aku sudah benar-benar marah, aku bisa berbuat apapun yang aku mau terhadap, Wulan!” aku menatap bengis dirinya. 

🌺🌺🌺🌺🌺

Aku berkutat dengan berbagai macam peralatan masak. Aku ingin membuat cumi saos tiram dan menumis sawi putih. Aku cekatan dalam hal memasak, karena ini hobiku. 

Ada kebahagiaan tersendiri bila apa yang kumasak dipuji enak oleh orang yang memakannya. Asisten rumah tanggaku sudah datang kemarin malam. Tapi aku tetap ingin memasak di saat moodku benar-benar bagus. 

Kini aku tengah membersihkan cumi besar yang ku ambil dari kulkas. Saat di dapur, pikiranku akan lebih positif karena hanya tertuju pada satu tujuan. 

Aku melirik ke arah tangga, ada Mas Aldi di sana menatapku hangat. Aku langsung menyuruhnya duduk karena semua menu sudah selesai. Aku melihat penampilannya yang sudah siap untuk ke kantor. 

Kami makan dalam diam, menyusuri isi kepala masing-masing. Semalam, sepulangnya dari Cafe Morino. Mas Aldi membuatku melunak untuk sementara ini. 

“Mas nggak ada hubungan apa-apa sama dia, Ren...” ucapnya berlutut di hadapanku yang tengah duduk di sofa single. 

“Kalo Mas mau bermain api di belakangmu, tentu aku yang merugi, meninggalkan Istri yang hebat hanya demi sahabat.” lanjutnya. 

Aku menghindari tatapan matanya, pikiranku begitu berkecamuk. Emosi yang aku rasakan bisa meledak kapan saja. 

“Apa yang bisa aku percayai dari kata-kata Mas kali ini?” 

“Aku nggak akan pergi lagi dengannya, tanpa izin dari kamu.” ucapnya lembut. 

“Aku nggak akan pernah memberi izin!” ucapku ketus. 

“Ya, berarti Mas nggak usah ketemu lagi.” ujarnya menenangkanku. 

“Aku sudah sering kamu bohongi, Mas. Kalo kali ini kamu berbohong, aku nggak tau lagi akan berbuat apa ke suami gundikmu!” kemudian aku beranjak menapaki tangga. 

Ternyata Mas Aldi mengekor di belakangku. Menatap mataku dalam hingga aku membeku di hadapannya, lalu menarikku dalam pelukan yang selalu tidak bisa kutolak.

Parfumnya menguar saat aku bersandar di dada bidangnya, nafas suamiku memburu kala tangannya mencoba mengangkat wajahku dan melumat bibir mungilku. 

Aku merasa kikuk, karena sudah lama sekali, aku tidak mendapat hak ku. Kami berciuman dengan panas, di iringi alunan musik klasik dari piringan hitam. 

Kemeja yang dipakai Mas Aldi ia lucuti paksa, memperlihatkan perutnya yang six pack menggoda. Aku di baringkan olehnya di atas kasur berwarna putih, kemudian melanjutkan pergumulan di atas peraduan. 

“Dimakan dong, sayang.” ucapan Mas Aldi mengembalikan aku dari lamunan panjang. 

“Maaf ya, sudah mengabaikan kamu terlalu lama. Nanti aku pulang tepat waktu.” 

Mas Aldi beranjak ke arah pintu, setelah aku mencium tangannya dan dibalas kecupan di kening. Aku memang wanita lemah, hanya dengan rayuannya saja aku memilih menapaki bahtera rumah tangga kembali dengannya. Aku hanya berharap semoga kali ini dia tidak berbohong. 

Mobil hitam suamiku sudah tidak terlihat, aku kembali masuk dan menutup pintu. 

Suara John Mayer dari ponsel, tertera nama Kak Adi menelpon. 

‘Ren, Fais minta nomermu. Katanya ada hal penting yang mau dia sampein langsung, hari ini dia minta cuti.’ ucap lelaki itu di seberang telpon. 

“Kasih saja, Kak. Aku tau apa yang mau dia bicarain.”

Setelah berbasa-basi sedikit, aku memutuskan sambungan dan beranjak ke lantai atas untuk mandi. 

Aku membuka lemari, mengambil kaos berwarna putih dan celana pendek berwarna senada. Lalu mengeringkan rambut setelahnya aku bersolek tipis saja. 

Aku memilih membaca novel karya Ika Natassa, aku penggemarnya, karena novel yang dia rilis selalu membuatku berdecak kagum. 

Aku menuruni tangga, memilih berselonjor di sofa sambil menikmati secangkir kopi buatan asisten rumah tanggaku dan beberapa makanan ringan di sampingnya. 

Suara John Mayer kembali mengalun indah dari ponsel keluaran terbaruku, tertera nomor tanpa nama. Pasti itu Fais, supervisorku. 

‘Halo, Non. Bisa menemui saya sebentar?’

“Ke rumahku saja, aku males bepergian.” titahku. 

‘Baik, Non. Kirimkan saja alamatnya.’ kemudian sambungan telpon mati. 

Hampir dua jam aku menunggu kedatangan Fais, akhirnya dia muncul juga. 

Mataku menyipit kala melihat lelaki itu membawa serta istrinya yang kurang adab itu. Jika saja mataku berlaser, sudah pasti tatapanku sudah membelah wanita itu. 

Mereka duduk di ruang kerja di lantai atas, setelah sebelumnya aku meminta Mbok Nah membuat minuman dingin dan membawa makanan ringan ke ruanganku. 

Aku menatap wanita itu yang kini tengah memilin ujung kaosnya. Mengingat dirinya lah orang yang sangat aku benci dalam hidup, ingin sekali aku memakannya. Hih! Aku benci. Untuk menyebut namanya saja aku mulas. 

“Kedatangan kami ke sini untuk meminta maaf, Non,” ucap suami wanita itu. 

“Aku dan suamimu cuma teman. Dan selama berteman dengannya, kami memang terbiasa untuk kesana kemari bareng,” terang wanita itu. 

Aku menghembuskan nafas dalam-dalam. Mencerna setiap perkataannya. 

“Apa kamu sadar, sahabatmu sudah menjadi suamiku? Jika memang kamu sahabat, apa kamu rela suamimu di perlakukan sama dengan sahabatnya seperti kamu dengan suamiku?” kataku ketus. 

Tok! Tok! Tok! 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
karakter si rena ini sombong,besar bacot dan menjijikkan. dirayu dikit aja langsung nganhkang.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status