“Kamu tentu tau 'kan? Kakak bisa saja mendepak suamimu dari kantornya.” ucapan Kak Adi di angguki oleh sahabatku--Mita.
“Kamu sudah disakiti seperti ini dan masih berharap hubungan kalian membaik?” imbuhnya dengan mata menyipit.
Buliran bening kembali membasahi pipiku, tapi cepat kuhapus dengan tangan kananku.
“Jangan nangis, Rena. Kakak nggak bisa liat kamu begini.” kemudian lelaki itu berdiri masuk ke ruangannya. Sedangkan aku dan Mita lebih memilih pergi menuju parkiran.
“Jangan mau disakitin terus, Ren. Kakak lu aja nggak rela, gue juga sama. Ngga suka liat lu begini.” terangnya, lalu masuk ke mobil dan melajukannya.
Ini sangat berat.
🌺🌺🌺🌺🌺
Aku melajukan kendaraanku dengan kecepatan sedang. Aku malas sekali pulang dan harus melihat penghianat itu di rumah. Satu-satunya tempat untuk menenangkan diri adalah taman.
Aku parkirkan mobil merahku dan berlari kecil menuju taman. Saat aku baru saja duduk, aku melihat anak kecil terjatuh di hadapanku.
Aku tersenyum ke arahnya, membantunya berdiri, lalu mengusap lututnya yang berdarah.
“Makasih, Tante.” ucapnya kemudian berlari kearah ibunya yang mengangguk padaku kala kami bertemu pandang.
Dulu, aku sangat menantikan janin tumbuh di rahimku. Tapi, perubahan suamiku yang membuatku harus menelan bulat-bulat impianku untuk mempunyai keluarga bahagia dengannya.
Ting!
Bunyi pesan di aplikasi hijau, kubaca nama yang tertera. ‘Mas Aldi’.
[Mas kangen kamu yang biasa.]
Mataku kembali memanas, ku pegang dadaku yang terasa sakit oleh perbuatannya. Padahal, saat hubungan kami masih harmonis, kami hampir tidak pernah bertengkar kecuali bertengkar oleh satu nama. Wulan.
Dulu, dia selalu membeli makanan, susu dan apapun untuk aku segera hamil. Tapi semua itu tidak lama, karena dua bulan setelahnya mas Aldi berubah.
“Nanti, kalo kita punya anak, aku mau ngasih nama dia, Renal!” ucapnya sambil mengelus perutku yang rata.
“Kenapa, Renal?” sahutku penasaran.
“Iya sayang, gabungan namaku dan nama kamu.” jawabnya lalu tertawa.
Kini, rumahku terasa mati. Tidak ada candaan setelah mas Aldi berubah berbulan-bulan yang lalu. Saat beberapa harinya aku merasa mas Aldi berubah, dia sering memegang ponselnya dan jarang meletakannya sembarangan.
Saat kami berpacaran, suamiku hanya berkata. Wulan hanya seseorang yang dia tolong untuk mencari pekerjaan. Ibunya hanya berdagang soto di emperan Mall, Jakarta Pusat.
Mas Aldi juga bilang, Wulan melarikan diri dari Jawa dan nekat ke Ibu Kota untuk menghindar dari perjodohan yang sudah ditetapkan sedari dirinya lahir dengan anak teman bapaknya.
Suamiku hanya mengaku iba dengannya, dan berlanjut menjadi teman yang tidak bisa lagi aku jelaskan, teman seperti apa mereka ini.
Aku mendampingi mas Aldi dari tujuh tahun lalu. Aku juga berusaha membuatnya melupakan Wulan yang ku kira akan mudah.
Ditahun ketiga kami berpacaran, aku sungguh tercengang. Aku melihat komentar wanita itu yang menurutku tidak pantas dibaca untuk publik.
[Cinta kamu itu napsu, Di. Cinta kamu itu napsu!] Kata wanita itu, di kolom komentar efbe.
Itulah mengapa aku sedikit yakin, kalau putranya yang bernama Kresnaldi itu adalah anak dari suamiku.
Aku juga berpikir, mungkin itu juga yang membuat mas Aldi enggan jauh dari gundiknya.“Apa bener, Kresnaldi, bukan anakmu, Mas?” tanyaku waktu itu.
“Sumpah, demi Tuhan. Itu bukan anakku!” jawaban mas Aldi tetap membuatku ragu.
Padahal, kalau dia mau jujur saja denganku. Hanya soal waktu saja aku bisa menerimanya. Tapi mengingat yang terjadi sekarang, ada baiknya aku benar-benar menimbang bagaimana jalan pernikahanku.
Untuk nafkah yang diberikannya, aku tidak pernah mempermasalahkan. Aku mencintainya tulus, dan ingin dibalas kejujurannya saja.
Tapi, lagi-lagi, permintaanku terasa berat untuknya. Hingga berbohong untuk menutupi kebohongannya yang lain.
Aku tersentak dari lamunan kala suara John Mayer mengalun indah dari ponselku. Aku menggeser tombol hijau dengan malas.
‘Pulang, Ren. Mari kita bicarain semuanya.’ ucap lelaki di seberang sana.
“Baik, aku pulang. Aku harap, kamu mau benar-benar mau membicarakannya sama aku.” enggan berlama-lama, aku langsung mematikan sambungan telfon.
Hanya butuh waktu 15 menit, aku sudah sampai di garasi mobil rumahku. Membuka pintu berwarna putih kemudian masuk.
Ternyata begitu aku masuk, Mas Aldi sudah menungguku. Aku mengabaikannya saat memanggil namaku berulang-ulang. Aku ingin mandi, menyegarkan badanku agar lebih rileks saat membicarakan hal yang menguras emosi.
Aku memilih mengenakan rok berwarna putih selutut dan dipadukan dengan atasan berwarna hitam tanpa lengan. Memoles sedikit wajahku, agar terlihat lebih fresh.
Aku menuruni tangga, kemudian duduk di hadapan lelaki itu. Dia tersenyum menatapku, dan mencoba meraih tangan yang sengaja ku taruh di meja, tapi langsung ku tepis.
“Wajahmu nggak pernah berubah, ya. Tetep cantik.” pujinya sembari menatap mataku lekat.
“Kamu tentu paham, aku nggak suka orang bertele-tele.” sentakku.
“Aku mengajaknya bertemu di Cafe Morino. Tentu, aku nggak bilang kamu ikut,” terangnya.
Aku memiringkan kepala, memandangnya. “ya, sudah. Lebih cepat ketemu, lebih baik!” ucapku sambil berdiri.
“Kita satu mobil saja.” sahut Mas Aldi, aku tidak membantah. Justru akan seru, jika nanti gundik itu melihat kami.
Di sepanjang perjalanan, aku hanya diam, meski Mas Aldi mencoba mengajakku berbicara. Dia sangat berharap aku berubah pikiran tentang nasib pernikahan kami, dan mengatakan kalau semua yang terjadi sekarang adalah ujian.
Jelas-jelas yang terjadi bukan ujian, tapi reunian. Iya, reuni hati mereka yang sempat aku ganggu. Mobil Harriernya terparkir mulus di parkiran Cafe.
Aku menunda langkah dan membiarkannya masuk terlebih dahulu. Di kejauhan, aku dapat melihat wanita itu memeluk suamiku melalui kaca Cafe itu, dan suamiku berusaha menepis tangannya.
Aku menghembuskan nafas kesal. Tingkah lakunya seperti seorang wanita yang belum memiliki seorang suami dan anak.
Perlahan, aku masuk, membuka pintu kaca yang dilapisi kayu hitam di tiap-tiap sisinya. Denting lonceng berbunyi ketika pintu tertutup, dan wanita itu menoleh ke arahku dengan tampang garang.
Mas Aldi kikuk menatapku, sedangkan ekspresi gundiknya berbanding terbalik dengannya.
“I-ini Istriku, Rena.” ucap lelaki itu membuka obrolan.
“Kenapa si, Di?” suara gundik itu sangat lembut saat berbicara dengan Mas Aldi. Menjijikan!
“Tolong, bilang yang sejujurnya, kalo kita emang nggak ada apa-apa, Lan!” kata Mas Aldi sembari menatap gundiknya.
“Kenapa, sih? Kita ini cuma sahabat, Ren. Namanya teman lama yang udah lama banget nggak ketemu, ya, gini.” ucapnya lembut tapi sudut bibir wanita itu terangkat ke atas, membentuk senyuman sinis.
‘Byuurrr...’
Wajah gundik itu basah, Mas Aldi terkejut saat melihat Mita ada di samping gundiknya. Ya, sahabatku ini sudah kuberi tahu saat aku tengah berada di perjalanan. Karena aku tahu, cafe ini terletak tidak jauh dari rumah sahabatku.
Aku menikmati pemandangan di hadapanku. Sebentar lagi, ada satu orang lagi yang akan menyaksikan ini semua. Aku hanya tinggal menunggu kedatangannya saja.
Orang-orang di sekelilingku berbisik-bisik sambil menatap ke arah kami. Tapi aku tidak perduli. Wulan berdiri menghadap Mita, tangannya yang hendak menampar sahabatku itu langsung ku tepis.
“Apa-apaan kamu, Mit!” sentak Mas Aldi.
“Kenapa, Mas? Nggak terima te-man la-ma-mu di permalukan?” tanyaku sambil menekan kata-kataku itu.
“Keterlaluan kamu, Ren! Mas, nggak nyangka, kamu menyuruh sahabatmu berbuat seperti itu.” ujarnya lalu mengelap wajah wanita itu.
“Gue nggak disuruh, tapi wanita itu emang pantas mendapatkannya!” sentak Mita.
“Mas malu, Lan! Mas udah bersabar selama ini, berusaha jadi suami yang baik buat kamu, tapi begini balasan kamu!” aku terperanjat kala mendapati suami Wulan yang telah sampai dan langsung menghardik istrinya.
“Wulan Arianda, dengan penuh kesadaran, ku talak kamu!”
Fais menarik lengan istrinya dengan kasar menuju pintu keluar, menerobos paksa kerumunan orang yang penasaran terhadap kami. Lelaki itu tidak mengindahkan jeritan istrinya yang meminta dilepaskan. Aku tentu khawatir kalau Fais benar-benar menalak wanita itu, pasti dia malah sangat senang menerimanya dan lebih leluasa mendekati suamiku. Aku ingin mencoba menyelamatkan rumah tanggaku, setelah nanti apa yang ada di pikiranku terjawab salah, aku ingin memperbaiki seperti semula. Aku melirik Mita yang kini sedang menerima telfon seraya menjauh dariku. Sedangkan Mas Aldi terus menatap pintu Cafe yang sudah kembali tertutup. Ah, mungkin dia tengah merasa bersalah pada sahabatnya. “Ren, gue pulang ya' nyokap gue baru aja balik.” ujar Mita pamit, dan aku mengangguk. Aku memilih kembali duduk, tak menghiraukan Mas Aldi yang terus berdiri menatap kaca
“Sayang, berkas aku ketingga--” Semua orang memandang lelaki yang kini berdiri memegangi handle pintu. Tatapannya menatap ke arah Wulan dan Fais bergantian. Sedetik kemudian, raut wajah yang tadi bingung berubah seperti biasa lagi. “Ternyata ada tamu,” ucapnya, lalu masuk mencari berkas yang dicari. “Mas,” cegahku saat Mas Aldi sampai di pintu. Lelaki itu menoleh menghentikan tangannya memutar kenop. “Katanya ada yang mau kamu omongin. Nih, ada Pak Fais.” “Ta-tapi...” ucap Mas Aldi gugup. Aku jadi meragukan dirinya, padahal baru semalam dia berjanji padaku. Ku perhatikan dirinya yang perlahan duduk di sampingku. Tatapan Wulan terus mengarah ke Mas Aldi, hingga suaminya menyenggol lengan wanita itu, lalu menunduk. “Teruskan, Pak Fais, tentang pembicaraan kita. S
Kali ini hujan turun lagi, aku duduk memandangi hujan yang terbawa angin dengan sesekali cipratannya mengenai kaca. Sweater merah muda membalut tubuhku, aku menikmati hujan di balik jendela kaca dengan secangkir teh manis panas.Kugosok hidungku yang terasa gatal, kemudian mengusap kedua tanganku agar lebih hangat, aku menangkupkan kedua tanganku di pipi dengan mata terus memandang hujan.“Lan,”Aku menoleh, ternyata Bapak. Mungkin dia baru saja pulang dari ladang, karena bajunya yang basah, pasti dia baru saja pulang kehujanan.“Kenapa, Pak? Mandi dulu aja, Pak.” sahutku, lalu melangkah ke dapur hendak membuatkan lelaki tua itu teh panas tawar, karena Bapak tidak suka manis.Dari tirai dapur, aku dapat melihat Bapak menuruti ucapanku melangkah menuju kamar mandi. Aku baru saja ingat, ada pisang tanduk di lemari makanan.‘mending pisangnya ku goreng saja.” aku bergumam.&
Aldi terus menghiburku, bahkan dirinya selalu menemuiku setelah pulang kerja. Memastikan perutku sudah terisi, dan tentunya aku suka dengan perhatiannya.Kini, kami sedang menikmati mie ayam langganan kami. Makanan favorit kami. Sambil menunggu pesanan kami datang, aku mencoba membuka efbe di ponsel mungilku.“Loh, Di! Kok, akun aku kamu blokir 'sih?” gerutuku.“Cewekku nggak suka sama komentar kamu, Lan. Dia marah-marah semalem,” ucapnya sembari menyeruput kopinya.“Cemburuan amat, sih! Harusnya kalo dia mau jadi pacar kamu, ya harus mau terima aku!” sahutku jengkel. “coba, gimana sih pacarmu?”Aldi mengeluarkan ponsel yang cukup bermerk, mengetikkan beberapa huruf di kolom pencarian lalu mengkliknya saat yang dicari ketemu.Aku menatap foto wanita yang mungkin usianya masih belasan. Ku tebak, dia pasti masih SMA! Cih
Hari berlalu dengan sangat cepat. Bapak, sudah berada di Jakarta. Dirinya lebih memilih mengontrak di daerah Sunter. Tidak bersama dengan aku dan Ibu.Selama itu juga, Aldi terus menemaniku, menuruti segala kemauanku. Sesuatu yang telah terjadi di antara kami tidak menggoyahkan persahabatan kami. Karena, beginilah persahabatan kami.Hari ini aku tidak berkerja, bapak sudah menelpon akan menemuiku siang ini di kontrakan Ibu. Aku menunggunya dengan gelisah, karena apa yang bapak ucapkan adalah mutlak. Cepat atau lambat, perjodohan ini akan aku jalani dan pastilah akan berujung ke pernikahan.Tok! Tok! Tok!“Assalamu'alaikum,” aku semakin gugup tak karuan kala mendengar suara yang sedari tadi mengganggu pikiranku. Bapak!“Wa'alaikumussalam, Pak!” jawabku seraya membuka pintu berwarna cokelat kehitaman.Mataku bertemu pandang dengan seorang lelaki berkulit kecoklatan, berambut ikal dan
Aldi memandangku dengan kening berkerut. Aku gelagapan saat ketahuan mengumpat di depannya menyumpah serapahkan pacarnya berkali-kali.“Kenapa, Rena?” tanyanya, suaranya khas seperti orang bangun tidur.“I-itu, Di. Tadi cewekmu nelpon, aku angkat. Eh, dia marah-marahin aku!” aduku sambil mengerucutkan bibir tebalku ke arahnya. Untunglah aku sudah menghapus SMSnya, jadi aku aman!“Hm, dia paling cemburu. Nggak pa-pa, nanti aku yang bilang ke dia. Ini masih malem, lho, Lan. Kenapa nggak tidur lagi?” ucapnya seraya menjauh dari kasur dan meletakkan selimut berwarna cokelat di lantai dekat pintu.“Maaf, ya. Tadi aku ketiduran, kamu tidur aja di kasur. Biar aku yang di sini.” bibir tipisnya membentuk lengkungan, kemudian lelaki itu mengambil posisi nyaman dan kembali tidur.‘Hufh, untunglah!’ batinku.Keesokan harinya, aku langsung menuju kamar mandi y
“Lan, kayaknya aku harus pergi bentar deh. Kamu mau ikut nggak?” tawarnya.Tapi aku menggeleng, karena kalau terlalu jauh aku bepergian. Aku takut ketahuan ada di sini oleh bapak dan Fais. Ibu saja sudah berpuluh kali telfon dan memintaku pulang.Ah, aku lebih baik ke kamar saja. Menyalakan musik yang keras sambil berselancar di sosial media berlogo F.Aku merasa bosan, sudah sejam Aldi pergi dan belum juga pulang. Tidak tahu apa, aku lagi nunggu!“Lan! Lan!” panggilnya dari suara yang sangat kukenal. Aldi!“Ini buat kamu,” dia menyodorkan boneka panda berukuran kecil padaku. Sungguh! Aku menyukainya.“Kamu ... Pergi beli ini?” tanyaku dengan mata berbinar.Dia mengangguk, “aku liat boneka ini lucu. Buat kenang-kenangan, kalo nanti kamu jauh dari aku, kamu bisa peluk boneka ini untuk pengganti aku.&rdqu
“Bapak?” lirih Wulan, kemudian lari ke dalam rumah setelah sebelumnya membanting pintu.Sedangkan, Aldi, lebih memilih pergi dari kekacauan di depannya. Karena percuma saja jika berkata pun orang tua Wulan tidak akan percaya begitu saja.Dua hari berlalu, dan selama itu juga pikiran Wulan berkecamuk. Ia belum siap meninggalkan semua yang ada di sini, belum siap hidup tanpa Aldi, dan belum siap kembali berkutat dengan orang-orang yang memiliki pandangan berbeda dalam memandang hidup.[Di, kapan kamu kesini?]Wulan mengetikkan SMS pada lelaki itu, dan ternyata Aldi justru sudah berada di depannya. Menyalakan klakson, matanya menyiratkan perih saat memandang wanita di depannya.Selama dua hari itu pula, makanan tidak masuk kedalam perutnya. Padahal saat putus dengan pacarnya, dia masih bisa tertawa karena kehadiran wanita berumur 20 tahun itu.Saat sekarang, tidak ada yang bisa ia harapkan lagi. Ia kema