Share

5. Cafe Morino

“Kamu tentu tau 'kan? Kakak bisa saja mendepak suamimu dari kantornya.” ucapan Kak Adi di angguki oleh sahabatku--Mita.

“Kamu sudah disakiti seperti ini dan masih berharap hubungan kalian membaik?” imbuhnya dengan mata menyipit.

Buliran bening kembali membasahi pipiku, tapi cepat kuhapus dengan tangan kananku.

“Jangan nangis, Rena. Kakak nggak bisa liat kamu begini.” kemudian lelaki itu berdiri masuk ke ruangannya. Sedangkan aku dan Mita lebih memilih pergi menuju parkiran.

“Jangan mau disakitin terus, Ren. Kakak lu aja nggak rela, gue juga sama. Ngga suka liat lu begini.” terangnya, lalu masuk ke mobil dan melajukannya.

Ini sangat berat.

🌺🌺🌺🌺🌺

Aku melajukan kendaraanku dengan kecepatan sedang. Aku malas sekali pulang dan harus melihat penghianat itu di rumah. Satu-satunya tempat untuk menenangkan diri adalah taman.

Aku parkirkan mobil merahku dan berlari kecil menuju taman. Saat aku baru saja duduk, aku melihat anak kecil terjatuh di hadapanku.

Aku tersenyum ke arahnya, membantunya berdiri, lalu mengusap lututnya yang berdarah.

“Makasih, Tante.” ucapnya kemudian berlari kearah ibunya yang mengangguk padaku kala kami bertemu pandang.

Dulu, aku sangat menantikan janin tumbuh di rahimku. Tapi, perubahan suamiku yang membuatku harus menelan bulat-bulat impianku untuk mempunyai keluarga bahagia dengannya.

Ting!

Bunyi pesan di aplikasi hijau, kubaca nama yang tertera. ‘Mas Aldi’.

[Mas kangen kamu yang biasa.]

Mataku kembali memanas, ku pegang dadaku yang terasa sakit oleh perbuatannya. Padahal, saat hubungan kami masih harmonis, kami hampir tidak pernah bertengkar kecuali bertengkar oleh satu nama. Wulan.

Dulu, dia selalu membeli makanan, susu dan apapun untuk aku segera hamil. Tapi semua itu tidak lama, karena  dua bulan setelahnya mas Aldi berubah.

“Nanti, kalo kita punya anak, aku mau ngasih nama dia, Renal!” ucapnya sambil mengelus perutku yang rata.

“Kenapa, Renal?” sahutku penasaran.

“Iya sayang, gabungan namaku dan nama kamu.” jawabnya lalu tertawa.

Kini, rumahku terasa mati. Tidak ada candaan setelah mas Aldi berubah berbulan-bulan yang lalu. Saat beberapa harinya aku merasa mas Aldi berubah, dia sering memegang ponselnya dan jarang meletakannya sembarangan.

Saat kami berpacaran, suamiku hanya berkata. Wulan hanya seseorang yang dia tolong untuk mencari pekerjaan. Ibunya hanya berdagang soto di emperan Mall, Jakarta Pusat.

Mas Aldi juga bilang, Wulan melarikan diri dari Jawa dan nekat ke Ibu Kota untuk menghindar dari perjodohan yang sudah ditetapkan sedari dirinya lahir dengan anak teman bapaknya.

Suamiku hanya mengaku iba dengannya, dan berlanjut menjadi teman yang tidak bisa lagi aku jelaskan, teman seperti apa mereka ini.

Aku mendampingi mas Aldi dari tujuh tahun lalu. Aku juga berusaha membuatnya melupakan Wulan yang ku kira akan mudah.

Ditahun ketiga kami berpacaran, aku sungguh tercengang. Aku melihat komentar wanita itu yang menurutku tidak pantas dibaca untuk publik.

[Cinta kamu itu napsu, Di. Cinta kamu itu napsu!] Kata wanita itu, di kolom komentar efbe.

Itulah mengapa aku sedikit yakin, kalau putranya yang bernama Kresnaldi itu adalah anak dari suamiku.

Aku juga berpikir, mungkin itu juga yang membuat mas Aldi enggan jauh dari gundiknya.

“Apa bener, Kresnaldi, bukan anakmu, Mas?” tanyaku waktu itu.

“Sumpah, demi Tuhan. Itu bukan anakku!” jawaban mas Aldi tetap membuatku ragu.

Padahal, kalau dia mau jujur saja denganku. Hanya soal waktu saja aku bisa menerimanya. Tapi mengingat yang terjadi sekarang, ada baiknya aku benar-benar menimbang bagaimana jalan pernikahanku.

Untuk nafkah yang diberikannya, aku tidak pernah mempermasalahkan. Aku mencintainya tulus, dan ingin dibalas kejujurannya saja.

Tapi, lagi-lagi, permintaanku terasa berat untuknya. Hingga berbohong untuk menutupi kebohongannya yang lain.

Aku tersentak dari lamunan kala suara John Mayer mengalun indah dari ponselku. Aku menggeser tombol hijau dengan malas.

‘Pulang, Ren. Mari kita bicarain semuanya.’ ucap lelaki di seberang sana.

“Baik, aku pulang. Aku harap, kamu mau benar-benar mau membicarakannya sama aku.” enggan berlama-lama, aku langsung mematikan sambungan telfon.

Hanya butuh waktu 15 menit, aku sudah sampai di garasi mobil rumahku. Membuka pintu berwarna putih kemudian masuk.

Ternyata begitu aku masuk, Mas Aldi sudah menungguku. Aku mengabaikannya saat memanggil namaku berulang-ulang. Aku ingin mandi, menyegarkan badanku agar lebih rileks saat membicarakan hal yang menguras emosi.

Aku memilih mengenakan rok berwarna putih selutut dan dipadukan dengan atasan berwarna hitam tanpa lengan. Memoles sedikit wajahku, agar terlihat lebih fresh.

Aku menuruni tangga, kemudian duduk di hadapan lelaki itu. Dia tersenyum menatapku, dan mencoba meraih tangan yang sengaja ku taruh di meja, tapi langsung ku tepis.

“Wajahmu nggak pernah berubah, ya. Tetep cantik.” pujinya sembari menatap mataku lekat.

“Kamu tentu paham, aku nggak suka orang bertele-tele.” sentakku.

“Aku mengajaknya bertemu di Cafe Morino. Tentu, aku nggak bilang kamu ikut,” terangnya.

Aku memiringkan kepala, memandangnya. “ya, sudah. Lebih cepat ketemu, lebih baik!” ucapku sambil berdiri.

“Kita satu mobil saja.” sahut Mas Aldi, aku tidak membantah. Justru akan seru, jika nanti gundik itu melihat kami.

Di sepanjang perjalanan, aku hanya diam, meski Mas Aldi mencoba mengajakku berbicara. Dia sangat berharap aku berubah pikiran tentang nasib pernikahan kami, dan mengatakan kalau semua yang terjadi sekarang adalah ujian.

Jelas-jelas yang terjadi bukan ujian, tapi reunian. Iya, reuni hati mereka yang sempat aku ganggu. Mobil Harriernya terparkir mulus di parkiran Cafe.

Aku menunda langkah dan membiarkannya masuk terlebih dahulu. Di kejauhan, aku dapat melihat wanita itu memeluk suamiku melalui kaca Cafe itu, dan suamiku berusaha menepis tangannya.

Aku menghembuskan nafas kesal. Tingkah lakunya seperti seorang wanita yang belum memiliki seorang suami dan anak.

Perlahan, aku masuk, membuka pintu kaca yang dilapisi kayu hitam di tiap-tiap sisinya. Denting lonceng berbunyi ketika pintu tertutup, dan wanita itu menoleh ke arahku dengan tampang garang.

Mas Aldi kikuk menatapku, sedangkan ekspresi gundiknya berbanding terbalik dengannya.

“I-ini Istriku, Rena.” ucap lelaki itu membuka obrolan.

“Kenapa si, Di?” suara gundik itu sangat lembut saat berbicara dengan Mas Aldi. Menjijikan!

“Tolong, bilang yang sejujurnya, kalo kita emang nggak ada apa-apa, Lan!” kata Mas Aldi sembari menatap gundiknya.

“Kenapa, sih? Kita ini cuma sahabat, Ren. Namanya teman lama yang udah lama banget nggak ketemu, ya, gini.” ucapnya lembut tapi sudut bibir wanita itu terangkat ke atas, membentuk senyuman sinis.

‘Byuurrr...’

Wajah gundik itu basah, Mas Aldi terkejut saat melihat Mita ada di samping gundiknya. Ya, sahabatku ini sudah kuberi tahu saat aku tengah berada di perjalanan. Karena aku tahu, cafe ini terletak tidak jauh dari rumah sahabatku.

Aku menikmati pemandangan di hadapanku. Sebentar lagi, ada satu orang lagi yang akan menyaksikan ini semua. Aku hanya tinggal menunggu kedatangannya saja.

Orang-orang di sekelilingku berbisik-bisik sambil menatap ke arah kami. Tapi aku tidak perduli. Wulan berdiri menghadap Mita, tangannya yang hendak menampar sahabatku itu langsung ku tepis.

“Apa-apaan kamu, Mit!” sentak Mas Aldi.

“Kenapa, Mas? Nggak terima te-man la-ma-mu di permalukan?” tanyaku sambil menekan kata-kataku itu.

“Keterlaluan kamu, Ren! Mas, nggak nyangka, kamu menyuruh sahabatmu berbuat seperti itu.” ujarnya lalu mengelap wajah wanita itu.

“Gue nggak disuruh, tapi wanita itu emang pantas mendapatkannya!” sentak Mita.

“Mas malu, Lan! Mas udah bersabar selama ini, berusaha jadi suami yang baik buat kamu, tapi begini balasan kamu!” aku terperanjat kala mendapati suami Wulan yang telah sampai dan langsung menghardik istrinya.

“Wulan Arianda, dengan penuh kesadaran, ku talak kamu!”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Wiwin
good Faiz! itulah suami yg punya harga diri.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status