“Syukurlah kamu udah sadar!” suara Mas Aldi? Aku mencoba membuka mata yang terasa berat, kepalaku pusing sekali. Aku berusaha menepis tangannya yang membantuku duduk. Kuraba bajuku, kini sudah diganti dengan baju hangat.
Mataku menatap tajam dirinya, rasanya aku tidak ingin dia sentuh lagi setelah apa yang terjadi.
“Kenapa? Aku masih sah, Suamimu.” katanya lembut dengan mata menyipit.
“Kamu memang masih Suamiku,” sahutku lalu mendecih, “Suami diatas kertas!” ucapku dingin.
Aku menyibak selimut tebal milikku untuk menutupi tubuh hingga ujung rambut. Aku malas berdebat dengannya. Percuma saja, bukan? Dia tetap merasa benar dengan apa yang telah dilakukannya, dan menurutnya sikapku yang seperti ini bukanlah seharusnya.
Lelaki itu mengguncang tubuhku agar menoleh padanya. Dengan kesal kusibak kembali selimut agar terbuka kemudian duduk menghadapnya.
“Ada apa!” sentakku.
“Maafkan aku, Ren,” sahutnya seraya menunduk. “maaf udah nyakitin kamu lagi.” lelaki itu menunduk dalam.
Airmataku luruh kembali, aku menghianati diriku agar lebih kuat nyatanya belum bisa. Aku masih mencintainya, mencintai suamiku yang dihatinya mungkin lebih mencintai masalalunya.
“Dari kapan,” lalu mengambil nafas dan menatapnya, “dari kapan kamu nyari dia lagi.” tanyaku.
Pandangannya menerawang, sesekali mulutnya seperti ingin mengatakan sesuatu kemudian menimbangnya.
“Dari bulan Maret, kamu tau 'kan? Tanggal 25 adalah hari ulangtahun, Wulan,” ucapnya pelan.
“Dia dan suaminya sedang dikondisi susah dalam keuangan, Ren. Sebagai sahabat, aku membantunya. Ya, yang ku anggap sebagai kado untuknya.” lanjut lelaki itu.
Mulutku menganga, tidak ingatkah dirinya Februari lalu kami baru saja merayakan anniversary bersama, dan mengucapkan janji untuk pernikahan kami agar semakin harmonis?
Tidak ingatkah lelaki itu, dengan malam panjang kami berdua setelahnya dan berdoa agar rahimku cepat terisi janin darinya? Ingin sekali aku berteriak mendengar pengakuannya.
Aku mengusap bulir embun dengan kasar. Menatapnya tajam setajam yang kubisa. Dia semakin salah tingkah saat aku menatapnya.
“Ren, aku mau berubah.” katanya lagi sambil meraih jemariku.
“Udah berapa kali kamu bilang mau berubah, Mas? Janji yang kamu tepati tidak lebih hanya beberapa bulan saja, bukan untuk seumur hidup!” sentakku.
Aku berdiri, meski langkahku masih terseok-seok lemas setengah mati, itu lebih baik dari pada harus bertengkar dengannya terus menerus. Tapi saat langkahku ada diujung tangga, Mas Aldi menarikku dalam pelukannya.
Wangi sabun langsung menguar memanjakkan penciumanku. Wangi yang sangat aku sukai saat dia baru saja selesai mandi. Wangi alami yang bercampur dengan keringatnya yang memabukkan.
Aku semakin hanyut kala dirinya mencium pucuk kepalaku, dan mulai mencium bibir pucatku. Aku benci karena inilah yang aku harapkan darinya dan tubuhku meminta lebih.
“Kenapa?” ucapnya lembut menatapku saat aku menarik diri darinya.
Aku tidak menjawab dan memilih meninggalkannya ke taman yang ada di samping rumahku.
Ternyata dia mengekor dibelakang, lalu duduk di ayunan yang sama denganku.
“Kalau kamu emang mau berubah, tolong buktikan,” ujarku membuka obrolan. Karena sedari tadi kami hanya diam.
Dia menoleh ke arahku, “apa yang harus aku buktikan? Aku akan melakukan apa saj--”
“Bawa wanita itu kemari!” sahutku tegas memotong ucapannya.
“A-apa, kenapa?” lelaki di sampingku ini gelagapan. Cih!
“Aku mau dia dibawa kemari! Kalau kamu nggak mau, lihat saja, hubungan kita akan berakhir di pengadilan!” sentakku tegas. Kemudian berlalu pergi dari hadapannya yang tengah mengacak rambutnya frustasi.
‘Coba kita lihat sejauh mana kesungguhanmu, Mas!’ gumamku lalu pergi.
🌺🌺🌺🌺🌺
Kini aku tengah berada di restoran milikku, duduk bertiga dengan Adisana--kakak ku, juga Mita yang tadi aku telfon untuk menghampiriku kemari. Tentu saja, aku kesini untuk sedikit menginterogasi suami gundik itu.
Sebenarnya, Wulan bukan asli penduduk sini. Menurut penuturan Mita, dia kemari karena ikut serta dengan suaminya saat sebelumnya dia tinggal di daerah jawa sana.
Jangan tanya dari mana Mita tahu, sejak aku berurusan lagi dengan wanita itu, Mita dan orang-orangnya ’lah yang mencari tahu. Dia memang sahabat yang selalu bisa diandalkan.
Dia bahkan lebih mengenal aku jauh lebih baik dari diriku sendiri dan begitu sebaliknya. Sungguh, aku sangat berterimakasih dengan segala kebaikannya.
Braaak!
Aku terperanjat kala seorang wanita menggebrak meja di depanku. Seorang wanita memakai hot pants dan kaos hitam itu menatap nyalang diriku. Ya, dia adalah, Wulan--gundik suamiku. Eh! Sahabatnya.
“Maksudmu apa, hah, mau mengeluarkan suamiku dari resto ini!” suaranya naik 5 oktaf hingga membuat telingaku berdengung.
“Baru punya restoran saja, belagu!” imbuhnya, matanya masih menatapku nyalang.
Aku hanya menatapnya santai, sedangkan kakak ku dan Mita sudah berdiri menjadi tamengku.
“Kak, Mit, duduklah. Jangan sampai sikap kita sama sepertinya,” ucapku yang membuat matanya semakin menyala emosi.
“Pantas saja, Aldi, nggak betah di rumah dan selalu ngajak aku pergi. Istrinya saja acak-acakan begini, cih!” ungkapnya. Matanya menatap penampilanku yang hanya memakai piyama.
“Hahahaa, piyama miliknya bahkan bisa untuk membayar kontrakanmu selama dua bulan!” sentak Mita.
“Lihat saja, warna bajumu saja luntur begini, bisa-bisanya menghina berlian yang berkilau. Batu kali memang susah untuk tau diri,” ujar Mita dengan mulut blak-blakannya. Ah, aku suka.
“Sekarang boleh saja kalian menghinaku, nanti ada saatnya aku jadi nyonya Kresnaldi dan akan mendepak kalian semua! Terutama kau!” ucapnya, jari telunjuknya mengarah padaku lalu berbalik tapi dengan cepat aku mencegahnya.
Kini, aku berdiri di depan gundik itu. Tingginya hanya sebagian dadaku saja. Cih, mas Aldi, seleramu begini amat, sih?
Bahkan dapat kulihat bedak tabur yang berceceran di kaosnya yang berwarna hitam pudar. Wajahnya merah menatapku.
“Ambil saja Aldi untukmu. Penghianat memang seharusnya bersanding dengan sesamanya!” sahutku selembut mungkin di telinganya. Wanita itu mendorong bahuku agar tidak menghalangi langkahnya.
“Wulan!!”
Kepalaku langsung berbelok mencari suara yang memanggil wanita ini, dan ternyata suara ini berasal dari Pak Fais yang kini tengah menatap istrinya dengan wajah memerah.
“Ngapain kamu kesini! Mau bikin aku malu, hah?” lalu lelaki itu menarik lengan istrinya kemudian menghilang keluar.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala, sungguh tidak habis pikir. Orang-orang seperti itu sebenarnya berpikir dengan cara seperti apa, sih?
“Harusnya lu, tuh, jambak dia, Ren! Kesel gue liat tu gundik.” ujar Mita sembari mengaduk kasar minumannya lalu meneguknya.
“Siapa dia, Ren? Apa hubungannya dengan, Pak fais...” tanya Kak Adi.
Aku menghela nafas sebelum menceritakannya pada kakak ku. Aku memang belum memberi tahu tentang ini pada keluargaku.
“Enam bulan ini Mas Aldi berubah, Kak.” sahutku, “dan semua itu karena wanita yang kemari tadi.” terangku.
“Kurang ajar! Kenapa kamu baru bilang, Ren? Kakak bisa saja ngasih pelajaran ke suamimu itu!” jawab Kak Adi seraya berdiri, tangannya terkepal hingga ototnya menyembul pada kulitnya yang putih.
“Kami sudah menyusun rencana, Kak. Sabarlah.” Mita menenangkan kakak ku.
“Aku meminta mas Aldi membawa Wulan ke rumahku besok.” sahutku yang membuat mulut mereka berdua menganga.
“Bagaimana pun, aku ingin rumah tanggaku bisa diselamatkan,” imbuhku sambil menunduk.
“Rena!”
“Kamu tentu tau 'kan? Kakak bisa saja mendepak suamimu dari kantornya.” ucapan Kak Adi di angguki oleh sahabatku--Mita.“Kamu sudah disakiti seperti ini dan masih berharap hubungan kalian membaik?” imbuhnya dengan mata menyipit.Buliran bening kembali membasahi pipiku, tapi cepat kuhapus dengan tangan kananku.“Jangan nangis, Rena. Kakak nggak bisa liat kamu begini.” kemudian lelaki itu berdiri masuk ke ruangannya. Sedangkan aku dan Mita lebih memilih pergi menuju parkiran.“Jangan mau disakitin terus, Ren. Kakak lu aja nggak rela, gue juga sama. Ngga suka liat lu begini.” terangnya, lalu masuk ke mobil dan melajukannya.Ini sangat berat. 🌺🌺🌺🌺🌺Aku melajukan kendaraanku dengan kecepatan sedang. Aku malas sekali pulang dan harus melihat penghianat itu di rumah. Satu-satunya tempat untuk menen
Fais menarik lengan istrinya dengan kasar menuju pintu keluar, menerobos paksa kerumunan orang yang penasaran terhadap kami. Lelaki itu tidak mengindahkan jeritan istrinya yang meminta dilepaskan. Aku tentu khawatir kalau Fais benar-benar menalak wanita itu, pasti dia malah sangat senang menerimanya dan lebih leluasa mendekati suamiku. Aku ingin mencoba menyelamatkan rumah tanggaku, setelah nanti apa yang ada di pikiranku terjawab salah, aku ingin memperbaiki seperti semula. Aku melirik Mita yang kini sedang menerima telfon seraya menjauh dariku. Sedangkan Mas Aldi terus menatap pintu Cafe yang sudah kembali tertutup. Ah, mungkin dia tengah merasa bersalah pada sahabatnya. “Ren, gue pulang ya' nyokap gue baru aja balik.” ujar Mita pamit, dan aku mengangguk. Aku memilih kembali duduk, tak menghiraukan Mas Aldi yang terus berdiri menatap kaca
“Sayang, berkas aku ketingga--” Semua orang memandang lelaki yang kini berdiri memegangi handle pintu. Tatapannya menatap ke arah Wulan dan Fais bergantian. Sedetik kemudian, raut wajah yang tadi bingung berubah seperti biasa lagi. “Ternyata ada tamu,” ucapnya, lalu masuk mencari berkas yang dicari. “Mas,” cegahku saat Mas Aldi sampai di pintu. Lelaki itu menoleh menghentikan tangannya memutar kenop. “Katanya ada yang mau kamu omongin. Nih, ada Pak Fais.” “Ta-tapi...” ucap Mas Aldi gugup. Aku jadi meragukan dirinya, padahal baru semalam dia berjanji padaku. Ku perhatikan dirinya yang perlahan duduk di sampingku. Tatapan Wulan terus mengarah ke Mas Aldi, hingga suaminya menyenggol lengan wanita itu, lalu menunduk. “Teruskan, Pak Fais, tentang pembicaraan kita. S
Kali ini hujan turun lagi, aku duduk memandangi hujan yang terbawa angin dengan sesekali cipratannya mengenai kaca. Sweater merah muda membalut tubuhku, aku menikmati hujan di balik jendela kaca dengan secangkir teh manis panas.Kugosok hidungku yang terasa gatal, kemudian mengusap kedua tanganku agar lebih hangat, aku menangkupkan kedua tanganku di pipi dengan mata terus memandang hujan.“Lan,”Aku menoleh, ternyata Bapak. Mungkin dia baru saja pulang dari ladang, karena bajunya yang basah, pasti dia baru saja pulang kehujanan.“Kenapa, Pak? Mandi dulu aja, Pak.” sahutku, lalu melangkah ke dapur hendak membuatkan lelaki tua itu teh panas tawar, karena Bapak tidak suka manis.Dari tirai dapur, aku dapat melihat Bapak menuruti ucapanku melangkah menuju kamar mandi. Aku baru saja ingat, ada pisang tanduk di lemari makanan.‘mending pisangnya ku goreng saja.” aku bergumam.&
Aldi terus menghiburku, bahkan dirinya selalu menemuiku setelah pulang kerja. Memastikan perutku sudah terisi, dan tentunya aku suka dengan perhatiannya.Kini, kami sedang menikmati mie ayam langganan kami. Makanan favorit kami. Sambil menunggu pesanan kami datang, aku mencoba membuka efbe di ponsel mungilku.“Loh, Di! Kok, akun aku kamu blokir 'sih?” gerutuku.“Cewekku nggak suka sama komentar kamu, Lan. Dia marah-marah semalem,” ucapnya sembari menyeruput kopinya.“Cemburuan amat, sih! Harusnya kalo dia mau jadi pacar kamu, ya harus mau terima aku!” sahutku jengkel. “coba, gimana sih pacarmu?”Aldi mengeluarkan ponsel yang cukup bermerk, mengetikkan beberapa huruf di kolom pencarian lalu mengkliknya saat yang dicari ketemu.Aku menatap foto wanita yang mungkin usianya masih belasan. Ku tebak, dia pasti masih SMA! Cih
Hari berlalu dengan sangat cepat. Bapak, sudah berada di Jakarta. Dirinya lebih memilih mengontrak di daerah Sunter. Tidak bersama dengan aku dan Ibu.Selama itu juga, Aldi terus menemaniku, menuruti segala kemauanku. Sesuatu yang telah terjadi di antara kami tidak menggoyahkan persahabatan kami. Karena, beginilah persahabatan kami.Hari ini aku tidak berkerja, bapak sudah menelpon akan menemuiku siang ini di kontrakan Ibu. Aku menunggunya dengan gelisah, karena apa yang bapak ucapkan adalah mutlak. Cepat atau lambat, perjodohan ini akan aku jalani dan pastilah akan berujung ke pernikahan.Tok! Tok! Tok!“Assalamu'alaikum,” aku semakin gugup tak karuan kala mendengar suara yang sedari tadi mengganggu pikiranku. Bapak!“Wa'alaikumussalam, Pak!” jawabku seraya membuka pintu berwarna cokelat kehitaman.Mataku bertemu pandang dengan seorang lelaki berkulit kecoklatan, berambut ikal dan
Aldi memandangku dengan kening berkerut. Aku gelagapan saat ketahuan mengumpat di depannya menyumpah serapahkan pacarnya berkali-kali.“Kenapa, Rena?” tanyanya, suaranya khas seperti orang bangun tidur.“I-itu, Di. Tadi cewekmu nelpon, aku angkat. Eh, dia marah-marahin aku!” aduku sambil mengerucutkan bibir tebalku ke arahnya. Untunglah aku sudah menghapus SMSnya, jadi aku aman!“Hm, dia paling cemburu. Nggak pa-pa, nanti aku yang bilang ke dia. Ini masih malem, lho, Lan. Kenapa nggak tidur lagi?” ucapnya seraya menjauh dari kasur dan meletakkan selimut berwarna cokelat di lantai dekat pintu.“Maaf, ya. Tadi aku ketiduran, kamu tidur aja di kasur. Biar aku yang di sini.” bibir tipisnya membentuk lengkungan, kemudian lelaki itu mengambil posisi nyaman dan kembali tidur.‘Hufh, untunglah!’ batinku.Keesokan harinya, aku langsung menuju kamar mandi y
“Lan, kayaknya aku harus pergi bentar deh. Kamu mau ikut nggak?” tawarnya.Tapi aku menggeleng, karena kalau terlalu jauh aku bepergian. Aku takut ketahuan ada di sini oleh bapak dan Fais. Ibu saja sudah berpuluh kali telfon dan memintaku pulang.Ah, aku lebih baik ke kamar saja. Menyalakan musik yang keras sambil berselancar di sosial media berlogo F.Aku merasa bosan, sudah sejam Aldi pergi dan belum juga pulang. Tidak tahu apa, aku lagi nunggu!“Lan! Lan!” panggilnya dari suara yang sangat kukenal. Aldi!“Ini buat kamu,” dia menyodorkan boneka panda berukuran kecil padaku. Sungguh! Aku menyukainya.“Kamu ... Pergi beli ini?” tanyaku dengan mata berbinar.Dia mengangguk, “aku liat boneka ini lucu. Buat kenang-kenangan, kalo nanti kamu jauh dari aku, kamu bisa peluk boneka ini untuk pengganti aku.&rdqu