Share

4. Bertemu Wulan

“Syukurlah kamu udah sadar!” suara Mas Aldi? Aku mencoba membuka mata yang terasa berat, kepalaku pusing sekali. Aku berusaha menepis tangannya yang membantuku duduk. Kuraba bajuku, kini sudah diganti dengan baju hangat.

Mataku menatap tajam dirinya, rasanya aku tidak ingin dia sentuh lagi setelah apa yang terjadi.

“Kenapa? Aku masih sah, Suamimu.” katanya lembut dengan mata menyipit.

“Kamu memang masih Suamiku,” sahutku lalu mendecih, “Suami diatas kertas!” ucapku dingin.

Aku menyibak selimut tebal milikku untuk menutupi tubuh hingga ujung rambut. Aku malas berdebat dengannya. Percuma saja, bukan? Dia tetap merasa benar dengan apa yang telah dilakukannya, dan menurutnya sikapku yang seperti ini bukanlah seharusnya.

Lelaki itu mengguncang tubuhku agar menoleh padanya. Dengan kesal kusibak kembali selimut agar terbuka kemudian duduk menghadapnya.

“Ada apa!” sentakku.

“Maafkan aku, Ren,” sahutnya seraya menunduk. “maaf udah nyakitin kamu lagi.” lelaki itu menunduk dalam.

Airmataku luruh kembali, aku menghianati diriku agar lebih kuat nyatanya belum bisa. Aku masih mencintainya, mencintai suamiku yang dihatinya mungkin lebih mencintai masalalunya.

“Dari kapan,” lalu mengambil nafas dan menatapnya, “dari kapan kamu nyari dia lagi.” tanyaku.

Pandangannya menerawang, sesekali mulutnya seperti ingin mengatakan sesuatu kemudian menimbangnya.

“Dari bulan Maret, kamu tau 'kan? Tanggal 25 adalah hari ulangtahun, Wulan,” ucapnya pelan.

“Dia dan suaminya sedang dikondisi susah dalam keuangan, Ren. Sebagai sahabat, aku membantunya. Ya, yang ku anggap sebagai kado untuknya.” lanjut lelaki itu.

Mulutku menganga, tidak ingatkah dirinya Februari lalu kami baru saja merayakan anniversary bersama, dan mengucapkan janji untuk pernikahan kami agar semakin harmonis?

Tidak ingatkah lelaki itu, dengan malam panjang kami berdua setelahnya dan berdoa agar rahimku cepat terisi janin darinya? Ingin sekali aku berteriak mendengar pengakuannya.

Aku mengusap bulir embun dengan kasar. Menatapnya tajam setajam yang kubisa. Dia semakin salah tingkah saat aku menatapnya.

“Ren, aku mau berubah.” katanya lagi sambil meraih jemariku.

“Udah berapa kali kamu bilang mau berubah, Mas? Janji yang kamu tepati tidak lebih hanya beberapa bulan saja, bukan untuk seumur hidup!” sentakku.

Aku berdiri, meski langkahku masih terseok-seok lemas setengah mati, itu lebih baik dari pada harus bertengkar dengannya terus menerus. Tapi saat langkahku ada diujung tangga, Mas Aldi menarikku dalam pelukannya.

Wangi sabun langsung menguar memanjakkan penciumanku. Wangi yang sangat aku sukai saat dia baru saja selesai mandi. Wangi alami yang bercampur dengan keringatnya yang memabukkan.

Aku semakin hanyut kala dirinya mencium pucuk kepalaku, dan mulai mencium bibir pucatku. Aku benci karena inilah yang aku harapkan darinya dan tubuhku meminta lebih.

“Kenapa?” ucapnya lembut menatapku saat aku menarik diri darinya.

Aku tidak menjawab dan memilih meninggalkannya ke taman yang ada di samping rumahku.

Ternyata dia mengekor dibelakang, lalu duduk di ayunan yang sama denganku.

“Kalau kamu emang mau berubah, tolong buktikan,” ujarku membuka obrolan. Karena sedari tadi kami hanya diam.

Dia menoleh ke arahku, “apa yang harus aku buktikan? Aku akan melakukan apa saj--”

“Bawa wanita itu kemari!” sahutku tegas memotong ucapannya.

“A-apa, kenapa?” lelaki di sampingku ini gelagapan. Cih!

“Aku mau dia dibawa kemari! Kalau kamu nggak mau, lihat saja, hubungan kita akan berakhir di pengadilan!” sentakku tegas. Kemudian berlalu pergi dari hadapannya yang tengah mengacak rambutnya frustasi.

Coba kita lihat sejauh mana kesungguhanmu, Mas!’ gumamku lalu pergi.

🌺🌺🌺🌺🌺

Kini aku tengah berada di restoran milikku, duduk bertiga dengan Adisana--kakak ku, juga Mita yang tadi aku telfon untuk menghampiriku kemari. Tentu saja, aku kesini untuk sedikit menginterogasi suami gundik itu.

Sebenarnya, Wulan bukan asli penduduk sini. Menurut penuturan Mita, dia kemari karena ikut serta dengan suaminya saat sebelumnya dia tinggal di daerah jawa sana.

Jangan tanya dari mana Mita tahu, sejak aku berurusan lagi dengan wanita itu, Mita dan orang-orangnya ’lah yang mencari tahu. Dia memang sahabat yang selalu bisa diandalkan.

Dia bahkan lebih mengenal aku jauh lebih baik dari diriku sendiri dan begitu sebaliknya. Sungguh, aku sangat berterimakasih dengan segala kebaikannya.

Braaak!

Aku terperanjat kala seorang wanita menggebrak meja di depanku. Seorang wanita memakai hot pants dan kaos hitam itu menatap nyalang diriku. Ya, dia adalah, Wulan--gundik suamiku. Eh! Sahabatnya.

“Maksudmu apa, hah, mau mengeluarkan suamiku dari resto ini!” suaranya naik 5 oktaf hingga membuat telingaku berdengung.

“Baru punya restoran saja, belagu!” imbuhnya, matanya masih menatapku nyalang.

Aku hanya menatapnya santai, sedangkan kakak ku dan Mita sudah berdiri menjadi tamengku.

“Kak, Mit, duduklah. Jangan sampai sikap kita sama sepertinya,” ucapku yang membuat matanya semakin menyala emosi.

“Pantas saja, Aldi, nggak betah di rumah dan selalu ngajak aku pergi. Istrinya saja acak-acakan begini, cih!” ungkapnya. Matanya menatap penampilanku yang hanya memakai piyama.

“Hahahaa, piyama miliknya bahkan bisa untuk membayar kontrakanmu selama dua bulan!” sentak Mita.

“Lihat saja, warna bajumu saja luntur begini, bisa-bisanya menghina berlian yang berkilau. Batu kali memang susah untuk tau diri,” ujar Mita dengan mulut blak-blakannya. Ah, aku suka.

“Sekarang boleh saja kalian menghinaku, nanti ada saatnya aku jadi nyonya Kresnaldi dan akan mendepak kalian semua! Terutama kau!” ucapnya, jari telunjuknya mengarah padaku lalu berbalik tapi dengan cepat aku mencegahnya.

Kini, aku berdiri di depan gundik itu. Tingginya hanya sebagian dadaku saja. Cih, mas Aldi, seleramu begini amat, sih?

Bahkan dapat kulihat bedak tabur yang berceceran di kaosnya yang berwarna hitam pudar. Wajahnya merah menatapku.

“Ambil saja Aldi untukmu. Penghianat memang seharusnya bersanding dengan sesamanya!” sahutku selembut mungkin di telinganya. Wanita itu mendorong bahuku agar tidak menghalangi langkahnya.

“Wulan!!”

Kepalaku langsung berbelok mencari suara yang memanggil wanita ini, dan ternyata suara ini berasal dari Pak Fais yang kini tengah menatap istrinya dengan wajah memerah.

“Ngapain kamu kesini! Mau bikin aku malu, hah?” lalu lelaki itu menarik lengan istrinya kemudian menghilang keluar.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala, sungguh tidak habis pikir. Orang-orang seperti itu sebenarnya berpikir dengan cara seperti apa, sih?

“Harusnya lu, tuh, jambak dia, Ren! Kesel gue liat tu gundik.” ujar Mita sembari mengaduk kasar minumannya lalu meneguknya.

“Siapa dia, Ren? Apa hubungannya dengan, Pak fais...” tanya Kak Adi.

Aku menghela nafas sebelum menceritakannya pada kakak ku. Aku memang belum memberi tahu tentang ini pada keluargaku.

“Enam bulan ini Mas Aldi berubah, Kak.” sahutku, “dan semua itu karena wanita yang kemari tadi.” terangku.

“Kurang ajar! Kenapa kamu baru bilang, Ren? Kakak bisa saja ngasih pelajaran ke suamimu itu!” jawab Kak Adi seraya berdiri, tangannya terkepal hingga ototnya menyembul pada kulitnya yang putih.

“Kami sudah menyusun rencana, Kak. Sabarlah.” Mita menenangkan kakak ku.

“Aku meminta mas Aldi membawa Wulan ke rumahku besok.” sahutku yang membuat mulut mereka berdua menganga.

“Bagaimana pun, aku ingin rumah tanggaku bisa diselamatkan,” imbuhku sambil menunduk.

“Rena!”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
Bege kmu Rena masi percaya sama Aldi .kmu cantik punya harta .masa bucin sama Aldi .gimana Aldi g mainin kmu Rena d selingkuhin dia minta maaf d terima lagi ..aduh Rena .g bakal tobat itu Aldi ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status