Keesokan harinya, aku berniat menginjakkan kakiku di restoran milikku. Aku hanya ingin menggertak pelakor itu, coba sejauh mana dia bermain-main.
Selama ini suamiku memang tidak tahu tentang bisnis restoran ini. Dia hanya tahu aku mempunyai supermarket saja. Buat apa aku memberi tahunya? Restoran ini aku percayakan kepada kakak ku. Dulu, saat aku mengutarakan niat ingin membina bahtera dengan mas Aldi, semua keluargaku menolak mentah-mentah.
Kini aku percaya, ridho orang tua adalah ridho Allah. Mungkin jalan rumah tanggaku yang curam ini, salah satu jawaban agar aku tidak lagi bersama dengan lelaki itu.
Mita sudah antusias saat menginjak restoran ini, dia terus saja berceloteh dengan semangatnya karena akan berbicara banyak saat di hadapan suami Wulan.
Saat pramusaji menghampiriku, aku membisikannya agar memanggil orang yang kumaksud. Tak berapa lama, orang memakai kemeja hitam dengan celana senada tengah tersenyum hormat menatap kami. Mungkin dia bingung aku siapa, karena aku jarang sekali kesini. Aku hanya menerima laporan saja dari kakak ku, jadi wajar saja lelaki di hadapanku tidak mengenaliku.
“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” ucapnya sopan.
“Duduklah,” titahku. “Saya pemilik restoran ini,” kataku tegas.
Dia terlihat kaget, “Bukannya ini restoran milik, Pak Adisana?” terangnya.
Aku menggeleng sambil tersenyum, “Dia kakak saya,”
“Jadi, ada apa kemari, Non?” ingin sekali aku tertawa kala mendengar panggilannya berubah untukku.
Ku ambil ponsel yang ada di tas hermes keluaran terbaruku, lalu menggesernya di atas meja, menyerahkan foto istrinya yang tengah duduk manis menatap suamiku.
Matanya membelalak, pastilah dia semakin bingung dengan apa yang selanjutnya aku katakan. Aku bersandar di kursi sembari menatapnya.
“I-ini .... i-ini istri saya, Non.” matanya memandangku, tapi aku bisa melihat emosi yang perlahan menyala di bola matanya.
“Kamu tahu siapa lelaki yang memakaikan sepatu di kaki istrimu?” tanyaku, dan dia hanya menggeleng. Sayang sekali.
“Dia suamiku!” kataku tegas
“Kenapa istri saya bisa dengan suamimu, Non?” ucapnya terkejut.
“Wah, sayang sekali. Saya kira kamu lebih tahu di banding saya,” aku mengambil nafas, hatiku masih terasa perih.
“Saya bisa saja membuatmu hilang pekerjaan dan bisa membuatmu tidak lagi bisa bekerja di restoran manapun. Ka--”
“Jangan pecat saya, Non, jangan! Mau makan apa anak dan istri saya,” ucapnya memotong kata-kataku.
Sebegitu cintanya 'kah dia pada gundik suamiku itu? Kenapa di saat seperti ini saja Tuhan tidak adil padaku. Aku yang sudah mati-matian berusaha menjadi istri yang baik, tidak pernah membangkang, tapi mendapat suami seperti itu.
Lihatlah lelaki ini, dia sudah terang-terangan di hianati, tapi masih memikirkan nasib istrinya yang sialan itu! Kuhela nafas kasar, mataku mengerjap berulang kali keatas menghalau embun yang perlahan menggenang.
“Mari kita lakukan penawaran,” ucap Mita mengambil alih, dia memang sahabat yang bisa di andalkan.
Sedetik kemudian, Mita menceritakan tentang persahabatan suamiku dan istrinya. Lelaki yang bernama Fais yang ku baca dari name tagnya berkali-kali menghela nafas saat mulut Mita terus saja berceloteh.
“Maafkan saya, Non. Boneka yang dimaksud tadi ada di kamar kami, boneka panda yang di tengah kepalanya sudah koyak.” ucapnya dengan pandangan menerawang.
“Dia berkata pada saya, boneka itu dari sahabatnya. Sahabat yang membantunya saat mencari kerja dulu.“ lelaki itu menghela nafas, “pernikahan kami memang dari perjodohan, saya kira ... Wulan sudah menyerahkan hatinya kepada saya,” imbuhnya, ada bulir bening yang meleleh disudut mata kirinya.
Aku dan Mita berpandangan, kami bukan wanita yang tidak mempunyai hati. Sungguh, aku iba melihat lelaki ini. Cintanya yang besar tidak seharusnya berakhir seperti ini.
“Nama anak, Pak Fais, siapa?” tanya Mita.
“Kresnaldi Pramudia Wardana,” jawabnya tersenyum. Sedangkan Mita menolehku dan kujawab dengan anggukan untuk meneruskan.
“Nama yang bagus ya, Pak? Sayangnya, nama itu adalah nama suami atasan, Bapak.” terang Mita mantap, mulut lelaki itu menganga. “ya, nama sahabat istrimu.” imbuhnya.
🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺Aku pulang ke rumah saat sore harinya, Mita mengusirku pulang agar masalah ku tidak berlarut-larut katanya. Jomblo memang selalu bijak.Aku memutar handle pintu, lalu masuk dan melangkah menuju kulkas untuk mengambil minuman bersoda kemudian menenggaknya. Setelah tenggorokanku basah, aku melangkah menuju peraduan di lantai dua, penat sekali dengan masalah yang menerpa, ingin sekali mandi di bawah guyuran air dingin untuk menyegarkan kepalaku.
Tapi saat aku sampai di depan kamar, indera pendengaranku menangkap suara seperti orang yang tengah memadu kasih. Apakah ...
Klek!
Saat pintu terbuka, aku melihat Mas Aldi tengah video call dengan seorang perempuan lalu mematikannya. Celana yang dipakainya berantakan dengan peluh membanjiri dahinya yang bersih.Aku mendekatinya, menatap nyalang dirinya, lalu merebut ponsel yang dia letakkan di kasur. Setengah mati dia berusaha merebut paksa ponselnya sampai akhirnya dia menyerah.
Kubuka aplikasi berlogo burung biru, memeriksanya, banyak sekali pesan mengajak video call s*ks. Lalu beralih membuka pesan aplikasi berlogo telfon berwarna hijau dan menemukan pesan nostalgia dari gundiknya.
[ Aku seneng banget bisa ketemu sama kamu lagi, dan bisa canda tawa bareng lagi. ]
[ Kenapa sih, istri kamu cemburuan banget? Kemarin aku dimarahin lewat telfon. ]
[ Tau gak, panda yang dari kamu masih aku simpan. Nggak terasa aku nyimpan boneka itu udah 8 tahun! ]
Dan masih banyak lagi pesan yang suamiku dan gundiknya kirimkan. Aku mendecih, sungguh, aku semakin yakin pada keputusanku untuk meminta cerai padanya.
“Ceraikan aku, Mas!” ucapku sembari menatap nyalang dirinya.
“Ngomong apa kamu! Nggak, Mas nggak mau cerai.” tegasnya.
“Aku ingin bebas dari masalalu kalian berdua!” Pekikku.
Dia hanya menatapku, lalu pergi dari hadapanku. Entah seperti apa dipikirannya itu! Kaki jenjangku melangkah mulus menuju kamar mandi lalu menutupnya, ku nyalakan shower yang kemudian membasahiku serta dengan pakaianku.
Mas Aldi, coba saja kamu benar-benar berubah. Mungkin sekarang kita tengah menghabiskan malam dengan manis. Tapi sekarang kita seperti orang asing di bawah atap yang sama.
Bahkan saat kita duduk pun, pikiran kita tidak serta merta kompak, pikiranku melayang ke arahmu sedangkan pikiranmu melayang pada masalalumu.
Sepertinya rencana yang disusun oleh Mita harus secepatnya berjalan, untung saja suami pelakor itu setuju dengan syarat anaknya tidak akan dilibatkan dan aku setuju.
“Lakukan saja apa yang kalian inginkan, maafkan saya yang tidak becus menjaga istri saya,” Fais menunduk.
“Baiklah, Pak. Saya minta tolong kerja samanya.” ucap Mita tegas.
“Wulan seharusnya beruntung mendapatkan suami sepertimu,” ujarku.
“Wulan selalu mengeluh keuangan pada saya, dan mungkin saat suamimu kembali mendekati istri saya. Dia melihat sesuatu yang Aldi punya dan saya tidak punya.”
Ucapannya membuatku sedikit berpikir. Apa ada yang kurang dariku, Mas Aldi? Ku biarkan kamu masuk ke kehidupanku dengan tangan kosong, dan kini kamu bergelimang harta, kecukupan bahkan nafkah saja hanya beberapa ratus ribu yang kamu berikan.
Alasan yang selalu keluar dari mulutnya adalah, karena aku mempunyai penghasilan di atas dirinya. Padahal nafkah di dalam pernikahan itu sangat penting.
Dinginnya air yang mengguyur tubuhku tetap tidak bisa mengenyahkan tentang lelaki itu. Entah sudah berapa lama aku dibawah guyuran air, aku merasa kepalaku pusing dan pandanganku berkunang-kunang.
Terakhir yang ku ingat, aku melihat lelaki yang menghampiriku dan perlahan gelap.
“Syukurlah kamu udah sadar!” suara Mas Aldi? Aku mencoba membuka mata yang terasa berat, kepalaku pusing sekali. Aku berusaha menepis tangannya yang membantuku duduk. Kuraba bajuku, kini sudah diganti dengan baju hangat.Mataku menatap tajam dirinya, rasanya aku tidak ingin dia sentuh lagi setelah apa yang terjadi.“Kenapa? Aku masih sah, Suamimu.” katanya lembut dengan mata menyipit.“Kamu memang masih Suamiku,” sahutku lalu mendecih, “Suami diatas kertas!” ucapku dingin.Aku menyibak selimut tebal milikku untuk menutupi tubuh hingga ujung rambut. Aku malas berdebat dengannya. Percuma saja, bukan? Dia tetap merasa benar dengan apa yang telah dilakukannya, dan menurutnya sikapku yang seperti ini bukanlah seharusnya.Lelaki itu mengguncang tubuhku agar menoleh padanya. Dengan kesal kusibak kembali selimut agar terbuka kemudian duduk menghadapn
“Kamu tentu tau 'kan? Kakak bisa saja mendepak suamimu dari kantornya.” ucapan Kak Adi di angguki oleh sahabatku--Mita.“Kamu sudah disakiti seperti ini dan masih berharap hubungan kalian membaik?” imbuhnya dengan mata menyipit.Buliran bening kembali membasahi pipiku, tapi cepat kuhapus dengan tangan kananku.“Jangan nangis, Rena. Kakak nggak bisa liat kamu begini.” kemudian lelaki itu berdiri masuk ke ruangannya. Sedangkan aku dan Mita lebih memilih pergi menuju parkiran.“Jangan mau disakitin terus, Ren. Kakak lu aja nggak rela, gue juga sama. Ngga suka liat lu begini.” terangnya, lalu masuk ke mobil dan melajukannya.Ini sangat berat. 🌺🌺🌺🌺🌺Aku melajukan kendaraanku dengan kecepatan sedang. Aku malas sekali pulang dan harus melihat penghianat itu di rumah. Satu-satunya tempat untuk menen
Fais menarik lengan istrinya dengan kasar menuju pintu keluar, menerobos paksa kerumunan orang yang penasaran terhadap kami. Lelaki itu tidak mengindahkan jeritan istrinya yang meminta dilepaskan. Aku tentu khawatir kalau Fais benar-benar menalak wanita itu, pasti dia malah sangat senang menerimanya dan lebih leluasa mendekati suamiku. Aku ingin mencoba menyelamatkan rumah tanggaku, setelah nanti apa yang ada di pikiranku terjawab salah, aku ingin memperbaiki seperti semula. Aku melirik Mita yang kini sedang menerima telfon seraya menjauh dariku. Sedangkan Mas Aldi terus menatap pintu Cafe yang sudah kembali tertutup. Ah, mungkin dia tengah merasa bersalah pada sahabatnya. “Ren, gue pulang ya' nyokap gue baru aja balik.” ujar Mita pamit, dan aku mengangguk. Aku memilih kembali duduk, tak menghiraukan Mas Aldi yang terus berdiri menatap kaca
“Sayang, berkas aku ketingga--” Semua orang memandang lelaki yang kini berdiri memegangi handle pintu. Tatapannya menatap ke arah Wulan dan Fais bergantian. Sedetik kemudian, raut wajah yang tadi bingung berubah seperti biasa lagi. “Ternyata ada tamu,” ucapnya, lalu masuk mencari berkas yang dicari. “Mas,” cegahku saat Mas Aldi sampai di pintu. Lelaki itu menoleh menghentikan tangannya memutar kenop. “Katanya ada yang mau kamu omongin. Nih, ada Pak Fais.” “Ta-tapi...” ucap Mas Aldi gugup. Aku jadi meragukan dirinya, padahal baru semalam dia berjanji padaku. Ku perhatikan dirinya yang perlahan duduk di sampingku. Tatapan Wulan terus mengarah ke Mas Aldi, hingga suaminya menyenggol lengan wanita itu, lalu menunduk. “Teruskan, Pak Fais, tentang pembicaraan kita. S
Kali ini hujan turun lagi, aku duduk memandangi hujan yang terbawa angin dengan sesekali cipratannya mengenai kaca. Sweater merah muda membalut tubuhku, aku menikmati hujan di balik jendela kaca dengan secangkir teh manis panas.Kugosok hidungku yang terasa gatal, kemudian mengusap kedua tanganku agar lebih hangat, aku menangkupkan kedua tanganku di pipi dengan mata terus memandang hujan.“Lan,”Aku menoleh, ternyata Bapak. Mungkin dia baru saja pulang dari ladang, karena bajunya yang basah, pasti dia baru saja pulang kehujanan.“Kenapa, Pak? Mandi dulu aja, Pak.” sahutku, lalu melangkah ke dapur hendak membuatkan lelaki tua itu teh panas tawar, karena Bapak tidak suka manis.Dari tirai dapur, aku dapat melihat Bapak menuruti ucapanku melangkah menuju kamar mandi. Aku baru saja ingat, ada pisang tanduk di lemari makanan.‘mending pisangnya ku goreng saja.” aku bergumam.&
Aldi terus menghiburku, bahkan dirinya selalu menemuiku setelah pulang kerja. Memastikan perutku sudah terisi, dan tentunya aku suka dengan perhatiannya.Kini, kami sedang menikmati mie ayam langganan kami. Makanan favorit kami. Sambil menunggu pesanan kami datang, aku mencoba membuka efbe di ponsel mungilku.“Loh, Di! Kok, akun aku kamu blokir 'sih?” gerutuku.“Cewekku nggak suka sama komentar kamu, Lan. Dia marah-marah semalem,” ucapnya sembari menyeruput kopinya.“Cemburuan amat, sih! Harusnya kalo dia mau jadi pacar kamu, ya harus mau terima aku!” sahutku jengkel. “coba, gimana sih pacarmu?”Aldi mengeluarkan ponsel yang cukup bermerk, mengetikkan beberapa huruf di kolom pencarian lalu mengkliknya saat yang dicari ketemu.Aku menatap foto wanita yang mungkin usianya masih belasan. Ku tebak, dia pasti masih SMA! Cih
Hari berlalu dengan sangat cepat. Bapak, sudah berada di Jakarta. Dirinya lebih memilih mengontrak di daerah Sunter. Tidak bersama dengan aku dan Ibu.Selama itu juga, Aldi terus menemaniku, menuruti segala kemauanku. Sesuatu yang telah terjadi di antara kami tidak menggoyahkan persahabatan kami. Karena, beginilah persahabatan kami.Hari ini aku tidak berkerja, bapak sudah menelpon akan menemuiku siang ini di kontrakan Ibu. Aku menunggunya dengan gelisah, karena apa yang bapak ucapkan adalah mutlak. Cepat atau lambat, perjodohan ini akan aku jalani dan pastilah akan berujung ke pernikahan.Tok! Tok! Tok!“Assalamu'alaikum,” aku semakin gugup tak karuan kala mendengar suara yang sedari tadi mengganggu pikiranku. Bapak!“Wa'alaikumussalam, Pak!” jawabku seraya membuka pintu berwarna cokelat kehitaman.Mataku bertemu pandang dengan seorang lelaki berkulit kecoklatan, berambut ikal dan
Aldi memandangku dengan kening berkerut. Aku gelagapan saat ketahuan mengumpat di depannya menyumpah serapahkan pacarnya berkali-kali.“Kenapa, Rena?” tanyanya, suaranya khas seperti orang bangun tidur.“I-itu, Di. Tadi cewekmu nelpon, aku angkat. Eh, dia marah-marahin aku!” aduku sambil mengerucutkan bibir tebalku ke arahnya. Untunglah aku sudah menghapus SMSnya, jadi aku aman!“Hm, dia paling cemburu. Nggak pa-pa, nanti aku yang bilang ke dia. Ini masih malem, lho, Lan. Kenapa nggak tidur lagi?” ucapnya seraya menjauh dari kasur dan meletakkan selimut berwarna cokelat di lantai dekat pintu.“Maaf, ya. Tadi aku ketiduran, kamu tidur aja di kasur. Biar aku yang di sini.” bibir tipisnya membentuk lengkungan, kemudian lelaki itu mengambil posisi nyaman dan kembali tidur.‘Hufh, untunglah!’ batinku.Keesokan harinya, aku langsung menuju kamar mandi y