Aku merebahkan tubuhku di kasur yang dilapisi sprei berwarna putih polos. Pandanganku kosong mengarah ke langit-langit rumah, sedangkan pikiranku tengah melanglang buana pada kejadian hari ini. Orang yang pernah menghilangkan kepercayaanku, dan sudah kuberi setengah hati lagi, malah kembali menghianati aku.
Bukan tidak pernah aku menegur wanita itu, selama berpacaran tujuh tahun dengan mas Aldi. Sudah berkali-kali aku menegur mereka.
“Kamu 'kan perempuan, tolonglah hargai saya sebagai pasangan, mas Aldi.” kataku tegas disambungan telfon yang terhubung.
Wanita itu tertawa, “kamu nggak punya sahabat, ya? Pantes aja cemburu!” katanya, lalu mendengkus.
“Jangan terlalu cemburulah, kami dekat sebelum Aldi mengenalmu.” imbuhnya, lalu memutus sambungan telfon sepihak.
Yang membuatku tercengang adalah nama anak wanita itu, ‘Kresnaldi Pramudia Wardana' nama yang sama dengan nama suamiku--mas Aldi.
Persahabatan mereka memberi dampak besar kepadaku, saat mas Aldi meminta haknya sebagai suami kala malam pertama. Aku menangis hingga berteriak, kala dada bidangnya yang tanpa sehelai benang perlahan mulai menindihku, aku jijik.
Pikiranku melayang saat melihatnya bertelanjang dada. Aku benci pikiranku yang terus memutar layaknya sebuah film otomatis yang memperlihatkan bagaimana mereka dibelakangku.
Tiba-tiba lagu John Mayer mengalun indah dari ponselku yang menjerit-jerit minta diangkat. Tertera nama ‘Mita’ di sana.
“Gue punya nomer whutsupp suaminya si pelakor, nih!” teriaknya diujung sana sebelum aku mengucapkan ‘halo’.
“Buat apa? Lu mau nyuruh gue balik ngelakor, heh!” ujarku lalu tertawa.
“Lu bego, ye. Lu mau bikin perhitungan sama suaminya tu, Kunti 'kan?” terangnya, aku cengengesan kala dia menyebut nama sahabat suamiku dengan sebutan kunti.
“Oh! Ya, gue tau! Besok lu ke ruangan gue aja. Kita diskusi di situ.” jawabku, lalu mematikan sambungan telfon.
Aku beruntung mempunyai sahabat sepertinya, yang jelas persahabatan kami normal bukan seperti suamiku dan gundiknya. Ya, lagi pula apa lagi kalau bukan gundik?
Ah, aku baru ingat. Dulu 'kan mas Aldi pernah bilang, jika suami si Wulan memang tidak tahu menahu tentang mereka. Yah, mereka memang menikah karena perjodohan, mungkin gundik itu tidak mencintai suaminya lalu mencari kenyamanan dengan suamiku. Menjijikan!
Klek!
“Sayaaang, Mas pulang, nih ... Sayaaang,”
Suara Mas Aldi? Malas sekali rasanya mendengar panggilannya, sikapnya seperti tidak ada apa-apa yang terjadi.
Aku diam saja, membiarkan dirinya menghampiriku. Besok, aku akan mencari asisten rumah tangga. Sudah tidak ada gunanya aku mencari predikat istri idaman kalau suamiku saja bukan suami idaman.
Akan ku sibukkan diri dengan karir. Aku memang wanita mandiri, sedangkan wanita itu? Huh, lagi-lagi hatiku ingin menyumpah serapahkan wanita itu!
“Ternyata kamu di sini. Kok, Mas panggil nggak jawab, sih?” ucapnya memandang mataku lekat dan duduk di sampingku. “kamu abis nangis?” imbuhnya.
“Seharian ini kamu kemana?” ucapku to the point.
“Aku ngantor lah sayang,” jawabnya sembari menyelipkan rambut ke telingaku.
Aku mendengkus, lalu dengan cekatan memencet galeri yang ada di ponsel. Aku menunjukan fotonya yang ku ambil saat dirinya tengah memakaikan sneakers ke kaki sahabatnya.
“Ini yang dimaksud ngantor?” ucapku dengan senyum sinis.
Lalu kembali menggeser foto yang satu lagi, saat mereka tengah bercanda sambil memakan ramen di restoran. “atau ini yang disebut meeting?” imbuhku.
Mas Aldi terlihat susah payah menelan saliva, netranya membelalak dengan dahi yang berkeringat, padahal AC di kamar ini cukup dingin.
“S-sayang, Mas bisa jelaskan ini.” ucapnya, tangannya meraih tangan kiriku.
“Apa yang harus kamu jelaskan, Mas? Apa! Apa nggak cukup hanya aku seorang yang menjadi temanmu, sahabatmu dan pasanganmu?” pekikku sembari melepaskan tangan kiriku yang dicekalnya. Aku muak, sangat muak.
“Mas nggak sengaja ketemu, Wulan, tadi!” ujarnya dengan tatapan memohon. “percaya sama, Mas.” imbuhnya.
“Hahaha, nggak sengaja ketemu, katamu?” ucapku dengan suara meninggi, buliran embun kembali mengalir.
“Coba jelasin. Apa yang kamu lakuin tadi pagi di kamar mandi, kamu telfon sama siapa!” imbuhku, mataku menatap matanya nyalang.
Mas Aldi terlihat gelisah dan menghindari tatapanku, “baiklah. Mas iseng mencarinya lagi,” katanya, kepalanya menunduk tak berani menatapku yang berdiri di hadapannya.
“Kembalilah, Mas!” kataku tegas sambil mengalihkan pandangan.
“A-apa, kembali ke siapa, Ren....” matanya membelalak mendengar ucapanku.
“Aku capek, dan aku nggak mau lagi ada di antara dua orang di mana masalalu mereka belum sepenuhnya usai!” ucapku tegas kemudian beranjak pergi, meninggalkan Mas Aldi yang masih duduk di kasur putih.
Sungguh, aku ingin dicintai olehnya! Bohong kalau aku berkata aku tidak mencintainya, tapi apa harus mencintainya dengan sesakit ini?
Aku menelfon seseorang, orang yang sangat inginku maki hingga bebanku hilang. Wulan.
“Siapa ini,” tanyanya di seberang sana.
“Istri, Kresnaldi Pramudia Wardana,” jawabku.
“Oh, hahahaha, kapan menjanda?” jawabannya sontak membuatku ingin sekali meremas mulutnya.
“Tunggu tanggal mainnya, kamu akan merasakan apa yang aku rasakan.” lalu kumatikan kembali telfon sepihak.
Kuraih kunci mobil, aku harus menenangkan pikiran. Lebih baik aku ke rumah Mita saja. Sebelum melajukan roda empatku, aku mengirim pesan dulu kepada sahabatku.
Tok! Tok! Tok!
Brisik sekali, kaca mobilku diketuk oleh Mas Aldi yang terus saja minta dibuka. Tapi terserah, aku lelah Mas!
“Minggir!” ucapku dingin ketika kaca dibuka sedikit agar suaraku terdengar.
“Jangan pergi, Rena! Kamu mau tidur di mana kalau kamu pergi?” suaranya terdengar perhatian, tapi berbeda makna di telingaku.
“Yang jelas aku nggak tidur di pelukan cowok lain!” kataku lalu melajukan kendaraanku cepat hingga ban mobilku berdecit.
Ponselku terus saja berdering dengan nama mas Aldi di sana. Ku biarkan saja dia. Mari bermain denganku mas, akan aku tunjukan bagaimana bermain cantik untuk parasit seperti kalian berdua.
Tiga puluh menit kemudian, aku sudah memarkirkan mobilku di garasi rumah sahabatku. Aku selalu kagum dengan rumah sahabatku ini, rumah yang dikelilingi bunga, menjadikan rumahnya terlihat seperti istana di negeri dongeng dengan taman yang mengitarinya.
Aku membuka pintu rumah sahabatku begitu saja, aku sudah terbiasa kemari. Kedatanganku langsung disambut oleh beberapa pelayannya, salah satu dari kelima orang itu mengantarku ke kamar Mita.
Begitu sampai, aku langsung membuka pintunya lalu merebahkan tubuhku dikasurnya yang empuk.
“Gitu deh, makanya gue nggak nikah-nikah,” ucap Mita, matanya terus memandang laptop berlabel apel separuh dengan mulut mengunyah makanan ringan.
Aku memutar bola mata malas, “tau ah, Mit!” ujarku sambil merebut snack yang ada di tangannya.
Dia menghela nafas, memutar tubuhnya menghadapku. “apa?” kataku.
“Lu abis berantem, kan?” ujarnya, “kita harus bikin pelajaran ke kunti itu!” imbuhnya semangat.
“Gue udah mikirin itu,” ucapku menunduk.
“Suami tu kunti, kerja jadi supervisor di restoran lu, Ren!” katanya yang sukses membuat mulutku menganga. “jangan lebar-lebar, ntar nyamuk masuk!” sahabat lucknut memang.
“Kok, lu lebih tau 'sih?” jawabku dan Mita menghela nafas.
“Lu kalo lagi patah hati emang suka lemot, ya, Ren.”
“Mari kita bermain-main, Ren. Gue nggak sabar apa yang akan terjadi selanjutnya!”
Keesokan harinya, aku berniat menginjakkan kakiku di restoran milikku. Aku hanya ingin menggertak pelakor itu, coba sejauh mana dia bermain-main.Selama ini suamiku memang tidak tahu tentang bisnis restoran ini. Dia hanya tahu aku mempunyai supermarket saja. Buat apa aku memberi tahunya? Restoran ini aku percayakan kepada kakak ku. Dulu, saat aku mengutarakan niat ingin membina bahtera dengan mas Aldi, semua keluargaku menolak mentah-mentah.Kini aku percaya, ridho orang tua adalah ridho Allah. Mungkin jalan rumah tanggaku yang curam ini, salah satu jawaban agar aku tidak lagi bersama dengan lelaki itu.Mita sudah antusias saat menginjak restoran ini, dia terus saja berceloteh dengan semangatnya karena akan berbicara banyak saat di hadapan suami Wulan.Saat pramusaji menghampiriku, aku membisikannya agar memanggil orang yang kumaksud. Tak berapa lama, orang memakai kemeja hitam dengan celana senada tengah tersenyum hormat menatap k
“Syukurlah kamu udah sadar!” suara Mas Aldi? Aku mencoba membuka mata yang terasa berat, kepalaku pusing sekali. Aku berusaha menepis tangannya yang membantuku duduk. Kuraba bajuku, kini sudah diganti dengan baju hangat.Mataku menatap tajam dirinya, rasanya aku tidak ingin dia sentuh lagi setelah apa yang terjadi.“Kenapa? Aku masih sah, Suamimu.” katanya lembut dengan mata menyipit.“Kamu memang masih Suamiku,” sahutku lalu mendecih, “Suami diatas kertas!” ucapku dingin.Aku menyibak selimut tebal milikku untuk menutupi tubuh hingga ujung rambut. Aku malas berdebat dengannya. Percuma saja, bukan? Dia tetap merasa benar dengan apa yang telah dilakukannya, dan menurutnya sikapku yang seperti ini bukanlah seharusnya.Lelaki itu mengguncang tubuhku agar menoleh padanya. Dengan kesal kusibak kembali selimut agar terbuka kemudian duduk menghadapn
“Kamu tentu tau 'kan? Kakak bisa saja mendepak suamimu dari kantornya.” ucapan Kak Adi di angguki oleh sahabatku--Mita.“Kamu sudah disakiti seperti ini dan masih berharap hubungan kalian membaik?” imbuhnya dengan mata menyipit.Buliran bening kembali membasahi pipiku, tapi cepat kuhapus dengan tangan kananku.“Jangan nangis, Rena. Kakak nggak bisa liat kamu begini.” kemudian lelaki itu berdiri masuk ke ruangannya. Sedangkan aku dan Mita lebih memilih pergi menuju parkiran.“Jangan mau disakitin terus, Ren. Kakak lu aja nggak rela, gue juga sama. Ngga suka liat lu begini.” terangnya, lalu masuk ke mobil dan melajukannya.Ini sangat berat. 🌺🌺🌺🌺🌺Aku melajukan kendaraanku dengan kecepatan sedang. Aku malas sekali pulang dan harus melihat penghianat itu di rumah. Satu-satunya tempat untuk menen
Fais menarik lengan istrinya dengan kasar menuju pintu keluar, menerobos paksa kerumunan orang yang penasaran terhadap kami. Lelaki itu tidak mengindahkan jeritan istrinya yang meminta dilepaskan. Aku tentu khawatir kalau Fais benar-benar menalak wanita itu, pasti dia malah sangat senang menerimanya dan lebih leluasa mendekati suamiku. Aku ingin mencoba menyelamatkan rumah tanggaku, setelah nanti apa yang ada di pikiranku terjawab salah, aku ingin memperbaiki seperti semula. Aku melirik Mita yang kini sedang menerima telfon seraya menjauh dariku. Sedangkan Mas Aldi terus menatap pintu Cafe yang sudah kembali tertutup. Ah, mungkin dia tengah merasa bersalah pada sahabatnya. “Ren, gue pulang ya' nyokap gue baru aja balik.” ujar Mita pamit, dan aku mengangguk. Aku memilih kembali duduk, tak menghiraukan Mas Aldi yang terus berdiri menatap kaca
“Sayang, berkas aku ketingga--” Semua orang memandang lelaki yang kini berdiri memegangi handle pintu. Tatapannya menatap ke arah Wulan dan Fais bergantian. Sedetik kemudian, raut wajah yang tadi bingung berubah seperti biasa lagi. “Ternyata ada tamu,” ucapnya, lalu masuk mencari berkas yang dicari. “Mas,” cegahku saat Mas Aldi sampai di pintu. Lelaki itu menoleh menghentikan tangannya memutar kenop. “Katanya ada yang mau kamu omongin. Nih, ada Pak Fais.” “Ta-tapi...” ucap Mas Aldi gugup. Aku jadi meragukan dirinya, padahal baru semalam dia berjanji padaku. Ku perhatikan dirinya yang perlahan duduk di sampingku. Tatapan Wulan terus mengarah ke Mas Aldi, hingga suaminya menyenggol lengan wanita itu, lalu menunduk. “Teruskan, Pak Fais, tentang pembicaraan kita. S
Kali ini hujan turun lagi, aku duduk memandangi hujan yang terbawa angin dengan sesekali cipratannya mengenai kaca. Sweater merah muda membalut tubuhku, aku menikmati hujan di balik jendela kaca dengan secangkir teh manis panas.Kugosok hidungku yang terasa gatal, kemudian mengusap kedua tanganku agar lebih hangat, aku menangkupkan kedua tanganku di pipi dengan mata terus memandang hujan.“Lan,”Aku menoleh, ternyata Bapak. Mungkin dia baru saja pulang dari ladang, karena bajunya yang basah, pasti dia baru saja pulang kehujanan.“Kenapa, Pak? Mandi dulu aja, Pak.” sahutku, lalu melangkah ke dapur hendak membuatkan lelaki tua itu teh panas tawar, karena Bapak tidak suka manis.Dari tirai dapur, aku dapat melihat Bapak menuruti ucapanku melangkah menuju kamar mandi. Aku baru saja ingat, ada pisang tanduk di lemari makanan.‘mending pisangnya ku goreng saja.” aku bergumam.&
Aldi terus menghiburku, bahkan dirinya selalu menemuiku setelah pulang kerja. Memastikan perutku sudah terisi, dan tentunya aku suka dengan perhatiannya.Kini, kami sedang menikmati mie ayam langganan kami. Makanan favorit kami. Sambil menunggu pesanan kami datang, aku mencoba membuka efbe di ponsel mungilku.“Loh, Di! Kok, akun aku kamu blokir 'sih?” gerutuku.“Cewekku nggak suka sama komentar kamu, Lan. Dia marah-marah semalem,” ucapnya sembari menyeruput kopinya.“Cemburuan amat, sih! Harusnya kalo dia mau jadi pacar kamu, ya harus mau terima aku!” sahutku jengkel. “coba, gimana sih pacarmu?”Aldi mengeluarkan ponsel yang cukup bermerk, mengetikkan beberapa huruf di kolom pencarian lalu mengkliknya saat yang dicari ketemu.Aku menatap foto wanita yang mungkin usianya masih belasan. Ku tebak, dia pasti masih SMA! Cih
Hari berlalu dengan sangat cepat. Bapak, sudah berada di Jakarta. Dirinya lebih memilih mengontrak di daerah Sunter. Tidak bersama dengan aku dan Ibu.Selama itu juga, Aldi terus menemaniku, menuruti segala kemauanku. Sesuatu yang telah terjadi di antara kami tidak menggoyahkan persahabatan kami. Karena, beginilah persahabatan kami.Hari ini aku tidak berkerja, bapak sudah menelpon akan menemuiku siang ini di kontrakan Ibu. Aku menunggunya dengan gelisah, karena apa yang bapak ucapkan adalah mutlak. Cepat atau lambat, perjodohan ini akan aku jalani dan pastilah akan berujung ke pernikahan.Tok! Tok! Tok!“Assalamu'alaikum,” aku semakin gugup tak karuan kala mendengar suara yang sedari tadi mengganggu pikiranku. Bapak!“Wa'alaikumussalam, Pak!” jawabku seraya membuka pintu berwarna cokelat kehitaman.Mataku bertemu pandang dengan seorang lelaki berkulit kecoklatan, berambut ikal dan