Share

2. Bertengkar

Aku merebahkan tubuhku di kasur yang dilapisi sprei berwarna putih polos. Pandanganku kosong mengarah ke langit-langit rumah, sedangkan pikiranku tengah melanglang buana pada kejadian hari ini. Orang yang pernah menghilangkan kepercayaanku, dan sudah kuberi setengah hati lagi, malah kembali menghianati aku. 

Bukan tidak pernah aku menegur wanita itu, selama berpacaran tujuh tahun dengan mas Aldi. Sudah berkali-kali aku menegur mereka. 

“Kamu 'kan perempuan, tolonglah hargai saya sebagai pasangan, mas Aldi.” kataku tegas disambungan telfon yang terhubung. 

Wanita itu tertawa, “kamu nggak punya sahabat, ya? Pantes aja cemburu!” katanya, lalu mendengkus. 

“Jangan terlalu cemburulah, kami dekat sebelum Aldi mengenalmu.” imbuhnya, lalu memutus sambungan telfon sepihak. 

Yang membuatku tercengang adalah nama anak wanita itu, ‘Kresnaldi Pramudia Wardana' nama yang sama dengan nama suamiku--mas Aldi. 

Persahabatan mereka memberi dampak besar kepadaku, saat mas Aldi meminta haknya sebagai suami kala malam pertama. Aku menangis hingga berteriak, kala dada bidangnya yang tanpa sehelai benang perlahan mulai menindihku, aku jijik. 

Pikiranku melayang saat melihatnya bertelanjang dada. Aku benci pikiranku yang terus memutar layaknya sebuah film otomatis yang memperlihatkan bagaimana mereka dibelakangku. 

Tiba-tiba lagu John Mayer mengalun indah dari ponselku yang menjerit-jerit minta diangkat. Tertera nama ‘Mita’ di sana. 

“Gue punya nomer whutsupp suaminya si pelakor, nih!” teriaknya diujung sana sebelum aku mengucapkan ‘halo’.

“Buat apa? Lu mau nyuruh gue balik ngelakor, heh!” ujarku lalu tertawa. 

“Lu bego, ye. Lu mau bikin perhitungan sama suaminya tu, Kunti 'kan?” terangnya, aku cengengesan kala dia menyebut nama sahabat suamiku dengan sebutan kunti. 

“Oh! Ya, gue tau! Besok lu ke ruangan gue aja. Kita diskusi di situ.” jawabku, lalu mematikan sambungan telfon. 

Aku beruntung mempunyai sahabat sepertinya, yang jelas persahabatan kami normal bukan seperti suamiku dan gundiknya. Ya, lagi pula apa lagi kalau bukan gundik? 

Ah, aku baru ingat. Dulu 'kan mas Aldi pernah bilang, jika suami si Wulan memang tidak tahu menahu tentang mereka. Yah, mereka memang menikah karena perjodohan, mungkin gundik itu tidak mencintai suaminya lalu mencari kenyamanan dengan suamiku. Menjijikan! 

Klek! 

“Sayaaang, Mas pulang, nih ... Sayaaang,” 

Suara Mas Aldi? Malas sekali rasanya mendengar panggilannya, sikapnya seperti tidak ada apa-apa yang terjadi. 

Aku diam saja, membiarkan dirinya menghampiriku. Besok, aku akan mencari asisten rumah tangga. Sudah tidak ada gunanya aku mencari predikat istri idaman kalau suamiku saja bukan suami idaman. 

Akan ku sibukkan diri dengan karir. Aku memang wanita mandiri, sedangkan wanita itu? Huh, lagi-lagi hatiku ingin menyumpah serapahkan wanita itu! 

“Ternyata kamu di sini. Kok, Mas panggil nggak jawab, sih?” ucapnya memandang mataku lekat dan duduk di sampingku. “kamu abis nangis?” imbuhnya. 

“Seharian ini kamu kemana?” ucapku to the point. 

“Aku ngantor lah sayang,” jawabnya sembari menyelipkan rambut ke telingaku. 

Aku mendengkus, lalu dengan cekatan memencet galeri yang ada di ponsel. Aku menunjukan fotonya yang ku ambil saat dirinya tengah memakaikan sneakers ke kaki sahabatnya. 

“Ini yang dimaksud ngantor?” ucapku dengan senyum sinis. 

Lalu kembali menggeser foto yang satu lagi, saat mereka tengah bercanda sambil memakan ramen di restoran. “atau ini yang disebut meeting?” imbuhku. 

Mas Aldi terlihat susah payah menelan saliva, netranya membelalak dengan dahi yang berkeringat, padahal AC di kamar ini cukup dingin. 

“S-sayang, Mas bisa jelaskan ini.” ucapnya, tangannya meraih tangan kiriku. 

“Apa yang harus kamu jelaskan, Mas? Apa! Apa nggak cukup hanya aku seorang yang menjadi temanmu, sahabatmu dan pasanganmu?” pekikku sembari melepaskan tangan kiriku yang dicekalnya. Aku muak, sangat muak. 

“Mas nggak sengaja ketemu, Wulan, tadi!” ujarnya dengan tatapan memohon. “percaya sama, Mas.” imbuhnya. 

“Hahaha, nggak sengaja ketemu, katamu?” ucapku dengan suara meninggi, buliran embun kembali mengalir. 

“Coba jelasin. Apa yang kamu lakuin tadi pagi di kamar mandi, kamu telfon sama siapa!” imbuhku, mataku menatap matanya nyalang. 

Mas Aldi terlihat gelisah dan menghindari tatapanku, “baiklah. Mas iseng mencarinya lagi,” katanya, kepalanya menunduk tak berani menatapku yang berdiri di hadapannya. 

“Kembalilah, Mas!” kataku tegas sambil mengalihkan pandangan. 

“A-apa, kembali ke siapa, Ren....” matanya membelalak mendengar ucapanku. 

“Aku capek, dan aku nggak mau lagi ada di antara dua orang di mana masalalu mereka belum sepenuhnya usai!” ucapku tegas kemudian beranjak pergi, meninggalkan Mas Aldi yang masih duduk di kasur putih. 

Sungguh, aku ingin dicintai olehnya! Bohong kalau aku berkata aku tidak mencintainya, tapi apa harus mencintainya dengan sesakit ini? 

Aku menelfon seseorang, orang yang sangat inginku maki hingga bebanku hilang. Wulan. 

“Siapa ini,” tanyanya di seberang sana. 

“Istri, Kresnaldi Pramudia Wardana,” jawabku. 

“Oh, hahahaha, kapan menjanda?” jawabannya sontak membuatku ingin sekali meremas mulutnya. 

“Tunggu tanggal mainnya, kamu akan merasakan apa yang aku rasakan.” lalu kumatikan kembali telfon sepihak. 

Kuraih kunci mobil, aku harus menenangkan pikiran. Lebih baik aku ke rumah Mita saja. Sebelum melajukan roda empatku, aku mengirim pesan dulu kepada sahabatku. 

Tok! Tok! Tok! 

Brisik sekali, kaca mobilku diketuk oleh Mas Aldi yang terus saja minta dibuka. Tapi terserah, aku lelah Mas! 

“Minggir!” ucapku dingin ketika kaca dibuka sedikit agar suaraku terdengar. 

“Jangan pergi, Rena! Kamu mau tidur di mana kalau kamu pergi?” suaranya terdengar perhatian, tapi berbeda makna di telingaku. 

“Yang jelas aku nggak tidur di pelukan cowok lain!” kataku lalu melajukan kendaraanku cepat hingga ban mobilku berdecit. 

Ponselku terus saja berdering dengan nama mas Aldi di sana. Ku biarkan saja dia. Mari bermain denganku mas, akan aku tunjukan bagaimana bermain cantik untuk parasit seperti kalian berdua. 

Tiga puluh menit kemudian, aku sudah memarkirkan mobilku di garasi rumah sahabatku. Aku selalu kagum dengan rumah sahabatku ini, rumah yang dikelilingi bunga, menjadikan rumahnya terlihat seperti istana di negeri dongeng dengan taman yang mengitarinya. 

Aku membuka pintu rumah sahabatku begitu saja, aku sudah terbiasa kemari. Kedatanganku langsung disambut oleh beberapa pelayannya, salah satu dari kelima orang itu mengantarku ke kamar Mita. 

Begitu sampai, aku langsung membuka pintunya lalu merebahkan tubuhku dikasurnya yang empuk. 

“Gitu deh, makanya gue nggak nikah-nikah,” ucap Mita, matanya terus memandang laptop berlabel apel separuh dengan mulut mengunyah makanan ringan. 

Aku memutar bola mata malas, “tau ah, Mit!” ujarku sambil merebut snack yang ada di tangannya. 

Dia menghela nafas, memutar tubuhnya menghadapku. “apa?” kataku. 

“Lu abis berantem, kan?” ujarnya, “kita harus bikin pelajaran ke kunti itu!” imbuhnya semangat. 

“Gue udah mikirin itu,” ucapku menunduk. 

“Suami tu kunti, kerja jadi supervisor di restoran lu, Ren!” katanya yang sukses membuat mulutku menganga. “jangan lebar-lebar, ntar nyamuk masuk!” sahabat lucknut memang. 

“Kok, lu lebih tau 'sih?” jawabku dan Mita menghela nafas. 

“Lu kalo lagi patah hati emang suka lemot, ya, Ren.”

“Mari kita bermain-main, Ren. Gue nggak sabar apa yang akan terjadi selanjutnya!”

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
g simpati sama istri tolol dan banyak drama.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status