Share

Wanita Masalalu Suamiku
Wanita Masalalu Suamiku
Penulis: Syiffa Natasya

1. Curiga

“Wulan, kangen kamu.” aku membeku kala mendengar suara dari dalam kamar mandi. Apakah Mas Aldi tengah menelpon seseorang? Ku dekatkan telinga di pintu berwarna putih itu, untuk memperjelas pendengaranku.

“Buka dong,” deg! Sedang apa mereka? Apa mereka tengah video call dan memperlihatkan sesuatu yang tidak seharusnya? Ya Tuhan!

Langkahku lemas, apakah perubahan mas Aldi enam bulanan ini ada sangkut pautnya dengan wanita bernama, Wulan?

Aku melangkah kembali ke meja makan, menunggu suamiku selesai dari aktifitasnya. Hatiku bergemuruh, mataku sudah memanas sedari tadi, tapi aku tidak boleh menumpahkan semua bulir embun yang mendesak keluar.

Tak berapa lama, Mas Aldi telah siap memakai jaz hitam dengan kemeja putih di dalamnya. Lalu duduk, menikmati sarapan yang enak untuknya dan terasa hambar di lidahku.

Ku pandang wajahnya, tidak ada raut bersalah sama sekali. Dia justru terlihat sangat bahagia pagi ini.

“Mas berangkat sekarang aja,” ucap Mas Aldi seraya berdiri.

“Ya, Mas.” aku menunduk, tak kuat menatapnya. Aku takut, jika aku menatapnya pertahanan airmataku akan tumpah.

Kakinya yang panjang, melangkah lebar menuju pintu berwarna putih lalu membukanya. Meninggalkan aku yang kini terduduk di lantai dingin. Kedua tangan kutangkupkan menutup wajah. Aku terisak, dengan dada yang sangat sesak. Mau jadi apa rumah tanggaku?

Setelah beberapa menit menumpahkan segala rasa sakit di hati, aku berdiri lalu membereskan piring kotor yang ada di meja makan. Aku bertekad kepada diriku sendiri, aku akan menjadi wanita yang kuat, hingga masanya nanti aku berpisah dengan mas Aldi.

Ya. Aku memang ingin berpisah. Aku merasa beruntung belum diberi seorang anak, jadi aku hanya memikirkan perasaanku saja untuk saat ini. Lagi pula, kalau aku sudah beranak 'pun, aku tetap tidak mau bertahan dengan lelaki tukang selingkuh.

Selingkuh itu penyakit, tidak ada obat yang benar-benar ampuh untuk itu.

Setelah semuanya beres, aku langsung mandi. Memilih baju, lalu duduk menghadap meja rias. Kupoleskan sedikit make up tipis, lalu melangkah menuju supermarket, milikku.

Ku kunci pintu rumah, gegas membuka mobil dan melajukannya. Baru saja setengah perjalanan, gawaiku berdering dengan gambar telpon yang meminta di angkat. Kupasang earphone lalu menggeser gambar berwarna hijau itu.

‘Ren, lu di mana?’ ucap Mita, sahabatku.

“Gue di jalan, nih. Kenapa, Mit,”

‘Jangan, lu kesini aja. Gue tunggu di Mall Laksana!’

Dih. Kenapa itu bocah? Tapi tak urung juga mobil kuputar balik menuju tempat yang disebut, Mita. Tak berapa lama, akhirnya aku sampai.

“Di mana lu, Mit?” ucapku saat telfon terhubung.

‘Masuk ke restoran kesukaan lu!’ aku mendengkus kala sambungan telfon kembali terputus sepihak.

Aku menghela nafas, nasib punya sahabat agak gesrek memang seperti itu. Kuayun langkah demi langkah, mencari tempat yang dimaksud sahabatku. Tapi saat aku menemukannya, aku tertegun.

Dibalik kaca bening yang di dalamnya penuh berbagai peralatan olahraga, aku dapat melihat Mas Aldi tengah memakaikan sepatu sneakers kepada wanita yang kini tengah duduk di hadapan suamiku itu dengan senyum yang terus mengembang di bibirnya.

Deg! Aku tahu wanita itu. Dia adalah teman lama suamiku. Teman yang selama tujuh tahun lalu selalu mengungkit kenangan mereka. Kenangan yang tidak seperti teman pada umumnya.

Dia sudah beranak dan suami, Mas. Apa tidak bisa melepaskannya dan kembali padaku merajut cinta yang murni, Mas? Aku berbalik, mataku memanas.

“Jangan nangis di sini,” ujar perempuan berrambut ikal.

“Mita!” pekikku, lalu memeluknya. Dia menuntunku menuju tempat karaoke yang ada di Mall itu.

Saat kami sudah masuk, sahabatku langsung mengambil remot besar yang berada di meja. Lalu mengetikkan lagu, Armada--Asal kau bahagia.

Kutumpahkan tangis hingga bahuku bergetar. Sakit, sakit sekali!

“Kenapa harus wanita itu, Aldiiii! Kenapa!” aku berteriak disela musik yang terus mengalun.

“Kurang apa aku, hah.” lalu kembali menangis dipelukan sahabatku. Aku merasa payah, bahkan sudah sering aku disakiti olehnya dan bertahan, kukira dia akan melihatku.

Aku kira, saat ijab qabul berlangsung, dia menepati janjinya untuk tidak kembali merajut kenangan mereka. Ternyata itu hanya kebohongan belaka, kebohongan tanpa ujungnya!

Ini salahku, kenapa aku tetap bertahan. Padahal aku sudah tahu, hatinya memang bukan untukku.

“Yang sabar, Ren. Gue dari dulu udah pernah bilang ke lu, jangan nikah sama dia. Laki-laki macem dia nggak akan berubah secepat itu.” ucap Mita menasehati, aku hanya mengangguk.

Beberapa menit aku mengasihani diri, aku memperbaiki dudukku, menghela nafas dan membuangnya. Pikiranku berseliweran dengan kata-kata indahnya saat dulu aku menemukan akun baru dengan nama belakang suamiku.

Kami bertengkar hebat, bahkan tanganku saja sampai memberi pelajaran di pipinya yang bersih. Saat itu, saat enam bulan sebelum pernikahan.

“Kalau emang kamu lebih milih dia, silahkan aja, Mas!” ucapku lantang saat berada di Taman Suropati, yang membuat pasang mata beberapa orang melihat kami.

“Aku janji, nggak bakal ngulangin semua itu. Lagi pula kami cuma teman, Ren,” jawab Mas Aldi dengan pandangan memelas.

“Apa aku kurang cukup, Mas?”

“Ren, sudah--”

“APA AKU KURANG CUKUP, MAS?!!” pekikku, yang sukses membuat beberapa orang berbisik-bisik.

‘lakinya yang kegatelan, cewek secakep itu disia-siain.’

‘Cewek secakep itu masih nggak bersyukur!’

Sedetik kemudian, lelaki itu berlutut di hadapan orang-orang yang tengah menggunjingnya. Diraihnya tanganku, menatap netraku dalam dengan pandangan bersalah. Aku mulai hanyut, dan perlahan iba kepadanya.

“Rena Theressia! Aku bersumpah, aku nggak akan nyakitin hati kamu lagi atau bermain perempuan dibelakangmu,”

Aku tetap menatapnya, mencari kebohongan di matanya. Tapi aku benci, aku melihat kesungguhan dikedua bola matanya.

“Will you marry me?” aku tersentak mendengar kata-katanya. Kata-kata yang aku nantikan selama tujuh tahun berpacaran dengannya. Kembali kutatap manik hitam itu, dan lagi-lagi yang kulihat adalah kesungguhan.

Aku tarik tanganku, lalu melangkah dari taman. Menghampiri mobil dan melajukannya, meninggalkan mas Aldi dengan motor sportnya.

Aku tak menyangka, tiga hari setelah aku memberi jawaban dan mengiyakan ajakannya. Beberapa bulan kemudian kami menikah. Sosial mediaku dibanjiri doa-doa seperti halnya pasangan baru menikah dari kerabat dan teman.

Tapi saat aku menscroll kebawah untuk melihat status lainnya, Wulan tengah mengupload foto dirinya memegang boneka panda dengan caption yang cukup membuat dadaku bergemuruh.

‘kehilangan sahabat yang mementingkan sebuah perasaan, biarkan saja. Dia hanya akan menjadi milikmu, tapi tidak menjadi temanmu.’ tulisnya, dengan beberapa emot tertawa berjejer.

Aku tidak membalasnya, karena pikirku. Selama mas Aldi sudah mengabaikannya, tidak perlu lagi aku khawatir.

“Ren,” aku tersentak dari lamunan indahku. Lalu menatap linglung Mita yang ada di sampingku.

“Lo jelek, mascara lo luntur. Ntar kalo ketemu lampir itu, lo malah jadi bahan tertawaan lagi. Gih, lo make up ulang.” titahnya.

“Eh, lo bilang apa tadi? Lampir?” tanyaku dengan dahi berkerut.

“Iya, si Wulan! Lampir dia tuh. Liat aja rambutnya, merah menyala!” ucapnya menggebu-gebu, aku hanya tertawa.

Kuhapus make upku, lalu memperbaikinya. Sekilas aku melirik jam di tangan, ternyata sudah dua jam aku di sini. Setelah make upku rapi, kami berdua pergi dari tempat karaoke setelah tadi selesai membayar tagihan.

Kami melangkah menuju restoran favoritku. Sebelum masuk, mataku kesana kemari, siapa tahu melihat mas Aldi dengan gundiknya.

Syukurlah tidak ada, aku ingin makan dengan tenang tanpa bayang-bayang mereka untuk saat ini.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
udah tau pembohong masih aja dijadikan suami.
goodnovel comment avatar
Tri Wahyuni
udah kmu lepas itu Aldi dr pada setiap hr hati mu d sakutin terus .dn laki2 klo udah berhianat susah hilang nya dn pembohong apa lagi itu cinta masa lalu nya ...
goodnovel comment avatar
Trinovi Hikmah
.................................
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status