”Nggak, Di. Aku tetep jadi OB di kantor Mas Haris,” jawab Fitria, membuat Rose bernapas lega. ”Makasih ya, udah bantu aku,” imbuhnya. Setelah selesai membicarakan pekerjaan, Rose segera menjauhkan laptop dari suaminya. Wanita berwajah bule itu berkacak pinggang dengan raut kesal.”Segitu pengennya Fitria kerja di cafe, Di? Kamu lupa, adanya cafe itu karena bantuan aku?” Aldi bersandar ke kursi seraya menatap langit-langit kamar, ”Kamu nggak tau rasanya jadi aku.””Oh? Tentu aku tau! Aku pernah cinta banget ke Haris, suami Rena itu. Tapi aku nggak freak kayak kamu!”Aldi diam saja karena mencoba meladeni debat dengan Rose hanya akan semakin panjang. Aldi memilih memejamkan mata, tapi justru wajah Wulan yang terbayang. Wajah bahagia saat ia tahu sedang mengandung anaknya.”Pantes aja kamu dibuang sama Rena, modal dengkul tapi nggak tau diri,” maki Rose pada suaminya.Braakk!Rose yang sudah sangat kesal memilih pergi dari kamar setelah sebelumnya membanting pintu. Bulir bening menetes
”Ini, Mas. Ini saya beli dari restoran depan dengan menu yang mereka bilang karena, katanya Mas Haris punya jadwal makan berbeda setiap harinya,” terang Fitria, kemudian menaruh di meja kerja.Haris mengalihkan pandangan agar bisa melihat Fitria.”Maaf, Mbak. Ini kantor, tolong panggil saya Pak,” titah Haris. ”Dan jangan taruh makanan di meja kerja, tapi taruh di meja dekat sofa.”Fitria mengangguk dan mengambil kembali makanan yang tadi ia bawa sambil menunduk hingga tali bra yang ia pakai tak sengaja terlihat oleh Haris. Haris segera menelfon staff-nya, ”Beri OB yang bernama Fitria seragam.” Tanpa menunggu jawaban, ia mematikan sambungan. ”Pasti nggak kuat liatnya, makanya langsung minta aku ganti seragam,” gumam Fitria dalam hati.”Kalau sudah, silahkan pergi dan minta seragam ke bawah.”Fitria mendengkus kesal karena Haris sangat berbeda saat kemarin ada di rumahnya dan saat di kantor. ”Tau gini mending aku ke restoran atau supermarket aja, niatnya mau deketin malah dimarahin.
Rena segera mengambil kunci mobil dan melajukan roda empatnya, karena Haris tidak tahu di mana letak kontrakan miliknya itu. Sepanjang perjalanan, deru napas Rena benar-benar tak beraturan. Ia terlalu merasa kesal karena fitnahan Fitria. ”Udah dikasih hati malah minta empedu!” gumam Rena sambil memacu kendaraannya agar lebih cepat. ”Kamu tenang aja, Yang. Lagian kayak kita bego aja, orang di kantor ada cctv,” sahut Haris.”Emang ya, nggak adeknya dan sekarang kakaknya, semua sama aja. Keluarga pembual!” racaunya.Rena dan Aldi sampai di depan gerbang kontrakan yang cukup luas. Beberapa orang melihat Rena tersenyum karena tahu ia pemilik kontrakan yang tengah mereka tempati. Sedangkan Fitria tidak tahu, Rena dan Aldi sudah sampai di tempat ini dan sekarang sudah berada di depan kamarnya. ”Orangnya ada di dalem?” tanya Rena pada pengurus kontrakan -- Jeslyn.”Ada. Tadi gue juga liat dia belom keluar lagi sejak balik kerja,” jawabnya.Dengan kedua telapak tangannya, Rena menggedor pin
”Aku gugup, Kak.”Mita dan Adisana tengah melihat persiapan pernikahan mereka yang tinggal 25% lagi akan selesai. Esok, acara pernikahan akan dilaksanakan di salahsatu hotel bintang lima. Ballroom sudah disulap menjadi super cantik dengan hiasan yang tak begitu gemerlap, tapi masih terlihat aestetic dan mewah. Adisana mengusap rambut calon istrinya yang esok akan ia nikahi. ”Kan udah mau jadi suami, kok tetep manggil kak?” Mita tertawa, ”Iya Mas, maaf ya.” Ia merasa aneh karena memanggil Adi dengan sebutan "Mas". Mita memang sudah menyukai kakak sahabatnya sejak lama, dan ia begitu bahagia ternyata perasaannya tidak bertepuk sebelah tangan.”Mama papa udah sampe dari Jepang?” Adisana membuyarkan lamunan. Mita mengangguk.”Tenang aja, pasti acaranya akan berjalan lancar,” ucap Mita. Karena pernikahannya pernah diundur karena orang tuanya itu tidak bisa pulang ke Jakarta, alhasil pernikahan mereka berdua diundur selama 3 bulan.”Mas, harusnya aku lagi dipingit, kita nggak boleh ketemu
Nada sambung terdengar, tapi Rose tak kunjung mengangkat telepon, sedangkan Rena dan Haris akan segera pulang. Rena menatap suaminya dan menggeleng.”Coba telfon Aldi,” usul Haris pada istrinya. Rena segera menelfon mantan suaminya itu, hingga di dering terakhir, telfonnya diangkat.”Ya, Re?” sahutnya di sana.”Katya mana, Di? Gue sama Haris mau balik,” ucap Rena to the point.”Oh, sebentar ....” Kemudian telfon dimatikan. Tak lama Aldi dan Rose datang menghampiri Rena dan Haris. Katya sudah terlelap dalam dekapan Rose, dan Rena bersiap mengambil putrinya tapi Rose menghindar.”Ren, boleh nggak lain kali Katya tidur sama gue?” pintanya.Rena menghela napas, ”Untuk sekarang ini nggak boleh, Rose. Dia masih kecil, sering bangun malem minum susu, dia masih ASI,” jelasnya.”Kalau begitu gue bawa asi yang udah lo bekuin, tinggal lo ajarin gimana caranya aja, gue pasti bisa kok,” ujar Rose, masih berusaha agar Rena mengizinkan.”Nggak bisa. Kalau lo mau maen sama Katya, silahkan ke rumah. T
Aldi mendengarnya, ia memang tidak tidur. Setiap kata yang diucapkan istrinya membuat pikirannya perlahan bisa menerima. Mengetahui istrinya tengah menangis, Aldi mulai duduk di samping Rose, kepalanya ia sandarkan di bahu kurus Rose.Seakan tersentak dengan kepala suaminya, Rose menoleh, matanya menghangat tapi bibirnya tersenyum. Bulir bening berdesakan keluar, ia tak tahu terlalu bahagia pun bisa membuatnya menangis. Kedua pasangan suami istri itu saling berpelukan.***Setahun kemudian ...Keesokan harinya, di rumah Rena, tengah mempersiapkan beberapa bekal makanan untuk dibawa ke pantai. Ia sengaja membawa makanan dari rumah dan karpet lainnya untuk sekalian piknik kecil-kecilan bersama semua orang rumah. Suaminya meminta dibuatkan sandwich dengan saus mentai sudah disajikan di dalam kotak makanan.Rena dan Haris sudah bersiap dengan pakaian santai, begitu pun Katya yang ikut mondar-mandir merecoki Lira dan Mbok Nah. ”Sayang, kamu sama papa dulu,” ujar Rena pada anaknya itu. Ha
”Maaf, Mbak.” Shilla bersuara, wajahnya sudah merembes karena air mata yang tak kunjung berhenti. Ia merasa sangat kotor saat ini, tapi ini pun bukan kesalahannya semua. Ini karena Wulan yang ternyata sudah menjadikannya jaminan atas hutangnya. Almarhumah kakaknya itu menjual keperawanannya pada seorang lelaki tua bangka dengan perut buncit.”Maaf.” Hanya itu yang keluar dari mulut Shilla, ia ikut luruh di samping Fitria. Kedua kakak beradik itu saling menangisi nasib mereka yang malang.”Mati saja kamu! Mati aja!” bentak Fitria, ia bahkan menjambak rambut adiknya. Shilla tidak membalas, ia hanya diam menikmati amukan dari kakak sulungnya. Ia memang merasa salah.Mati? Bahkan Fais menghalanginya. Saat ia akan terjun dari jembatan sepi, ternyata Fais menghalangi jalannya untuk mati. Ia sudah putus asa, bahkan kebahagiaan tampak begitu jauh di matanya.”Bocah gob lok!” maki Fitria, rupanya wanita itu masih belum puas melampiaskan rasa kesalnya. ”Hilang sampe setahun, begitu datang bawa
Rose hanya diam tak bermaksud menimpali. Pikirannya melayang jauh pada temannya, Clara. Bagaimana kalau Clara mampir ke rumah dan melihat Shilla. Tapi apa Clara tahu Shilla menjadi simpanan papa-nya? Rose bermonolog. Keningnya terasa berkeringat, hingga Rose mengusap kening dengan tangan gemetar.”Apa aku harus ngomong siapa Subroto?” ujar Rose lirih.”Terus sekarang gimana keadaan Shilla?” tanya Rena.”Dia berantakan. Perutnya udah gede, mungkin beberapa bulan lagi lahir,” jawab Aldi. ”Fais ada di rumah, karena Fitria pingsan sejak tau adiknya dijual sama Wulan.””Beb ...,” panggil Rose. Aldi menatapnya ingin tahu. ”Subroto itu ..., papanya Clara.”Semuanya mendengar apa yang Rose ucapkan, ”Clara sering mampir ke rumah lo berdua?” Rena bertanya. Rose dan Aldi menggeleng.”Dia cuma ke cafe, nongkrong sama temennya yang lain--””Ya kemungkinan dia juga bisa ke rumah kalian, kan rumah kalian cuma berapa langkah doang jaraknya,” ujar Rena, kemudian kembali mual sambil menutup mulut.”Lo